Oleh. Purwalodra
Seminggu di kampung, menikmati liburan akhir tahun, aku menemukan puisi Kahlil Gibran tentang 'Kesenangan dan kesedihan'. Ketika cinta yang tertinggal di atas dedaunan talas, mengkristal seperti batu permata, usai hujan semalaman, kesenangan dan kesedihan tak lagi memiliki 'amplitudo' yang berarti. Kerna perjalanan panjang yang akan terlalui mampu menenggelamkannya, didasar dinamika kehidupan kita. Puisinya bercerita bahwa :
Kesenanganmu adalah kesedihan yang tersembunyi
Dan dalam diri yang sama dari mana tawamu bangkit adalah diri yang seringkali kaupenuhi dengan air mata.
Bagaimana tidak ?
Semakin dalam kesedihan menggali lubang dalam wujudmu, semakin banyak kesenangan yang akan dapat kau tampung.
Bukankah gelas yang menyimpan anggurmu adalah gelas yang dibakar bersama tembikar ?
Dan tidakkah seruling yang melambungkan jiwamu adalah bambu yang dikerat dengan pisau ?
Ketika engkau gembira, lihatlah di kedalaman hatimu, dan engkau akan melihat bahwa sebenarnya engkau sedang meratapi sesuatu yang pernah menjadi kebahagiaanmu.
Diantaramu ada yang berkata, "Kesenangan lebih besar dari kesedihan," dan yang lain berkata, "Bukan, kesedihanlah yang lebih besar."
Tapi kukatakan kepadamu, keduanya tak terpisahkan.
Bersama mereka datang, dan ketika salah satu duduk bercengkerama bersamamu di beranda, maka yang lain sedang berbaring menunggumu di tempat tidur.
Sesungguhnyalah engkau bergerak seperti skala yang berayun antara kesedihan dan kesenanganmu.
Hanya jika engkau kosong, maka engkau dapat berada pada keadaan tetap dan seimbang.
Ketika sang penjaga harta mengangkatmu untuk mengukur emas dan peraknya, maka ia memerlukan kesenangan atau kesedihanmu dan menjadikannya bergerak naik dan turun.
Puisi diatas menggerakkan energiku mengantarkanku kembali pada pesonamu di sebuah dunia yang kuciptakan sendiri. Penuh warna, sesak dengan dinamika namun indah di dalam imaji-imaji kosong tak berlogika, atau mungkin belum terlampaui karena gelembung logika kita masih sangat berbeda. Di sudut tawamu yang lepas dan tangis haru yang membirukan cakrawala, semangatmu mampu hidupkan sanubariku di setiap saat, di setiap waktu, setiap nafas dan do'a-do'aku.
Ketika sisa-sisa gerimis pagi ini di kampungku membawakan kabut keraguan, maka senandung kesenangan dan kesedihanku menyatu menceritakan cita-cita kita yang panas membara dan membakar khayalan kosong kita hari ini.
Purworedjo, 27 Desember 2014.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H