CRU yang seharusnya menjadi solusi, oleh Gundala justru dituding sebagai salah satu sumber masalah. Menurutnya dengan dana yang mereka punyai, seharusnya CRU bisa berpatroli dan mengawasi pergerakan gajah serta menggiring mereka menjauhi pemukiman penduduk. Tapi itu tidak mereka lakukan.
Benar, sejak persoalan ini mengemuka, ada beberapa NGO yang mendatangi tempat ini, memberikan berbagai pelatihan dan juga fasilitas bahkan kadang dana untuk menanggulangi serangan gajah.
Tapi ironis, saya menangkap kesan kalau kehadiran NGO ini dalam beberapa hal justru menimbulkan keretakan di dalam masyarakat Pintu Rime Gayo. Menurut Gundala Pati seorang anggota Tim 8 dengan tugas pengiring gajah di kampung tersebut. Sekarang seringkali ketika Gajah datang, warga menyindir mereka karena tidak bisa melindungi kebun dan rumah mereka dari amukan hewan ini. Sebab warga berpikir mereka sudah mendapat gaji bulanan dan memang bertugas untuk itu. Padahal menurut Gundala, meskipun mereka pernah mendapat uang dari NGO, tapi itu tidak bersifat bulanan dan menjadi penghasilan permanen.
Kesalah mengertian ini membuat beberapa warga malah bersikap nyinyir ketika mereka mengusir Gajah. Padahal mereka bertaruh nyawa untuk itu. Sekarang, kata Gundala dan rekannya M.Amin, kalau ada Gajah datang mereka tidak lagi peduli kalau yang didatangi kebun warga lain. “Sekarang kita urus kebun dan rumah masing-masing saja”, aku warga yang aslinya berasal dari Kute Keramil Isak ini.
Warga sangat paham kalau gajah adalah hewan dilindungi, mereka sama sekali tidak berpikir untuk membunuh hewan yang terus membahayakan hidup mereka ini. Tapi mereka sangat menyesalkan, sejak meruaknya kembali gangguan Gajah pada tahun ini, pemerintah seolah lepas tangan. Pemerintah seperti tutup mata atas keselamatan warganya yang berada dalam situasi hidup dan mati.
Lima nyawa yang melayang seolah tidak cukup untuk membuat pemerintah merasa bahwa solusi cepat untuk masalah ini adalah sebuah situasi mendesak. Masyarakat benar-benar dibiarkan mengurus hidup dan mati mereka sendiri. Negara hanya peduli pada hewan yang dilindungi. Nyawa manusia tidak begitu penting.
Camat apalagi Bupati saat ini, menurut M Amin, salah seorang warga. sama sekali belum pernah menunjukkan batang hidung nya di kampung ini.
Jadi sekarang yang bisa mereka lakukan, ketika Gajah masuk ke kebun mereka, mereka menyalakan petasan. Lalu kawanan gajah yang merasa terganggu dengan bisingnya suara petasan akan pergi dan masuk ke kebun orang lain. Di kebun orang lain itu, petasan dinyalakan lagi gajah kembali lagi ke kebun ini. Begitu terus berputar-putar tanpa solusi.
Sementara itu, gajah yang dipingpong dari satu kebun ke kebun lain dengan suara petasan bisa mengamuk kapan saja dan mengambil nyawa salah seorang warga kampung ini.
Terhadap kemungkinan ini, saya melihat warga seperti sudah pasrah. Kalau memang sudah sampai ajal ya mati. Mereka menghadapi kemungkinan kehilangan nyawa dengan sikap yang begitu wajar. Seperti seorang tentara yang diterjunkan ke garis depan dalam sebuah peperangan. Padahal mereka tidak pergi kemana-mana, hanya tinggal di kampung mereka sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H