Mohon tunggu...
Win Wan Nur
Win Wan Nur Mohon Tunggu... wiraswasta -

Saya adalah orang Gayo yang lahir di Takengen 24 Juni 1974. Berlangganan Kompas dan menyukai rubrik OPINI.

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Pilkada Banda Aceh, Pencitraan Syariat Islam yang Tak Lagi Laku Dijual

19 Februari 2017   17:55 Diperbarui: 20 Februari 2017   11:16 5301
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Puncaknya adalah keluarnya UU No. 44 Tahun 1999 yang memberi kewenangan kepada Aceh untuk menerapkan Syariat Islam. Sebenarnya, UU ini bukanlah secara khusus tentang syariat Islam, tapi melalui UU ini pemerintah mengakui secara legal keistimewaan Aceh dalam agama Islam sehingga dapat menerapkan Islam sebagai undang-undang kehidupan sosial masyarakatnya.

Keluarnya UU ini menjadi dilema buat GAM yang dalam kampanyenya di luar negeri selalu menghindari isu-isu agama untuk menghindari antipati dari negara-negara penting di dunia, tapi ke dalam negeri selalu mengampanyekan tentang akan berlakunya syariat Islam. Karena bagi orang Aceh Islam adalah identitas, menolak syariat Islam berarti melawan Aceh. Dan sejak itu, jilbab bukan lagi pilihan tetapi menjadi kewajiban bagi perempuan Aceh.

Tahun 2004, Aceh dilanda tsunami. Bencana alam terdahsyat dalam hitungan jumlah korban sepanjang sejarah peradaban manusia ini menjadi pintu pembuka penyelesaian konflik antara pemerintah Indonesia dan GAM.

Drs. H. Syarifuddin Latief, pajabat Walikota Banda Aceh termasuk di antara salah seorang korban bencana ini. Posisinya kemudian dilanjutkan oleh Mawardi yang menjabat selama setahun sebelum kemudian digantikan lagi oleh Razali Yusuf.

Tahun 2007, Mawardi yang berpasangan dengan T. Syaifuddin TA mengikuti pemilihan langsung wali kota Banda Aceh dan memenangkannya dan menjabat sampai tahun 2012. Di tahun ini, Mawardi kembali mengikuti Pilkada, tapi kali ini dia berpasangan dengan Illiza Sa’aduddin Jamal.

Karena masyarakat puas dengan kinerjanya, sebagaimana tahun 2007, kali ini pun Mawardi memenangkan Pilkada. Tapi meskipun menang, ternyata Allah berkehendak lain. Mawardi tidak dapat menyelesaikan jabatannya yang seharusnya berlangsung sampai 2017 karena pada tahun 2014 dirinya lebih dahulu dipanggil oleh yang maha kuasa. Illiza yang menjadi wakilnya, naik jabatan menggantikannya sebagai wali kota. Sayangnya sebagai pengganti, performa Illiza tidaklah secemerlang Mawardi. 

Begitu banyak ketidakpuasan yang dirasakan warga selama Illiza menjabat wali kota. Mulai dari semrawutnya lalu lintas, strategi pembangunan yang tidak jelas, air dan listrik yang sering mati dan lain sebagainya. Pada masa Illiza berkuasa, media sosial sudah menjadi fenomena. Berbagai protes dan ketidakpuasan atas kinerja Illiza bertebaran di berbagai komentar di berbagai media sosial.

Sebagai respons, alih-alih mengatasi persoalan yang dikeluhkan warga. Iliza malah menutupi kekurangan kinerjanya dengan mencitrakan diri sebagai wali kota penjaga syariat Islam. Illiza sering terlihat tampil sendiri dalam melakukan razia bersama WH (aparat semacam Satpol PP yang bertugas menegakkan syariat Islam). Segala hal yang dipandang tidak sesuai syariat dilarang, mulai dari perayaan ulang tahun sampai perayaan tahun baru dilarang di Aceh, perayaan Valentine apalagi. 

Pelarangan perayaan tahun baru diperlakukan sedemikian seriusnya sampai-sampai Illiza sendiri turun memastikan kalau tidak ada perayaan. Bukan sekadar larangan menyalakan kembang api, di malam tahun baru, orang-orang yang duduk di warung kopi pun disuruh pulang. Illiza juga kerap tampil di acara-acara keagamaan, bahkan pernah berbicara di mimbar mesjid. Bioskop, jelas tidak diizinkan untuk dibangun kembali.

Banyak yang tidak setuju dengan apa yang dilakukan Illiza, tapi sekali lagi, karena ini isunya adalah Syariat Islam, tidak banyak orang yang berani secara terbuka bersuara. Kalaupun ada protes, mereka mengaitkannya dengan syariat Islam. Misalnya dengan mengatakan, “Bu Wali Kota, air di rumah kami sudah seminggu tidak mengalir, kami tidak bisa mandi dan berwudhu’, bukankah ini artinya Ibu telah menghambat ibadah umat Islam?”

Kekecewaan pada Illiza semakin memuncak karena masyarakat melihat Illiza menegakkan syariat secara diskriminatif. Yang paling mencolok, ketika salah satu orang dekatnya tertangkap melakukan perbuatan asusila yang seharusnya berujung pada hukuman cambuk, sebagaimana dialami oleh masyarakat biasa, tapi kasus yang heboh ini hilang begitu saja dan tak ada kelanjutan sampai hari ini. Yang terjadi malah aparat WH yang menangkapnya yang dimutasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun