Oleh. Purwalodra
[caption id="attachment_375802" align="alignright" width="300" caption="Foto koleksi pribadi (Emen)"][/caption]
Berbangga-hatilah bagi orang kaya di negeri ini, karena orang kaya di Indonesia adalah prototipe orang-orang yang dianggap rajin, bekerja keras, dan tipe manusia yang tak pantang menyerah. Mereka adalah orang-orang super yang patut ditiru dan digugu. Namun bagiku oang-orang kaya di negeri ini, tidak lebih dan tidak kurang, sama sepertiku ato seperti kebanyakan orang lainnya. Bisa jadi lebih malas dan lebih bodoh, ato bahkan (maaf) lebih rakus dari orang-orang miskin.
Lalu, pandangan yang menyatakan, bahwa kemiskinan adalah akibat dari kemalasan pribadi, menurutku adalah pandangan yang salah besar. Pandangan ini muncul dari orang-orang yang berasal dari keluarga kaya, dan seumur hidupnya tidak pernah berusaha memahami dunia sekitarnya. Pandangan semacam ini justru melestarikan kemiskinan dan ketidakadilan sosial yang sudah terjadi selama ini. Dengan kata lain, pandangan semacam ini justru memiskinkan orang miskin.
Pemikiran Mahatma Gandhi yang pernah merumuskan tujuh dosa sosial, mengatakan bahwa salah-satu dari tujuh dosa sosial itu adalah kekayaan tanpa kerja keras, misalnya karena warisan, menipu, atau korupsi. Kalo saja aku bisa nambahin satu dosa sosial lainnya, yakni kemiskinan, walaupun orang sudah bekerja keras.
Bagiku, kemiskinan merupakan salah satu masalah terbesar di negeri ini sekarang, bukan karena aku juga masih miskin. Namun, banyak orang hidup dengan pendapatan yang tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar hidupnya sebagai manusia. Akibatnya, mereka terancam oleh kekurangan gizi, penyakit, dan beragam penderitaan hidup lainnya. Kemiskinan tidak hanya merusak raga manusia, tetapi juga mengancam jiwanya. Kemiskininan juga mendekatkan kita pada kekufuran (Sabda Rasulullah).
Ketika manusia kekurangan gizi, karena tidak memiliki sumber daya yang cukup untuk memperoleh makanan yang layak, ia terancam oleh dua hal. Pertama adalah oleh penyakit dan berbagai bentuk kelemahan biologis manusia lainnya. Kedua adalah dirinya sendiri, yakni insting bertahan hidup manusia yang bisa mendorongnya untuk melakukan apapun, termasuk tindakan paling ganas dan merusak terhadap orang lain, untuk mempertahankan hidupnya.
Kemiskinan, merusak rajutan hidup sosial kita sebagai manusia. Kemiskinan memecah masyarakat. Ia menciptakan musuh, dan mengubah kawan menjadi lawan. Ia menggetarkan stabilitas hidup sosial manusia. Terlebih, ia merusak harkat dan martabat manusia dan masyarakat itu sendiri.
Tentu saja, kemiskinan memiliki beragam bentuk. Yang paling dasar adalah kemiskinan ragawi, yakni ketika orang, walaupun sudah bekerja keras, tetap tidak mampu memenuhi kebutuhan dasarnya sebagai manusia yang memiliki martabat. Yang lain adalah kemiskinan cara berpikir, yakni ketika orang tidak mampu menemukan cara-cara yang baik dan tepat, guna memperoleh sumber daya yang cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Banyak orang mengira, bahwa akar dari kemiskinan adalah kemalasan pribadi. Artinya, orang miskin, karena ia malas bekerja, karena ia tidak cerdas, dan sebagainya. Walaupun memiliki kebenaran sendiri, menurutku pandangan ini sesat, dan harus segera ditanggapi secara kritis. Kemalasan dan kebodohan pribadi hanya sebagian kecil dari akar masalah yang melahirkan kemiskinan dalam berbagai bentuknya di negeri ini. Knapa, ketika kita dijajah empat ratusan tahun aja masyarakat kita berubah menjadi pemalas ?. Sementara, ribuan tahun kita mampu menguasai sepertiga belahan bumi ini melalui kerajaan Majapahit.
Sebab lainnya yang lebih memiliki pengaruh kuat adalah kemiskinan struktural. Artinya, tata sosial, politik, dan ekonomi yang ada membuat orang, mau tidak mau, hidup dalam kemiskinan. Orang bisa bekerja keras, membanting tulang, dan menabung, namun ia tetap hidup dalam kemiskinan. Seolah, kemiskinan adalah takdir yang tak bisa ditolak.
Salah satu cara untuk memerangi kemiskinan adalah menciptakan kesamaan kesempatan untuk setiap orang. Setiap orang, apapun ras, jenis kelamin, agama, ataupun latar belakangnya, berhak untuk mendapatkan pendidikan yang bermutu dan tanpa biaya, atau setidaknya amat murah. Disini, pendidikan, seperti dinyatakan oleh Anies Baswedan, adalah tangga sosial untuk naik ke tingkat ekonomi maupun sosial yang lebih tinggi. Kesetaraan kesempatan bukanlah kesetaraan mutlak, dimana setiap orang diperlakukan secara sama, tanpa peduli perbedaan mereka. Pada akhirnya, pandangan bahwa orang miskin itu malas tolong bisa dihapus dari berbagai referensi di negeri ini, kasian tau !!!, ternyata pandangan ini membuat orang miskin akan bertambah miskin, ngerti !!!. Wallahu A'lamu Bishshawwab.
Bekasi 16 November 2014.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H