Kenyataannya dalam satu tahun anggaran proyek musim panen para rekanan kontraktor swasta hanya satu kali saja alias hanya satu kali mendapatkan borongan pekerjaan. Itupun kalau dapat borongan dari proyek pemerintah yang mereka ikuti tendernya. Namun apabila tidak mendapatkan pekerjaan proyek maka konsekwensinya mereka mesti membayar gaji karyawan, biaya operasional, dan menjalankan roda perusahaan.
Contoh kasus ada rekanan menang tender proyek pemerintah mendapat borongan pekerjaan rehabilitas jalan negara di provinsi bagian timur dengan nilai kontrak Rp 15 milyar including PPN 10% dengan waktu kontrak 10 bulan. Rincian aliran penggunaan pagu proyek nyatanya kurang lebih seperti ini, setelah dipotong pajak PPN 10% maka sisa pagu anggaran proyek tersisa Rp 13,5 milyar lalu dipotong lagi pajak penghasilan 1,5% maka pagu anggaran tersisa Rp 13,297 milyar. Apabila biaya belanja material, sewa alat berat, gaji tenaga ahli dan karyawan, pengerjaan proyek, operasional, dan overhead sebesar 70% maka ada laba kotor sebesar Rp 3,988 milyar. Laba yang besar dan menggiurkan, bukan?
Tunggu dulu, rekanan kontraktor mesti mengeluarkan lagi dana siluman untuk dewa api sebesar 10% dari pagu kontrak sebesar Rp. 1,350 milyar. Maka laba tersisa sebesar Rp 2,638 milyar. Seksi sekali keuntungan rekanan kontraktor swasta, bukan? Tunggu dulu, pinjaman modal kerja dari bank sebesar 14% per tahun mesti dibayar pokok dan bunganya sebesar Rp 700 juta. Masih juga seksi keuntungan rekanan kontraktor swasta, laba tersisa Rp. 1,938 milyar. Bagaimana dengan pengembalian pinjaman modal kerja dari pihak ketiga yang jasanya 20% dari pokok pinjaman? Pantastis, ternyata laba bersih rekanan kontraktor tersisa Rp. 387,6 juta.
Dengan perolehan laba bersih sebesar Rp. 387,6 juta apakah rekanan kontraktor sudah aman dan nyaman? Belum, rekanan kontraktor masih menghadapi tim inspektorat dan BPK (Badan Pemeriksa Keuangan), pada tahap ini mereka mesti mengeluarkan biaya taktis siluman lagi. Apabila dalam pemeriksaan terhadap volume dan spesifikasi teknis terdapat ketidaksesuaian mutu berdasar konsideran kontrak kerja maka pihak rekanan wajib mengembalikan kerugian keuangan negara atau bisa jadi menjadi tersangka kasus tindak pidana korupsi.
Studi kasus kecil-kecilan yang saya urai tersebut di atas realitas yang sudah menjadi rahasia umum, posisi terjepit bak  buah simalakama yang dialami oleh kontraktor swasta pada umumnya memang begini ini iklimnya, kulturnya, dan budayanya. Mendapat pekerjaan borongan proyek pemerintah sulit dan apabila tidak mendapat pekerjaan juga rumit. Menyaksikan fenomena ini saya hanya berpendapat salah bukan untuk dipersalahkan dan benar bukan untuk diakui. Poinnya apakah kita masih mempunyai good will untuk mengurai benang kusut ini?
Apakah aparat hukum dalam hal ini KPK, POLRI, Kejaksaan dan Badan Pengawas: Inspektorat, BPKP, dan BPK cukup sakti untuk menjadi wasit yang tegas, jujur, dan adil dalam menjalankan tugas dan amanah penegakan hukum dan menjalankan tugas pengawasan terhadap penyelenggaraan proyek-proyek pemerintah? Substansi masalahnya bukan jawaban ya atau tidak atas pertanyaan ini.
Para pemangku kepentingan utamanya negara dan pemerintah dalam hal ini aparat penyelenggara pengadaan barang dan jasa konstruksi dari pusat sampai ke daerah dan juga para rekanan kontraktor mesti menyembuhkan penyakit akut yang sudah stadium kritis berjuang sekuat-kuatnya untuk memulihkan penyakit kronisnya. Sepanjang praktik permintaan fee proyek, dako (dana komando), kolusi, nepotisme atau apalah sebutannya masih berlangsung secara terstruktur, tersembunyi, dan masif diantara pihak panitia penyelenggara proyek, para rekanan kontraktor, dan aparat penegak hukum setali tiga uang melakukan praktik suap menyuap adalah mimpi di siang bolong masalah ini dapat dituntaskan setuntas-tuntasnya.
Apakah suatu solusi apabila seluruh rekanan kontraktor di negeri ini kita non aktifkan semua mengikuti tender proyek pemerintah? Juga sebaliknya apakah solusi apabila seluruh panitia penyelenggara proyek dari pusat sampai daerah kita non aktifkan dari tugasnya? Begitu juga apabila aparat penegak hukum kita non aktifkan sebagai wasit?
Jakarta, 5 Februari 2021
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H