Mohon tunggu...
Wira Ksatria
Wira Ksatria Mohon Tunggu... Penulis - Menerima, menjalani, dan mensyukuri

Aku bisakan dirimu, saat dirimu tidak mengerti.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Dunia Literasi Antara Dua Generasi

13 September 2020   10:08 Diperbarui: 13 September 2020   10:12 130
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dunia Literasi Antara Dua Generasi

Dari kecil, salah satu kegemaran saya membaca dan menulis. Belajar sendiri dan tanpa bimbingan penulis apalagi mentor atau guru. Sejak sekolah dasar sampai tamat sekolah menengah pertanian, kegemaran membaca dan menulis sesuatu yang sangat saya sukai. Tulisan tentang sesuatu yang ringan, kegiatan pramuka, dan menulis puisi. Apabila menulis biasanya dimuat pada majalah dinding sekolah atau saya simpan begitu saja.

Saat sekolah SMP dan SMT Pertanian, saya juga aktif pada kegiatan literasi dan sekolah kami mempunyai perpustakaan dan majalah dinding, kebetulan waktu itu saya salah satu pengurus.

Sekelumit pengalaman menulis ketika itu. Masih serba tulis tangan. Kertas polio dan pulpen, dua alat  tulis yang sangat akrab dan setia menemani. Belum ada listrik, di desa masih menggunakan lampu berbahan bakar minyak tanah. Lucu dan konyol, jelaga hitam membuat lubang hidung berwarna hitam, bila bangun pagi hari. Begitulah potret keadaan kesederhanaan desa kami pada tahun delapan puluhan.

Buku bacaan banyak tersedia, baik di perpustakaan SD, SMP, dan SMT Pertanian. Bahkan berlebihan. Kegiatan jam membaca di perpustakaan ketika itu, merupakan memori indah yang sulit untuk dilupakan.

Koran Kompas dengan bonus Koran Bola yang terbit setiap Jumat pagi, seharga dua ratus rupiah merupakan bacaan idola dan andalan. Ada juga majalah Anita yang berisi cerpen percintaan remaja, terbit setiap bulan. Semua itu wajib dibeli dan untuk membelinya, kami teman-teman patungan kumpul uang jajan. Kami bergiliran membaca, disela-sela jam istirahat sekolah.

Belum ada telepon seluler apalagi android, waktu itu. Yang ada telepon umum berbayar lima puluh perak dipasang oleh pemerintah dipinggir jalan dan masih sangat jarang teman-teman mempunyai telepon rumah, kecuali anak orang kaya dan pejabat.

Remaja ketika itu termasuk saya, menjadikan surat menyurat dengan tulis tangan pada kertas bergambar love-love dan amplop berbagai motif khas anak yang sedang dilanda cinta monyet. Setiap hari sekolah pada jam istirahat, kantor pos ramai dikunjungi oleh pelajar untuk saling berkirim surat. Sekolah SMP saya sekitar lima puluh meter dari kantor pos.

Kehadiran pak pos, mengantar surat ke sekolah, hal yang paling ditunggu-tunggu. Kami berharap ada balasan surat dari sahabat pena yang tersebar di kota-kota di Indonesia, ketika itu. Kebiasaan andalan, saling berkirim surat dengan sahabat pena, begitu marak.

Menjelang hari raya idul fitri, hari raya natal, dan tahun baru. Penjual kartu ucapan selamat dengan berbagai motif dan gambar, berjejer di depan kantor pos. Kami para pelajar, beramai-ramai membeli dan mengirim kartu ucapan selamat kepada sahabat pena dan keluarga yang kebetulan terpisah oleh jarak dan kota.

Sekelumit kisah tersebut diatas, potret kecil remaja jadul era tahun delapan puluhan dan saya bagian dari pelaku sejarahnya. Kegiatan membaca dan menulis, masih sangat sederhana, boleh dikata tradisional.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun