Mohon tunggu...
Wira D. Purwalodra (Second)
Wira D. Purwalodra (Second) Mohon Tunggu... Dosen - Seorang Pembelajar dan Pencari Kebenaran.

Banyak mimpi yang harus kujalani dengan perasaan syukur dan ikhlas. Mimpi-mimpi ini selalu bersemi dalam lubuk jiwa, dan menjadikan aku lebih hidup. Jika kelak aku terjaga dalam mimpi-mimpi ini, pertanda keberadaanku akan segera berakhir .... dariku Wira Dharmapanti Purwalodra, yang selalu menjaga agar mimpi-mimpi ini tetap indah.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Melegalkan Kekerasan Melalui Agama?

20 Juli 2015   20:37 Diperbarui: 20 Juli 2015   20:44 216
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 Oleh. Purwalodra

Kasus pembakaran Masjid di Papua, sampai hari ini belum juga ditemukan siapa pelaku atau dalang dari peristiwa tersebut. Belum ada juga siapa yang mau secara terbuka bertanggungjawab atas konflik 'Sara' (Suku, Ras, Agama, dan Antar Golongan) tersebut. Yang dibutuhkan saat ini adalah keadilan. Jika peristiwa tersebut termasuk kriminalitas, maka perlu ditemukan dan diadili siapa pelaku dan dalang intelektualnya. Tapi jika peristiwa itu menyangkut massa yang tidak bisa diidentifikasi kelompok mana yang mau bertanggungjawab, maka kekerasan atas nama agama tidak akan bisa dihindari lagi.

Kasus Pembakaran Masjid di Papua ini hampir sama motifnya dengan kasus yang pernah terjadi di Ciketing Kota Bekasi tahun 2010 lalu, yakni tentang Rumah Ibadah. Namun bedanya, pada kasus ciketing pelaku dan dalang intelektualnya bisa cepat tertangkap, sementara kasus Pembakaran Masjid, begitu sulitnya pelaku dan dalang intelektualnya ditangkap. Jika dalam kasus Ciketing, hanya gara-gara SMS saja bisa dijadikan barang bukti adanya tindak kriminal, tapi di Papua meski ada bukti surat dari GIDI belum bisa di jadikan bukti tindak kriminal pemicu konflik 'Sara'.  

Terkait dengan persoalan 'Sara' di negeri ini, secara definitif adalah berbagai pandangan dan tindakan yang didasarkan pada sentimen identitas yang menyangkut keturunan, agama, kebangsaan atau kesukuan dan golongan. Setiap tindakan yang melibatkan kekerasan, diskriminasi dan pelecehan yang didasarkan pada identitas diri dan golongan dapat dikatakan sebagai tidakan SARA. Tindakan ini mengebiri dan melecehkan kemerdekaan dan segala hak-hak dasar yang melekat pada manusia. Peristiwa yang berimplikasi ‘Sara’ ini dapat digolongkan dalam tiga katagori :

  1. Kategori pertama yaitu Individual : merupakan tindakan ‘Sara’ yang dilakukan oleh individu maupun kelompok. Termasuk di dalam katagori ini adalah tindakan maupun pernyataan yang bersifat menyerang, mengintimidasi, melecehkan dan menghina identitas diri maupun golongan.
  2. Kategori kedua yaitu Institusional : merupakan tindakan ‘Sara’ yang dilakukan oleh suatu institusi, termasuk negara, baik secara langsung maupun tidak langsung, sengaja atau tidak sengaja telah membuat peraturan diskriminatif dalam struktur organisasi maupun kebijakannya.
  3. Kategori ke tiga yaitu Kultural : merupakan penyebaran mitos, tradisi dan ide-ide diskriminatif melalui struktur budaya masyarakat.

