Pidato Presiden Joko Widodo beberapa hari yang lalu sontak membuat heboh masyarakat Indonesia. Pada intinya ada kalimat yang menuai kontroversi yakni mengenai pemisahan agama dan politik. Tidak bisa dipingkiri bahwa media social turut andil dalam penyebarluasan berita ini. Orang-orang lebih mudah untuk mengetahui informasi dan berita yang baru saja terjadi walaupun berada di ruang yang berbeda. Termasuk pernyataan kontroversial Bapak Jokowi.
Sesungguhnya, bila dilihat dari akar sejarang bangsa Indonesia, peran agama begitu penting dalam pembentukan jati diri kebangsaan Indonesia. Bahkan kalau ditilik dari kultur wilayah—ketimuran—indonesia yang seharusya sarat dengan sikap religiusitas. Sikap religiusitas inilah yang seharusnya menjadi pedoman hidup “orang timur”. Peran agama juga sangat terlihat dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia menuju kemerdekaan.
Agama membuat orang untuk lebih teratur dalam menjalani kehidupan. Hidup menjadi lebih disiplin, tidak kacau, dan yang paling penting adalah untuk kebaikan manusia itu sendiri. Agama seharusnya menjadi pondasi dalam menjalani segala sendi kehidupan. Agama tidak hanya mengurusi soal yang berkaitan secara langsung dengan agama itu semata. Agama harus masuk dalam semua aspek kehidupan yang tidak berkaitan secara langsung, seperti ekonomi, social, budaya, dan juga politik dalam aspek pemerintahan.
Agama harus menghiasi dan mewarnai segala sendi kehidupan umat manusia. Walaupun dengan syarat bahwa memasukkan unsur-unsur agama harus dengan ketulusan dan keikhlasan. Tidak sedikit juga kasus yang bertalian antara agama dengan aspek kehidupan manusia yang lain justru membuat citra buruk dan menghasilkan sesuatu yang buruk pula. Dalam sejarah umat manusia, misalnya terjadi pada masa yang biasa dikenal dengan abad gelap di Eropa.
Peran geraja sangat kuat dalam menentukan sikap kerajaan romawi pada waktu itu. Segala seuatu itu harus sejalan dan selaras dengan gereja. Apabila tidak bisa sejalan dan selaras dengan gereja aka nada sanksi yang berat, misalnya yang terjadi pada Galileo Galilea yang akahirnya harus menemui ajal di tiang gantungan karena beda pendapat dengan geraja. Agama dijadikan alat politik untuk meraup kekuasaan dan mempertahankan hegemoni kekuasaan atapun ideology bahakn serta eksistensi.
Di Indonesia, tidak sedikit juga kalangan yang menggunakan kedok agama untuk meraih apa yang menjadi syahwat poltik dan ekonominya. Agama hanya topeng untuk menutupi topeng dirinya. Agama menjadi buruk citranya karena ulah para pengagum syahwat dunia. Hal itu bisa terjadi karena seperti yang saya sampaikan diatas tadi bahwa sanya kereligisiusan masyarakat Indonesia sangat kental. Jadi, hal-hal simbolik keagamaan sangat mudah untuk menarik perhatian. Agama disini dijadikan alat dan batu loncatan untuk meraih kepentingan pribadi atau kelompok.
Nah, bila kasusnya seperti itu, bisa dikatakan bahwa yang menjadi permasalahannya bukanlah agama. Dalam hal ini agama tidak menjadi titik permasalahan karena agama hanyalah dijadikan obyek atau alat. Ibarat pisau yang digunakan oleh seseorang, bila ia jahat maka pisau itu akan menjadi alat yang berbahaya, namun bila digunakan oleh tukang rujak, maka akan bermanfaat. Seperti itulah agama, tidak bisa menghayati dan mengamalkan dengan baik maka akan memperburuk citra agama itu sendiri. Sebenarnya begitu juga dengan politik.
Politik ini masih abu-abu, sulit diterka, penuh kepentingan. Maka dari itu perlu ada yang mengarahkan yakni agama. Agama menjadi kompas untuk kearah yang benar. Disinilah seharusnya persinggungan antara agama dan poltik. Seseorang yang bergerak dalam pemerintahan atau politkus bisa menjalankan roda pemetintahan dan menjalankan politik dengan lebih terarah dengan agama. Tentu syaratnya harus melepaskanan syahwat duniawinya. Dengan demikian politk dan agama akan dapat sejalan. Agama tidak hanya berdiam diri dirumah ataupun tempat ibadah, namun juga mewarnai disemua tempat, termasuk di Istana Presiden sekalipun.
Jadi, tidak ada alasan sebenarnya untuk memisahkan antara agama dan poltik. Bila merunut pada apa yang disampaikan oleh Bapak Jokowi seolah-olah agama menjadi “masalah” bila harus masuk dalam ranah politik. Kemungkinan Bapak Jokowi melihat adanya sesuatu yang tidak beres bila keduanya disandingkan karena belakangan ini bangsa Indonesia sedang gaduh. Gaduh karena permasalahan yang menyita energy anak bangsa dengan kasus Ahok yang masuk dalam ranah agama lalu dikaitkan dengan isu pilkada (politik).
Sebenarnya kalau dilogika, dengan menyandingkan agama dan politik saja bisa bermasalah, apalagi tanpa menyandingkan keduanya. Sungguh suatu ironi bila ada pejabat Negara terutama sekali kepala Negara yang memiliki kultur dan sejarah yang religius harus mengeluarkan pernyataan yang bertolak belakang dengan jiwa dan semangat kebangsaan. Dari awal bangsa ini berdiri saja sudah mengedepankan nilai agama dalam urusan politik, bahkan produk serta subtsansi dari dasar Negara Indonesia juga mencerminkan semangat kereligiusan. Bila demikian, lalu, apa makna dari sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H