Tanggal 11 Desember 2016, akhirnya saya menjejakkan kaki untuk pertama kalinya di pulau Madura. Â Saya mencapai pulau Madura melalui jalan darat naik bis Patas dari Terminal Bungur Asih dengan harga tiket 30.000 melintasi jembatan Suramadu, yang merupakan jembatan terpanjang di Indonesia yang ternyata panjangnya hanya 5,8 kilometer, tidak sampai separuh dari panjang jalan tol Bali Mandara yang juga dibangun di atas laut.
Tidak seperti bayangan saya yang terbentuk dari pelajaran yang didapat di sekolah dulu yang menggambarkan Madura sebagai pulau penghasil garam yang kering kerontang. Ternyata, Bangkalan yang terletak di bagian barat pulau Madura ini tidaklah terlalu kering. Bagian ini cukup hijau (bisa jadi ini karena musim penghujan) dan ditumbuhi banyak pepohonan. Bahkan tiba di Bangkalan saya langsung disambut dengan hamparan sawah yang menghijau, rasanya seperti masih berada di Bali, di daerah perbatasan antara Tabanan dan Jembrana.Â
Di kanan dan kiri jalan sepanjangan jalur yang menghubungkan pusat kota Bangkalan dengan jembatan Suramadu terlihat toko-toko semi permanen yang sepertinya belum terlalu lama ada di tempat ini. Toko-toko ini menjual berbagai cinderamata dan penganan untuk oleh-oleh yang menyasar pembeli yang datang dari luar pulau ini. Yang tampak mencolok dari oleh-oleh yang dijual adalah pakaian khas Madura, baju, destar dan celana yang semuanya berwarna hitam dengan dalaman baju kaos bergaris-garis merah dan putih. Kebanyakan baju-baju yang dijual ini berukuran kecil untuk anak umur 5 sampai 10 tahun.
Karena belum tahu seluk-beluk pulau ini, sebelum tiba di Madura, saya menghubungi teman lama Anisullah M. Ridha, adik angkatan saya di UKM-PA Leuser Unsyiah yang saat ini menjabat sebagai Kapolres di kota Bangkalan.
Oleh Anis, saya yang menumpang bis dari Terminal Bungur Asih di Surabaya diminta turun di Simpang Tangkel, dari sana nanti saya akan diantarkan oleh anggotanya ke kota Bangkalan.
Dan benar saja, ketika saya tiba di simpang Tangkel saya sudah ditunggu oleh anggota Polres Bangkalan. Cuma sepertinya ada sedikit miskomunikasi, mereka menyangka teman Kapolres yang akan datang itu ada satu bis. Mereka agak kaget ketika yang turun ternyata cuma saya sendiri.
Dari pos polisi Tangkel, saya diantarkan ke Kota Bangkalan menggunakan mobil polisi.Â
Bayangkan saudara-saudara, saya yang berambut gondrong dan penampilan yang masih lusuh karena semalaman naik bis dari  Bali diangkut dengan mobil polisi. Saya tidak akan heran kalau ada orang yang kebetulan melihat pemandangan itu akan menduga polisi baru saja mendapat tangkapan penjahat kelas kakap.
Selain ukurannya yang kecil dan tidak terlalu ramai, Bangkalan adalah sebuah kota yang unik.Â
Bagaimana tidak unik, kota ini berbatasan langsung dengan Surabaya, kota nomer dua terbesar di Indonesia yang secara de facto adalah ibukota Indonesia Timur. Karakter masyarakatnya khas masyarakat kota metropolitan yang terbuka, permisif dan terbilang longgar terhadap nilai-nilai moral konservatif.
Tapi di Bangkalan yang hanya terpisah jarak sepelemparan batu dengan Surabaya yang dulu dengan mudah diseberangi menggunakan kapal ferry dan sekarang bahkan lebih mudah lagi dengan  adanya jembatan Suramadu, benar-benar berbeda 180 derajat dengan kota metropolitan yang ada di depan mata, yang gemerlap lampunya, tinggi gedung-gedungnya terlihat seperti dapat digapai dengan tangan saja.
Tidak seperti Surabaya yang penuh dengan gemerlap dunia malam, di Bangkalan jam 11 malam bisa dikatakan tak ada lagi kehidupan. Tak ada yang namanya dunia malam di kota ini. Tak ada, klab malam, diskotek bahkan sekedar karaoke keluarga semacam Anang atau Inul Vista.
Berada di Bangkalan, membuat saya serasa berada di kota-kota kecil di Aceh semacam Labuhan Haji, Kota Bakti atau Simpang Tiga Redelong.
Ada satu hal dari Bangkalan yang mengingatkan saya pada Bali, pulau yang baru saja saya tinggalkan. Di Bali dan juga Bangkalan, kita masih biasanya menemukan orang berlalu-lalang di jalan, berjalan kaki atau mengendarai sepeda motor dengan pakaian tradisional. Mereka yang sarungan itu bukan hanya orang tua, tapi juga anak-anak muda yang berkunjung ke taman kota di sore hari, atau makan malam di pusat jajanan di depan stadion. Pemandangan seperti ini sudah sangat jarang saya temukan di tempat lain bahkan Aceh sekalipun.
Yang membedakannya, di Bali, banyak orang berlalu lalang dengan pakaian tradisional dengan sarung khas Bali. Di jalanan kota Bangkalan orang-orang yang berlalu lalang dengan nyaman dengan menggunakan kain sarung sebagai pakaian.Â
Belakangan, berdasarkan penjelasan Bripka Andreas, anggota Polres Bangkalan yang menemani saya selama berada di pulau ini. Saya mengetahui kalau pemandangan seperti ini tidak bisa dilepaskan dari fakta begitu banyaknya pesantren di kota ini. Pesantren-pesantren yang rata-rata berafiliasi dengan NU ini beberapa di antaranya bahkan memiliki sampai ribuan santri. Mereka menggunakan kain sarung sebagai pakaian sehari-hari. Â
Di Bangkalan, Kyai adalah sosok yang paling dihormati.
Selain banyaknya orang yang berlalu lalang mengenakan sarung, di Bangkalan kitapun nyaris tidak bisa menemukan kaum perempuan yang tidak menutupi kepalanya dengan hijab.
Sebagaimana yang biasa saya lihat di Aceh, tampaknya budaya Islam memang masih sangat kental dan masih begitu kuat dijaga oleh masyarakat kota ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H