Dalam pengertian lain ‘Sara’ dapat di sebut diskriminasi yang merujuk kepada pelayanan yang tidak adil terhadap individu atau kelompok tertentu, di mana layanan ini dibuat berdasarkan karakteristik yang diwakili oleh individu dan kelompok tersebut. Diskriminasi merupakan suatu kejadian yang biasa dijumpai dalam masyarakat di negeri ini, yang disebabkan karena kecenderungan manusia untuk membeda-bedakan yang lain. Ketika seseorang diperlakukan secara tidak adil karena karakteristik suku, antar-golongan, kelamin, ras, agama dan kepercayaan, aliran politik, kondisi fisik atau karateristik lain yang diduga merupakan dasar dari tindakan diskriminasi. Dan, diskriminasi ini langsung terjadi saat hukum, peraturan atau kebijakan jelas-jelas menyebutkan karakteristik tertentu, seperti jenis kelamin, ras, dan sebagainya, dan menghambat adanya peluang yang sama.

Di era informasi saat ini, terkait dengan pembakaran Masjid di Tolikara, Papua, tak ada artinya mengupaya persuasif untuk mendekati para tokoh-tokoh agama yang dilakukan oleh para petinggi Polda se-Indonesia. Jika di TKP sendiri tidak dilakukan upaya-upaya untuk menemukan keadilan yang jujur, kongkrit dan komprehensif. Karena, negeri ini sudah sejak lama telah dilumuri dengan kemelut dendam, mulai dari peritiwa Ken-Arok, Ken-Dedes, runtuhnya Majapahit, Kolonialisme asing, PKI, sampai reformasi-98 kemaren. Hampir seluruh peristiwa pada zamannya itu menjadi legal-rasional (dalam konteks, fenomenologi) merupakan peristiwa ‘Sara’ di negeri ini.

Menurut saya, negeri ini membutuhkan upaya-upaya penyelesaian konflik dengan cara-cara yang adil. Karena, hampir seluruh peristiwa ‘Sara’ di negeri ini belum menyisakan keadilan yang jujur, kongkrit dan komprehensif.  Menurut Socrates, “Keadilan diproyeksikan pada pemerintahan. Keadilan tercipta bilamana warga Negara sudah merasakan bahwa pihak pemerintah sudah melaksanakan tugasnya dengan baik. Mengapa diproyeksikan pada pemerintah, karena pemerintah adalah pimpinan pokok yang menentukan dinamika masyarakat.” Sementara menurut pendapat umum, “Keadilan adalah pengakuan dan perlakuan yang seimbang antara hak dan kewajiban. Keadilan terletak pada keharmonisan menuntut hak dan menjalankan kewajiban.”

Selain di negeri ini, peristiwa ini terangkai erat dengan pelbagai peristiwa kekerasan atas nama ‘Sara’ lainnya, seperti ISIS (Negara Islam Irak dan Suriah) yang terus melakukan pembunuhan massal di Irak dan mengancam negara-negara di Timur Tengah lainnya.

Di Nigeria, kelompok Islam ekstrimis Boko Haram juga melakukan pembunuhan massal. Beberapa waktu lalu, kelompok Islam ekstrimis juga melakukan pembunuhan massal terhadap anak-anak di Pakistan. Di Israel, agama Yahudi dijadikan dasar sekaligus pembenaran untuk melakukan penindasan nyaris tanpa henti kepada Palestina.

Tak jauh dari ingatan kita sebagai bangsa, Kristianitas digunakan untuk pembenaran bagi proses penjajahan Eropa atas seluruh dunia. Jutaan manusia dari berbagai belahan dunia mati dalam rentang waktu lebih dari 300 tahun, akibat peristiwa ini. Sumber daya alam dikeruk demi kekayaan bangsa-bangsa Eropa. Beragam budaya dan cara hidup hancur di dalam proses penjajahan yang juga memiliki motif Kristenisasi seluruh dunia itu.

Di India, sebelum Natal 2014, sekitar 5000 keluarga diminta untuk memeluk kembali Hinduisme. Mereka yang tidak mau mengubah agama diminta untuk keluar dari India. Sebagai bangsa, India juga terus dikepung oleh konflik yang terkait dengan ‘Sara’. Fenomena yang sama berulang kembali, agama digunakan untuk membenarkan tindak kekerasan, guna membela kepentingan ekonomi dan politik yang tersembunyi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun