Oleh. Purwalodra
[caption id="attachment_416598" align="alignright" width="300" caption="Foto koleksi pribadi"][/caption]
Tulisan ini kuawali dengan kalimat 'Perempuan yang sejati adalah yang memahami laki-laki apa adanya Kalimat ini muncul dari sebuah fenomena hubungan antara laki-laki dengan perempuan, yang selalu saja dibeda-bedakan. Jika saja kaum perempuan memahami laki-laki apa adanya, dan tidak mengharuskan seorang laki-laki lebih dari apa yang diperbuat oleh perempuan, maka boleh jadi si laki-laki akan biasa-biasa saja bersikap dan berperilaku di hadapan perempuan. Namun, jika seorang perempuan banyak menuntut ini-itu, maka si laki-laki akan berbuat lebih dari yang dituntut itu dan, selalu mengkritik meski di dalam pikirannya.
Mungkin, kita perlu mengetahui bahwa setiap pikiran manusia itu beresonansi satu sama lain. Bahkan, bukan hanya manusia saja, tapi semua mahluk di muka bumi ini pikiran dasarnya beresonansi, atau bergetar dan saling menggetarkan satu sama lainnya. Sehingga, apapun yang kita pikirkan akan mempengaruhi pikiran-pikiran lain secara persis sama. Inilah, para ahli teori fisikan kuantum mengatakannya sebagai energi yang saling kait-mengkait satu sama lain. Pikiran kita adalah energi yang mampu melebur dengan energi yang sama, dengan pikiran oran lain.
Anggapan perempuan, bahwa seorang laki-laki harus bisa ini dan harus bisa itu, akan beresonansi terhadap pikiran laki-laki, sehingga ia seakan-akan dipaksa untuk bersikap ini-itu untuk pasangannya. Sehingga, jangan salahkan laki-laki kalo ia kemudian berada di jalur bebas hambatan. Dimana pikiran laki-laki menjadi cepat dengan pikiran perempuan dan bebas menentukan pilihan yang mau dia pilih untuk kesenangannya sendiri.
Saya kok tidak bisa membedakan sifat egois dari kedua belah pihak. Baik laki-laki maupun perempuan sama saja sifat egoisnya. Platform bahwa laki-laki lebih egois daripada perempuan terbentuk dari pengalaman keseharian, karena seringnya si perempuan tidak mampu memenuhi tuntutannya kepada si laki-laki. Sehingga si laki-laki tadi memiliki predikat egois. Dimata laki-laki, manusia yang paling egois itu perempuan, sementara di mata perempuan justru yang egois itu laki-laki.
Mungkin perbedaan cara pandang ini disebabkan dengan caranya berpikir. Laki-laki berpikir dengan logika rasionalnya dan berperilaku dengan perasaannya, sementara perempuan berpikir dengan perasaannya, lalu berperilaku dengan logika rasional. Makanya ada anekdot begini, jika saja dunia ini hanya di huni oleh manusia perempuan saja, maka di dunia ini akan terjadi pertumpahan darah dan saling bunuh. Sementara, jika di dunia ini yang hidup hanya laki-laki saja, maka sebagian atau separuh dari laki-laki itu bisa menjadi perempuan.
Oleh karena itu, bagaimana memahami dunia ini berarti mengamati dunia apa adanya. Mengamati dunia apa adanya berarti mengamati dunia di dalam perubahan-perubahannya. Segala sesuatu terus berubah, tanpa henti. Kita tak akan pernah menginjakkan kaki di sungai yang sama, begitu kata Herakleitos, filsuf Yunani Kuno. Karena air yang kita injak bukan air yang kemaren kita lewati, ia mengalir dan terus mengalir.
Apa yang kita lihat sekarang bukanlah yang kita lihat sebelumnya. Setiap tujuh tahun, tubuh manusia berganti sepenuhnya. Ia menjadi manusia yang sama sekali baru. Yang sama dari manusia itu dengan manusia sebelumnya hanyalah namanya.
Apa yang kita anggap tetap dan akan memuaskan kita pada akhirnya akan berubah, dan lenyap dari muka bumi ini. Apa yang kita perolah akan berubah, dan akan lenyap. Apa yang kita pegang erat-erat juga akan berubah. Apa yang kita perjuangkan dengan seluruh hidup kita akan hilang ditelan angin.
Memahami kenyataan di dalam perubahannya berarti juga memahami alam di dalam keterhubungannya. Segala hal saling terhubung satu sama lain. Hukum-hukum fisika yang bekerja, ketika kita mengangkat tangan kita, sama dengan hukum-hukum fisika yang menggerakan meteor di ruang angkasa nan jauh disana. Perbedaan hanya merupakan ilusi yang diciptakan oleh pikiran kita yang terbatas.
Kenyataan juga tidak memiliki konsep. Kenyataan adalah apa adanya, just as it is. Ia tidak memiliki nama. Kata "kenyataan" juga sebenarnya salah kaprah. Ia membuat aliran perubahan seolah-oleh menjadi tetap, dan bisa disebut sebagai "kenyataan". Konsep membuat sesuatu tampak tetap. Padahal, sejatinya, segala hal terus berubah, tiap detik, tanpa henti. Konsep bukanlah kenyataan. Bahkan seringkali, ia menghalangi kita untuk memahami kenyataan. Akhirnya, tulisan ini kututup dengan kalimat, "pahami aku apa adanya, jika kedamaian adalah mimpimu saat ini." Wallahu A'lamu Bishshawwab.
Bekasi, 11 Mei 2015.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H