Tengku Jalil keliru ketika pada tahun 1946 mengusulkan agar kita mengabaikan ëdët, katanya. Pemikiran seperti itu membuat kampung-kampung tidak lagi memiliki otoritas catatnya, itu membuat orang-orang mulai menuntut hak atas warisan atas tanah di kampung kelahiran, tanah yang telah diberikan kepada saudaranya yang tinggal di kampung untuk mengurusi orang tua. Dia mengatakan adalah sebuah kesalahan besar mengizinkan dua orang yang sama-sama berasal dari Kutë Rayang untuk menikah, itu akan menggiring masyarakat untuk mengabaikan norma-norma yang mengatur hubungan antara laki-laki dan perempuan. “Sebagaimana Muyang Datu berkata : Hidup berkalang ëdët, mati berkalang tanah”
― John Bowen, Sumatran Politics and Poetics; Gayo History 1900- 1989 hal 113 - 114
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H