Mohon tunggu...
Wira D. Purwalodra (Second)
Wira D. Purwalodra (Second) Mohon Tunggu... Dosen - Seorang Pembelajar dan Pencari Kebenaran.

Banyak mimpi yang harus kujalani dengan perasaan syukur dan ikhlas. Mimpi-mimpi ini selalu bersemi dalam lubuk jiwa, dan menjadikan aku lebih hidup. Jika kelak aku terjaga dalam mimpi-mimpi ini, pertanda keberadaanku akan segera berakhir .... dariku Wira Dharmapanti Purwalodra, yang selalu menjaga agar mimpi-mimpi ini tetap indah.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Membangun Rasa Pasti, Dalam Diam ?!

29 Juni 2015   20:28 Diperbarui: 29 Juni 2015   20:28 70
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 Oleh. Purwalodra


Banyak orang hidup mempertahankan diri agar ia tidak pernah putus asa. Tetap tegar, teguh dan komitmen apa yang menjadi harapan hidupnya. Tak ada kata berhenti untuk sebuah usaha yang sebagian besar orang menganggapnya sebagai hal yang sia-sia. Ia tetap berfikir, bersikap, dan bertindak sesuai dengan keyakinan bahwa kelak harapannya menjadi sebuah kenyataan, meski tak ada tanda-tanda bahwa harapannya bisa terwujud. Ia tetap pada pendiriannya dengan segala konsekwensi yang ditanggungnya. Senjata pamungkasnya adalah keberserahannya kepada Tuhan.

Memang, tidak bisa kita pungkiri bahwa setiap manusia mempunyai harapan. Ketika kita tidak memiliki harapan, maka kita bisa disebut mati dalam hidup. Harapan berasal dan kata harap yang berarti keinginan supaya sesuatu terjadi; sehingga harapan berarti sesuatu yang diinginkan dapat terjadi. Dengan demikian harapan menyangkut masa depan. Orang yang akan meninggal saja mempunyai harapan, melalui pesan-pesan kepada ahli warisnya. Harapan ini juga tergantung pada pengetahuan, pengalaman, lingkungan hidup, dan kemampuan masing-masing.

Sebagai contoh saja, bahwa hari-hari terakhir ini, kecemasan orang tua murid di Kota Bekasi begitu meningkat, hal ini karena mereka dihadapkan kepada pilihan untuk menyekolahkan putra-putrinya. Melalui sistem PPDB (Penerimaan Peserta Didik Baru) secara Online, sebagian besar Orang tua yang akan menyekolahkan putra/putrinya dicekam kecemasan, apakah putera/puterinya bisa masuk ke sekolah negeri unggulan atau tidak. Bagi orang tua murid yang nilai UN (Ujian Nasional) nya di bawah rata-rata cuma bisa pasrah aja. Tapi lain halnya bagi orang tua murid yang NU-nya memenuhi standar bersaing, ia memiliki harapan besar untuk bisa di terima di sekolah negeri yang mereka cita-citakannya.

Sudah tentu, bahwa keberhasilan dalam mewujudkan suatu cita-cita yang menjadi harapan itu tergantung pada usaha kita, yang menggenggam harapan itu. Namun demikian,  harapan perlu memiliki dasar keyakinan, baik kepercayaan pada diri sendiri, kepercayaan terhadap waktu, maupun kepercayaan kepada Tuhan. Tanpa keyakinan, maka harapan hanya menjadi angan-angan, dan harapan akan mati dengan sendirinya.

Keyakinan terhadap harapan yang menyelimuti kita, tentu bukan tanpa konsekwensi. Keyakinan akan menyemangati kita atau bahkan juga bisa membunuh kita, jika kita salah dalam memahami tentang keyakinan ini. Ingat !!! bahwa keyakinan bukanlah sesuatu, tetapi perasaan pasti tentang sesuatu. Namun, sebagian besar keyakinan kita adalah kesimpulan umum tentang masa lalu kita, yang didasarkan kepada penafsiran perasaan kita terhadap pengalaman-pengalaman yang membawa kesenangan dan kepedihan.

Dalam menjalani hidup kita sehari-hari, keyakinan kita bisa di bangun dari : Apapun, Siapapun dan dari Manapun. Oleh karena itu, keyakinan atau perasaan pasti terhadap sesuatu ini harus memerlukan acuan yang kuat, atau sumber keyakinan yang kuat menopang harapan yang kita genggam. Kalau tidak, maka harapan tersebut akan pupus atau justru akan menghasilkan kepedihan, bukannya kenikmatan. Tentu saja, dalam rangka menggenggam keyakinan tersebut, kita harus mampu mengemas keyakinan tersebut agar tetap dalam kondisi baik dan utuh. Oleh karena itu, peliharalah keyakinan kita itu dalam diam. Artinya, kita menganggap penting keyakinan tersebut, agar tidak tercemar oleh pendapat-pendapat orang lain yang tidak perlu. Karena yang berhak atas suatu keyakinan adalah diri kita sendiri, bukan orang lain.

Menjaga agar keyakinan kita tetap utuh, sama halnya dengan menjaga niat kita sendiri. Ketika niat kita tersampaikan kepada orang lain, maka niat kita akan mudah tercemari oleh pendapat-pendapat orang lain yang justru akan merusak niat kita tersebut. Karenanya, jaga niat kita itu agar tetap utuh, seperti halnya kita menjaga keyakinan kita agar tetap otentik.

Pada akhirnya, rasa pasti terhadap sesuatu alias mendirikan sebuah keyakinan merupakan usaha yang terus-menerus dibangkitkan. Karena keyakinan yang lemah akan melahirkan potensi yang rendah. Dengan potensi yang rendah akan membatasi kita untuk bergerak. Keterbatasan bergerak inilah yang menentukan sukses tidaknya kita dalam menggapai cita-cita dalam hidup ini. Wallahu A’lamu Bishshawwab.

Bekasi, 29 Juni 2015.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun