Oleh. Purwalodra
Dalam keseharian hidup kita, pada satu waktu, kita sering menjadikan seseorang lebih penting dari apapun. Seakan persoalan hidup, menyatu, dengan keindahan-keindahan yang tercipta dari sebuah hubungan antar manusia. Namun demikian, Plato sejak lama sudah mengisyaratkan kepada kita, bahwa manusia adalah mahluk yang selalu mencari, tanpa pernah menemukan. Kita seringkali mendapatkan apa yang kita cari, tanpa pernah memiliki. Memang ini terdengar sangat memilukan. Akan tetapi, Plato juga mengajak kita untuk menyadari keadaan ini, dan menjadi bangga atasnya. Kita sebagai manusia sudah semestinya mensyukurinya, karena perasaan syukur inilah yang menjadikan kita tetap memiliki kekuatan sebagai manusia yang membedakan kita dengan makhluk lainnya.
Kondisi dan sikap ini juga merupakan tanda kerendahan hati kita sebagai manusia. Manusia yang terus mencari berarti akan terus belajar. Kita tidak akan pernah puas dengan hal-hal yang kita ketahui. Kita juga tidak akan pernah memutlakkan pemikiran kita sebagai kebenaran utama yang harus diikuti orang lain. Oleh karena itu, dorongan terdalam dari sikap selalu mencari inilah yang kita sebut cinta. Cintalah yang mendorong kita untuk terus berusaha mencari, walaupun tak pernah menemukan. Cintalah yang mendorong kita untuk maju terus, tanpa pernah sampai pada tujuan yang diinginkan. Cinta adalah kekuatan dasar manusia yang memaksa kita untuk terus bergerak, walaupun tidak ada arah yang ingin digenggam.
Selanjutnya, secara kodrati, kita tidak bisa hidup sendiri. Kita selalu membutuhkan orang lain dalam menjalani hidup dan kehidupan ini, atau dalam konsep umum dikenal dengan istilah “Manusia sebagai makhluk sosial”. Oleh karenanya, kita sebagai manusia telah dibekali banyak fasilitas, baik yang sudah melekat dalam diri kita maupun yang kita peroleh dari pengalaman hidup, untuk melakukan interaksi dengan manusia lainnya dalam rangka menjalani kehidupan kita. Kita tercipta untuk bisa hidup bersama, dan tidak bisa hidup hanya mengandalkan diri kita sendiri. Ketika seseorang sukses, maka ia sukses bersama orang lain. Karena sukses itu bukan berasal dari dirinya sendiri, pasti ada seseorang dibelakang yeng membantunya sukses. Oleh karenanya, dari waktu ke waktu, dari masa ke masa, kita sering menjadikan orang lain, segalanya dalam hidup kita.
Dalam berbagai kemelut hidup yang menerpa pikiran dan bathin kita sehari-hari, kita sudah semestinya bisa menjaga hubungan yang baik dengan sesama. Karena tidak seorangpun ingin diperlakukan sebagai yang bukan siapa-siapa, di abaikan atau dipandang rendah atau di anggap sebagai orang yang tidak ada artinya. Dengan demikian, mau-tidak-mau, atau suka-tidak-suka, kita harus mampu menjadikan orang lain itu penting, siapapun dia. Yang pada akhirnya, kita tidak akan pernah menganggap rendah apapun dan siapapun mereka.
Menjadikan orang lain penting itu juga bisa menjadi salah satu motivasi alias penyemangat, bahwa apapun yang kita lakukan untuk memenuhi kebutuhan hidup kita ternyata tidak bisa kita lakukan seorang diri. Kita selalu membutuhkan orang lain untuk hidup. Namun, apalah daya kita, karena kita hidup dalam dunia yang selalu tidak cukup. Banyak hal dalam hidup kita, muncul dalam bentuk yang kurang, dari yang kita harapkan. Gaji yang tak pernah cukup mencukupi kebutuhan hidup. Waktu yang selalu tidak cukup untuk keluarga, atau orang-orang yang kita cintai.
Kenyataan hidup kita juga tidak akan pernah cukup untuk mewujudkan seluruh harapan kita. Harapan yang kita miliki tidak lebih dari gambaran ideal tentang kenyataan. Walaupun pikiran dan bahasa kita tidak akan pernah bisa menangkap kekayaan kenyataan yang ada. Sementara, kenyataan itu sendiri pun masih terlalu sempit untuk harapan manusiawi kita. Harapan selalu lebih luas dari kenyataan.
Setiap hari, kita membuat janji. Kita, tentu, berusaha menepatinya. Namun, ternyata kita juga tidak pernah 100 persen bisa menepati janji kita itu. Ternyata, tindakan menepati janji selalu tidak cukup untuk mewujudkan janji itu sendiri, walaupun segala upaya telah dilakukan.
Menjadikan seseorang begitu penting dalam hidup kita, perlu juga kita lekatkan pada proses pemahaman kita terhadap “apa yang tidak cukup” dalam hidup ini. Karena, dalam hidup kita yang begitu kaya dan dinamis ini, pemahaman kita tentang “ketidakcukupan” merupakan suatu kebijaksanaan dan kearifan tersendiri dalam hidup kita.
Akhirnya, kita akan sampai pada pemahaman, bahwa bagaimanapun kondisi kehidupan kita, memang kehidupan ini selalu tampil ‘kurang’ di hadapan pikiran kita sendiri. Walaupun begitu, pesannya bahwa, ‘tidak akan ada yang bisa menghalangiku untuk mampu menjadikanmu segalanya, dalam hidupku ?!?.’ Wallahu A’lamu Bishshawwab.
Bekasi, 20 Juni 2015.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H