Mohon tunggu...
Wira D. Purwalodra (Second)
Wira D. Purwalodra (Second) Mohon Tunggu... Dosen - Seorang Pembelajar dan Pencari Kebenaran.

Banyak mimpi yang harus kujalani dengan perasaan syukur dan ikhlas. Mimpi-mimpi ini selalu bersemi dalam lubuk jiwa, dan menjadikan aku lebih hidup. Jika kelak aku terjaga dalam mimpi-mimpi ini, pertanda keberadaanku akan segera berakhir .... dariku Wira Dharmapanti Purwalodra, yang selalu menjaga agar mimpi-mimpi ini tetap indah.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sulitnya Membuatmu 'Ada'

20 Januari 2015   18:04 Diperbarui: 10 Oktober 2017   13:06 53
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh. Purwalodra

Beberapa hari ini, aku menjadi orang yang selalu galau dan bingung. Bagaimana tidak galau dan bingung, jika banyak sekali penjelasan dalam ketidakjelasan, yang sehari-hari kutemui. Hidupku seakan-akan tidak lebih dari sebuah percabangan yang selalu tumbuh cabang baru, tanpa henti. Ditambah lagi tuntutan atas pengejaran pengakuan akan keberadaan atau keinginan untuk selalu dinggap 'ada'. Inilah awal penderitaan panjang bagi setiap individu yang mengakui dirinya rapuh, lemah dan tiada daya.

Keberadaan seseorang ditentukan oleh keasadarannya, baik secara individu maupun kolektif. Eksistensi seseorang muncul karena berbagai faktor yang memunculkannya 'ada'. Ketika manusia dianggap 'ada', baik dari dirinya sendiri maupun orang lain, maka selimut kedamaian akan mengemulinya sebagai perisai bagi penderitaan dan kesedihannya. Manusia akan menjadi lengkap dan penuh dengan keberadaan akan dirinya. Inilah yang banyak diperjuangkan oleh manusia-manusia yang menganggap bahwa keberadaan atau eksistensinya adalah kunci sebuah kebahagiaan.

Keberadaan kita sebagai manusia, berawal dari pikirannya yang selalu menuntut agar apa yang ada pada dirinya diakui sebagai sesuatu yang 'ada'. Padahal, ketika kita menuntut sesuatu itu menjadi 'ada', maka tantangan berikutnya adalah menjaga agar keberadaan itu tetap selalu 'ada'. Secara rasional menuntut dirinya 'ada' adalah pekerjaan yang akan berakhir derita. Karena esensi keberadaan hanya milik yang Maha Mutlak dan Maha Ada, yaitu Allah Swt. Dalam dimensi spiritual, tidak ada yang berwujud di semesta ini kecuali Allah, Tuhan di semesta alam.

Ketika seseorang menuntut dirinya ada, maka ia sudah menggunakan 'ego'nya bahwa dirinya harus 'ada'. Orang ini biasaya selalu bersikap egois yang hanya mementingkan dirinya sendiri, kesenangannya sendiri, lantas tidak pernah peduli pada orang lain. Namun, pada saat seseorang tidak selalu menuntut dirinya 'ada', maka ia akan senantiasa akan di'Ada'kan oleh yang Maha 'Ada.' Dimensi pengalaman spiritual kita membimbing kita bahwa keberadaan manusia ada pada nafasnya, ada pada jiwanya, dan perasaannya. Manusia akan dianggap 'ada' oleh manusia lainnya, jika ia masih bernafas, memiliki jiwa yang bersih dan perasaan yang murni/tulus tanpa kepentingan duniawi. Jadi ketika seseorang menuntut dirinya 'ada' maka akan segera terjadi adalah peristiwa 'gempa eksistensial' pada dirinya.

Kata 'gempa' adalah sebuah guncangan akibat aktivitas tektonik maupun vulkanik di lapisan bumi bawah. Sementara gempa eksistensial adalah runtuhnya keseharian manusia, akibat bencana ataupun perubahan mendadak yang terjadi di dalam fikiran manusia. Dalam situasi itu orang kehilangan pegangan dan tujuan hidup. Yang ada adalah rasa panik dan kekhawatiran ekstrem.

Dalam situasi 'gempa eksistensial' segala kehormatan, harga diri, kecerdasan, dan kekayaan seolah menjadi lenyap, dan digantikan semata oleh insting untuk menyelamatkan diri. Dalam situasi ekstrem itu, status dan kehormatan yang menjadi nomor dua. Tidak ada beda antara atasan dan bawahan. Semuanya adalah manusia yang berusaha menyelamatkan diri.

Situasi panik itu adalah gempa eksistensial, yakni gempa yang tidak hanya menghancurkan ataupun menggoyang fasilitas fisik yang digunakan, tetapi juga gempa yang menggoyang keseharian akrivitas seseorang. Di dalam keseharian tersebut, tercakup cara pandang, nilai-nilai, keyakinan hidup, tujuan hidup, status, harga diri, dan sebagainya. Dengan kata lain gempa menggoyang sekaligus dunia fisik dan dunia mental manusia. Di dalam gempa eksistensial, yang hancur bukanlah gedung, melainkan kedirian (self).

Gempa adalah sebuah peristiwa. Di dalam peristiwa selalu terkandung makna, sebagaimana kita mampu dan mau untuk memaknainya. Di dalam gempa fisik terdapat gempa eksistensial, dan di dalam gempa eksistensial terselip sebuah kesempatan untuk bereksistensi dengan cara baru. Ada hikmah dibalik gempa eksistensial, yakni mengakui bahwa keberadaannya tidak harus menjadi tuntutan. Keberadaan akan muncul ketika kita merasa 'tidak ada' di hadapan Yang Maha Ada.

Melalui gempa eksistensial ini, akan lahir sebuah cara hidup yang didasarkan pada kesadaran diri utuh, bahwa manusia adalah mahluk yang lemah dan rapuh di hadapan apa yang tidak diketahuinya. Di hadapan gempa yang penuh dengan unsur misteri, semua bentuk gelar sosial, seperti presiden, bupati, menteri, gubernur, professor, doktor, dokter, manajer, direktur, dan semuanya menjadi tidak berarti. Manusia menjadi mahluk yang telanjang di dalam eksistensinya. Ia seolah turun menjadi binatang dengan satu tujuan hidup, yakni untuk mempertahankan diri.

Di hadapan yang tidak diketahuinya (the unknown), kita akan menjadi gentar sekaligus kagum. Di dalam dilema eksistensial antara kagum dan gentar tersebut, ada baiknya kita hening dari keseharian, dan mengingat kembali akar eksistensi kita sebagai manusia, bahwa pada akhirnya kita semua adalah mahluk yang tidak berarti di hadapan alam semesta yang tak terhingga keluasannya. Di dalam ketidakberartian itu, kesadaran diri sebagai mahluk fana yang rapuh dan lemah mencuat tajam. Kita hanyalah satu titik di tengah ratusan milyar titik lainnya di alam semesta ini. Dan, tujuan hidup kita hanya satu, yakni mempersiapkan kematian yang bermartabat, untuk kembali kepada-Nya. Pada akhirnya, sekarang aku mulai mengakui sulitnya membuatmu 'ada' dalam fikiran dan perasaanku selama ini.  Wallahu A'lamu Bishshawwab.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun