Mohon tunggu...
Wira D. Purwalodra (Second)
Wira D. Purwalodra (Second) Mohon Tunggu... Dosen - Seorang Pembelajar dan Pencari Kebenaran.

Banyak mimpi yang harus kujalani dengan perasaan syukur dan ikhlas. Mimpi-mimpi ini selalu bersemi dalam lubuk jiwa, dan menjadikan aku lebih hidup. Jika kelak aku terjaga dalam mimpi-mimpi ini, pertanda keberadaanku akan segera berakhir .... dariku Wira Dharmapanti Purwalodra, yang selalu menjaga agar mimpi-mimpi ini tetap indah.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Aku Menjadi Sahabat Anakku

6 November 2014   03:36 Diperbarui: 17 Juni 2015   18:31 66
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh. Purwalodra

[caption id="attachment_372304" align="alignright" width="300" caption="Foto Koleksi Pribadi"][/caption]

Usiaku yang hampir tidak berguna ini, Alhamdulillah, telah mampu mengantarkan anak-anak memasuki pendidikan, yang orang bilang, pendidikan tinggi. Beberapa hari berada di Jatinangor, dan melihat sendiri dengan mata kepalaku, anakku telah tumbuh menjadi anak manusia yang mandiri yang semakin dewasa. Tak pernah kubayangkan betapa manjanya dulu dia, betapa cengengnya dulu, dan betapa takutnya ketika aku dan istriku meninggalkannya pergi, meski hanya menghadiri resepsi pernikahan tetangga, atau menghadiri pengajian.

Tak terasa sudah duapuluh tahun berlalu, anakku mampu menyesuaikan hati dan fikirannya dengan berbagai peristiwa di lingkungannya, kebiasaan-kebiasaan dan cita-citanya. Ia seakan mudah sekali belajar, untuk melepas kemelekatannya pada orang tuanya. Sementara aku, yang semakin tua, justru semakin tidak mampu melepas kemelekatannya pada anak-anakku. Situasi menjadi terbalik dan kelihatannya sebagi sesuatu yang wajar, namun ketika aku mencoba merenungi kembali, ternyata ada pola yang sama dari kehidupan seorang anak manusia di muka bumi ini, seperti halnya aku dulu ketika menjadi seorang anak.

Pola yang sama tersebut, bisa sangat terlihat saat ia masih bayi dan anak-anak, dimana sikap dan ketergantungannya kepadaku begitu tinggi. Sementara, aku dan istriku dengan kasih mengajarinya untuk tumbuh mandiri dan dewasa. Lantas, pada saat anak-anak beranjak remaja, dia, istriku dan aku sebagai orang tuanya berada dalam posisi transisi, dia tidak lagi mau disebut sebagai anak-anak, sementara perilaku dan sikapnya tidak lagi mau di dekte, dan aku berusaha untuk menjadikannya teman bergaul atau sahabat untuk menuju kemandirian dan kedewasaannya. Pada saat anak-anak, dia tidak lagi mau terbelenggu oleh energiku, akupun berusaha menyeimbangkan dengan energi do'a dan kasih-sayang jarak jauh. Aku tidak lagi dekat secara fisik, namun aku dekat secara bathin. Aku memeluknya dengan energi yang mungkin dia tidak lihat, aku menciumnya tanpa ia sadari, dan aku mengusap rambutnya tanpa ia ketahui.

Beberapa hari ini aku sengaja mengunjunginya secara fisik, melihat dari dekat kehidupan sehari-hari anakku yang sedang tumbuh dari seorang anak manusia, menjadi manusia yang mandiri dan dewasa. Aku berusaha tidak menganggapnya sebagai anak-anak lagi, ia adalah teman, sekaligus sahabat untuk berbagi curhat. Meski tempat kos2anku hanya satu kilometer dari kos2an anakku, aku bisa lebih terhubung melalui selluler yang selalu dalam genggamanku. Sekali waktu aku sarapan dan sekedar minum kopi di warung sebelah kos2annya. Dan lain waktu aku main-main ke kampusnya hanya sekedar melihat aktivitasnya dari kejauhan. Begitu ceria dan bahagianya dia, tanpaku lagi disisinya. Meskipun, saat ini dia baru duduk di semester lima.

Sebagai seorang mantan aktivis mahasiswa, aku perlu melakukan hal ini selain bernostalgia, sekaligus melihat dari dekat perubahan-perubahan yang terjadi dalam hidupku dan anak-anakku. Mungkin, sebagian orang caraku ini agak terbilang aneh, namun beginilah aku, dan lebih menikmati perubahan pada orang-orang yang kucintai.

Kadang secara tidak sengaja, dari beberapa interaksi antara anakku dan teman-temannya, baik di kampus, di jalan maupun di warung makan, ia tak mampu ato mungkin tak sempat mengenalkan diriku sebagai orangtuanya. Secara psikhis bagiku wajar-wajar saja, mungkin ia malu atau apalah istilah anak muda sekarang. Bagiku, yang penting aku bisa lebih dekat secara fisik dan bergaul seperti layaknya seorang sahabat saja. Dan yang lebih utama, adanya perubahan hidup yang bisa rasakan pada diri anakku disini.

Tidak jarang, aku coba mencuri-curi kesempatan untuk mengetahui lebih banyak tentang apa saja yang dilakukan anakku, baik di dalam kampus maupun di luar. Ternyata tidak jauh beda dengan pengalamanku dulu, ketika aku menjadi aktivis intra dan ekstra kampus. Mereka berdiskusi, membuat proposal ato sekedar memenuhi janji dengan teman-temannya.

Bahkan, ketika dia tidak berada di Kos2anpun, aku coba berteman dengan orang-orang yang berada disekitar tempat tinggal anakku. Merekapun tidak mengetahui bahwa aku adalah orang tuanya. Ngobrol ngalor-ngidul layaknya seorang teman,  ngopi bareng dan lain-lain, sekedar mengakrabkan diri. Namun yang kusadari sekarang, aku sudah menjadi sahabat anakku. Wallahu A'lam Bishshawwab.

Jatinangor, 05 November 2014.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun