Pemiliknya melakukan itu jelas karena dia merasa apa yang dilakukannya membuat barang miliknya tampak lebih indah. Tapi orang yang mengerti tas atau mobil justru sakit mata melihatnya, karena Hermes dan Ferrari yang istimewa dan langka menjadi tampak pasaran sebagaimana tas atau mobil biasa. Hermes yang tadinya adalah tas kelas dunia, oleh pemiliknya yang berselera rendah diubah menjadi tas yang sekelas tas-tas kodian yang dijual di pasar Tanah Abang.
Seandainya Ijen adalah milik pribadi, sebagaimana analogi tas Hermes dan Ferrari, jelas kita yang melihat hanya bisa mendongkol melihat kekonyolan itu tapi namanya tas dan mobil itu milik pribadi, ya terserah yang punya. Masalahnya, Ijen ini bukan milik pribadi, Ijen ini adalah aset negara. Pejabat yang memutuskan untuk mendirikan bangunan fisik di puncaknya ini pun adalah pesuruh negara yang hanya akan menjabat beberapa  tahun lagi saja. Tapi kerusakan yang dia buat akan sulit sekali memperbaikinya.
Maka tak heran berbagai protespun muncul atas ide konyol pemegang kebijakan ini. Masyarakat yang merasakan manfaat dari kedatangan turis asing, para pengusaha jasa transportasi dan jasa wisata melakukan protes keras, masyarakat pecinta lingkungan dan masyarakat pecinta wisata juga protes. Tapi sebagaimana khasnya penguasa di Indonesia memang terkenal dengan sikap sok tau dan keras kepalanya. Mereka merasa diri paling tahu segala, mnerima kritik sepertinya dianggap menurunkan gengsinya.
"Kami akan tetap melakukan pembangunan infrastruktur publik. Tidak boleh distop. Bisa rugi negara dan akan dituntut," ujar Ayu Dewi Utari, Kepala BBKSDA Jawa Timur, dalam pres rilis yang digelar di Paltuding, Ijen, Rabu (8/11/2017)
Kekonyolan cara pandang si ibu Kepala BBKSDA Jawa Timur atas pembangunan di puncak ini menular kepada sejawatnya ibu kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Banyuwangi, Husnul Chotimah, yang ketika diminta tanggapannya tentang  pembangunan fasilitas di puncak Taman Wisata Alam (TWA) Kawah Ijen, tak meberikan keterangan menolak atau menyetujui pembangunan itu. Karena, diakui DLH belum pernah tahu bagaimana nilai positif atau dampak negatif pembangunan tersebut.Â
Ini logikanya kan seperti orang yang punya anak sehat dan cerdas yang didatangi orang jualan obat yang si penjualnya sendiri nggak tahu efek obat itu seperti apa. Bermanfaat atau justru bikin mati. Lalu si ibu ini membiarkan anaknya minum obat yang tidak jelas itu  untuk tahu efeknya. Sikap keras kepala si ibu kepala BBKSDA dan kekonyolan logika ibu kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Banyuwangi ini didukung penuh oleh bos besar mereka, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), Siti Nurbaya Bakar yang melaporkan jika pembangunan tersebut tidak ada jalur pendakian ke Puncak Ijen.
Secara psikologis mudah dipahami kenapa ketiga ibu ini bisa dengan santai dan tanpa beban melanjutkan proyek pembuatan gedung permanen di puncak kawah Ijen. Itu karena mereka digaji oleh negara. Seandainya terjadi penurunan kunjungan wisatawan ke kawah Ijen pun, itu tak ada pengaruhnya pada kebulan asap di dapur mereka.
Karena itulah kalau ditanya mana kajian tentang potensi menurunnya kunjungan wisatawan asing dengan adanya pembangunan ini mana? Bagaimana dampak sosial yang akan terjadi di masyarakat yang sekian tahun belakangan ini hajat hidupnya bergantung pada kunjungan wisatawan itu? Ya mereka tidak mau tahu!
Ketiga ibu ini berpegang secara kaku pada aturan yang membolehkan pembangunan itu dan melihat potensi kerugian negara sebesar 8 milyar karena pembatalan proyek itu menggunakan kacamata kuda. Mereka sama sekali tak maudan merasa perlu untuk tahu tentang kemungkinan pembangunan itu merusak keindahan tempat ini, berpotensi menurunkan jumlah kunjungan wisatawan asing yang justru hampir pasti akan merugikan negara dengan jumlah nominal uang yang jauh lebih besar dari sekedar 8 milyar.Â
Itu masih belum ditambah lagi dengan dampak ikutan adanya goncangan sosial akibat terganggunya hajat hidup orang-orang yang sudah menggantungkan hidup pada pariwisata. Ketiga ibu ini seperti kompak berprinsip, pokoknya undang-undang memperbolehkan TITIK!
Ribuan orang yang menandatangani petisi, segala macam demo dan unjuk rasa yang menyampaikan penolakan pembangunan ini sama sekali tak mampu menggoyang keputusan yang telah mereka buat. Dengan berpegangan pada prinsip pokoknya undang-undang memperbolehkan, jangankan kita rakyat jelata. Seorang Bupati Banyuwangi bahkan Menteri Pariwisata pun tak mampu menghadang kerusakan yang sedang mereka buat dengan menggunakan uang negara.