Oleh. Purwalodra
Beberapa waktu lalu, pada akhir Januari 2015, ketika aku mendapatkan kesempatan untuk ber-Umroh ke Tanah Suci Madinah dan Mekkah. Ada kedamaian yang tiba-tiba lahir dari lubuk hati dan fikiranku. Di tempat ini kesadaranku benar-benar memiliki sejuta makna. Perasaan bersalah dan ritual pertaubatan bergemuruh menghiasi langit yang selalu cerah tanpa mendung. Udara dingin yang masuk ke pori-pori bathinku menambah syahdu Ibadah wajib dan sunnah yang kujalani. Tak ada lagi yang bisa membendung air mata. Tak ada lagi batas antara aku dan DIA. Tak ada tirai yang bisa batasi semua eksistensi jiwa-jiwa manusia dari berbagai bangsa. Semua bersatu tanpa amarah, bersama-sama menggapai anugerah dan mengagungkan Asma-Nya.
Kedamaian itu beberapa saat bersemayam dalam dada, dan tanpa terasa aku harus kembali ke Tanah Air untuk menjalani rutinitas sehari-hari, dengan berbalut kepentingan serba duniawi. Sembilan hari menjalani Umroh memang sulit memberikan kesan yang dalam, dan hampir setiap orang akan selalu rindu Baitullah (Rumah Allah), rindu Raudhoh, rindu Tawaf, rindu Hajar Aswad, rindu Multazam, rindu Hijir Ismail dan rindu maqom Ibrahim. Kita rindu semuanya yang ada di Tanah Haram dan Madinah. Hal ini karena hidup kita adalah bentuk dari berbagai kerinduan, yakni : kerinduan pada kedamaian, kebaikan, kebenaran dan keindahan yang sejati.
Kerinduan kita selama berada di Kota Madinah dan Mekkah lebih dikarenakan kita sadar bahwa kita berada pada puncak keyakinan kita dalam ber-Islam. Karena di Madinah (Masjid Nabawi) bersemayam Makam Rasulullah Muhammad SAW, ia pembawa risalah dan ajaran Allah Swt. Sementara di Mekkah ada Ka'bah sebagai Kiblat Ummat Muslim seluruh dunia. Selain itu, kedamaian menjadi wujud utama kita dalam beribadah di Tanah Suci, karena kita mampu menuju ke 'saat ini.' Di momen "saat ini" lah, kita akan menemukan kebahagiaan, kebenaran, cinta, kedamaian, Tuhan, kebebasan. Di "saat ini", kita akan menemukan semua tujuan hidup kita. Ketika orang meninggalkan "saat ini", maka ia masuk kembali ke dalam lingkaran penderitaan, kecemasan dan ketakutan dalam hidupnya.
Jika kita berpikir secara jernih, saat kita berada di Tanah Suci, melakukan Ibadah Umroh atau Haji, kita akan sadar bahwa yang ada hanyalah 'saat ini.' Tidak ada masa lalu dan tidak ada masa depan. Masa lalu hanya merupakan kenangan. Masa depan hanya merupakan harapan. Keduanya tidak nyata.
Masa lalu memberikan identitas pada diri kita. Masa depan memberikan janji tentang hidup yang lebih baik. Namun, jika dipikirkan secara jernih lagi dan mendalam, keduanya tidak ada. Keduanya adalah ilusi. Banyak orang mengira, bahwa waktu adalah uang. Mereka juga mengira, bahwa waktu adalah hal yang amat berharga. Namun, sejatinya, waktu adalah ilusi. Ia tidak memiliki nilai pada dirinya sendiri. Dan hanya Allah yang mampu menguasai waktu. Karenanya, agar kita tidak tersesat dalam lingkaran waktu, kita melakukan Tawaf tujuh kali yang berlawanan dengan arah waktu (arah jarum jam).
Ketika kita menanggalkan waktu, dan berada di 'saat ini', energi hati dan fikiran kita menjadi jernih, tanpa kontaminasi masa lalu maupun masa depan. Momentum "Saat ini" adalah suatu keadaan yang lepas dari waktu. Ketika kita memikirkan waktu, berarti juga memikirkan masa lalu dan masa depan, kita akan kehilangan "saat ini". Kita akan kehilangan sesuatu yang amat berharga dalam hidup ini.
Banyak orang juga mengira, bahwa sukses itu ada di masa depan. Jika kita belajar dan bekerja keras saat ini, maka kita akan sukses di masa depan. Kita akan bahagia di masa depan. Ini adalah pikiran yang salah. Ini hanya menciptakan kecemasan dan penderitaan hidup. Sukses hidup yang sejati adalah dengan menyadari "saat ini". Kebahagiaan hidup yang tak akan goyah adalah dengan menyadari "saat ini". Orang yang kehilangan "saat ini" akan kembali masuk ke dalam kecemasan dan penderitaan hidup. Padahal, yang ada sejatinya hanyalah "saat ini". Yang lain hanya ilusi.
Ketika kita menerima keadaan sepenuhnya atau ikhlas, segala pikiran cemas dan takut lenyap. Kita lalu bisa tenang dan damai mengalami apa yang terjadi, danmampu mengalir dengan kejadian-kejadian. Pada titik ini, kesadaran kita akan meningkat. Kita akan memiliki pikiran jernih untuk menanggapi apa pun yang terjadi, tanpa tekanan masa lalu atau himpitan masa depan. Semoga kita bisa tetap mampu bersyukur dan ikhlas di 'saat ini.' Wallahu A'lamu Bishshawwab.
Bekasi, 10 Februari 2015.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H