Mohon tunggu...
Win Wan Nur
Win Wan Nur Mohon Tunggu... wiraswasta -

Saya adalah orang Gayo yang lahir di Takengen 24 Juni 1974. Berlangganan Kompas dan menyukai rubrik OPINI.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Reny Farida, Penyanyi Idola Musik Campursari Khas Banyuwangi

12 Desember 2016   14:22 Diperbarui: 12 Desember 2016   16:21 1153
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto : Reny Farida (Sumber: lagudangdutterbaru.com/)

Selama ini saya selalu merasa takjub setiap kali keluar dari Bali dan masuk ke Pulau Jawa dan juga sebaliknya. Tidak seperti kalau kita ke Lombok, di mana suasana Bali masih terasa dengan adanya pura dan rumah-rumah khas Bali di bagian barat pulau ini, dan begitu pula sebaliknya di bagian timur Pulau Bali, kita masih melihat banyak masjid dan masih akrab dengan suara azan. Jawa adalah pulau yang sangat berbeda. Seolah Jawa dan Bali itu tidak berada di satu negara, perbedaannya bahkan lebih besar daripada kita keluar dari Thailand ke Malaysia atau dari Timor Leste ke Atambua.

Kalau kita melakukan perjalanan darat dari Bali dengan cara menyeberang dengan kapal Ferry ke Pulau Jawa. Ketika kita melintasi desa-desa di Bali, kita terbiasa mendengar orang bercakap-cakap dalam bahasa Bali.  Dari rumah-rumah terdengar alunan musik berbahasa Bali pula yang dinyanyikan oleh para penyanyi seperti Widi Widiana, Lolot atau Dek Ulik.

Tapi begitu kita melangkahkan kaki memasuki kapal ferry, suasana khas Bali langsung tidak kita rasakan lagi. Mulai dari penumpang dan kru kapal yang hampir semuanya  berbahasa Jawa ditambah dengan alunan musik yang diputar di dalam kapal hampir bisa dipastikan adalah musik campur sari khas Banyuwangi yang dinyanyikan oleh para biduan dalam bahasa Osing.

Yang sering menyeberang menggunakan Ferry dari Bali ke Jawa dan sebaliknya, pasti tidak asing dengan nama-nama Reny Farida, Ratna Antika atau Brodin untuk penyanyi pria. Satu hal yang menarik dari lagu-lagu banyuwangi ini adalah liriknya yang begitu lekat dengan realitas sosial masyarakat pendengarnya. Fenomena yang berkembang di masyarakat ini, ditangkap oleh pencipta lagu dan kemudian menuangkannya ke dalam lirik berbahasa Osing. Karena itulah lagu-lagu khas Banyuwangi ini begitu mudah diterima.

Contoh dari bagaimana jelinya penulis lagu Osing ini menangkap fenomena yang hidup di masyarakat bisa kita lihat pada lirik lagu “Terminal Arjosari” yang dinyanyikan oleh Brodin ini.

Tanggal 30 Oktober ndek wingi
SMS-mu jek ono neng HP iki
Tak simpen neng jero folder pribadi
Terus tak woco saben awan saben bengi

Soko Terminal Arjosari
Kowe pamit budal neng Bali
Emboh Denpasar emboh ngendi
Emboh kecanthol cowok Australi

Barang saiki kog ngajak bubar
Opo kowe kepincut cowok denpasar
Keputusanmu bulat tekatmu
Mung pandunganku padhango dalanmu…

Seng penting aku wes tau ngrasakne
Yen ngajak pisah aku mung manut wae
Joko,dudo Denpasar akeh tunggale
Pilih Ketut,opo Wayan opo Made…

Lagu ini bercerita tentang fenomena banyaknya gadis muda asal Jawa yang mencari peruntungan di Bali, yang kemudian berpacaran dengan pria kulit putih atau dengan orang Bali yang lebih berduit dibanding pacarnya di Jawa.

Sebagai imbas dari diterimanya lagu-lagu ini, lagu dan penyanyinya menjadi sedemikian populer. Para penyanyi khas Banyuwangi ini pun benar-benar menjadi idola dan tidak pernah kekurangan jadwal konser. Mulai dari Malang sampai ke Bali, artis-artis penyanyi yang namanya saya sebutkan di atas terkenal sekali. Dan mereka juga terbilang makmur secara ekonomi. Seorang teman penggemar berat Ratna Antika pernah cerita kalau dia suatu kali mengunjungi rumah Ratna Antika di Malang. Rumahnya mewah dan besar sekali, katanya

Di masanya Reny Farida adalah idola para pemuda. Konsernya di Jawa Timur dan Bali bisa mengalahkan konser band asal Jakarta, bahkan artis yang sudah berwara-wiri dan terkenal di mancanegara.

Pada tahun 2008, saya pernah menghadiri konser Anggun di Hard Rock Hotel Bali. Konser itu berlangsung menyedihkan. Hanya dihadiri beberapa ratus orang, dipandu oleh MC yang ala kadarnya, bahkan patut dicurigai tidak paham betul, penyanyi yang namanya Anggun itu siapa. Antusiasme penonton juga ala kadarnya. Waktu Anggun menyanyikan lagunya, sepertinya cuma saya dan keluarga ditambah beberapa penonton yang hafal lirik semua lagunya. Ironis sekali ketika saya bandingkan dengan antusiasme penonton di Kota Sevilla yang menghadiri konser Anggun di tahun yang sama yang diselenggarakan di lapangan sepak bola, puluhan ribu orang berjubel menyaksikan sang idola. Saya menontonnya melalui DVD yang dipinjamkan oleh guru bahasa Perancis saya.

Di hari yang sama Reny Farida melakukan konser di lapangan bola Kedonganan, tak sampai 3 kilometer dari tempat konser Anggun. Dan seperti biasa, ribuan orang berdesakan untuk menyaksikan konser Reny Farida, dengan MC yang penuh kebanggaan meneriakkan namanya. Penonton riuh meneriakkan “Bokong semok... bokong semok” yang merupakan lagu andalannya.

Sekarang, Reny Farida sudah mulai menua dan sudah tidak produktif lagi mengeluarkan album, tapi musik campursari tidak mati. Reny Farida boleh undur diri, tapi campursari maju terus. Sekarang posisi sang idola digantikan oleh penyanyi-penyanyi yang lebih baru. Kalau perempuan sekarang yang sedang naik daun adalah Suliyana dan Demy untuk penyanyi laki-laki.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun