Mohon tunggu...
Win Wan Nur
Win Wan Nur Mohon Tunggu... wiraswasta -

Saya adalah orang Gayo yang lahir di Takengen 24 Juni 1974. Berlangganan Kompas dan menyukai rubrik OPINI.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Bergek dan Naura, Bukti Nyata Aceh dan Gayo adalah Dua Entitas Berbeda

10 April 2016   00:56 Diperbarui: 16 April 2016   00:30 5844
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Naura berkain Kerawang Gayo (Foto By : Adhe Remalia Linge)"][/caption]Bergek dan Naura adalah dua orang Penyanyi asal Provinsi Aceh.

Bergek memiliki akar etnisitas Aceh yang berbahasa Aceh sedangkan Naura memiliki akar etnisitas Gayo yang berbahasa Gayo tapi wilayah tinggalnya terperangkap dalam provinsi Aceh.

Bergek sang penyanyi dengan identitas kultural Aceh, hari-hari belakangan ini sukses menjadikan tanah kelahirannya menjadi pusat perhatian dunia. Pasalnya, Bergek, yang  penyanyi lokal Aceh ini dicekal tidak bisa manggung dimana-mana karena pementasannya dianggap melanggar syariat Islam.

Kisah pelarangan terhadap Bergek ini pun menjadi sorotan utama media-media yang terbit di Aceh. Misalnya seperti di Aceh Tribunnews.com yang gencar sekali memberitakan tentang pencekalan Bergek ini.

Sepertinya semakin sulit bagi Zuhdi alias Adi Bergek untuk manggung di Aceh. Setelah rencana konsernya di Kecamatan Kaway XVI, Aceh Barat, 3 April lalu ditolak ulama dan DPRK setempat, kini giliran Wali Kota Lhokseumawe, Kamis (7/4) mengeluarkan surat untuk membatalkan konser pelantun lagu Boh Hate Gadoh tersebut.

Kamis, 31 Maret 2016  media yang sama memberitakan pelarangan konser Bergek di Aceh Barat.

Melalui pertemuan itu disepakati melarang konser Bergek yang rencananya digelar 3 April 2016 di Lapangan Cut Nyak Dhien, Kaway XVI. Konser tersebut dilarang karena dinilai dapat membawa dampak tidak sesuai dengan syariat Islam serta lebih kepada hura-hura.

Pelarangan atas aktivitas berkesenian ini segera menjadi perhatian media-media Nasional bahkan internasional. Contohnya Koran ternama Australia, The Sidney Morning Herald, pada edisi 7 April 2016, menurunkan laporan berjudul “Ban on Outdoor Music Concerts in West Aceh Due to Sharia Law.” Berita-berita di media nasional dan terutama Internasional itu tentu saja membuat posisi Aceh tersudut di mata dunia.

Begitu mengganggunya berita itu sampai-sampai Kautsar, anggota DPRA ketua Fraksi Partai Aceh menuliskan kegusarannya itu di wall Facebooknya.

“Dua hari yang lalu saya baca The Jakarta Post dalam penerbangan pulang dari Jakarta ke Banda Aceh. Menurut Wali Nanggroe, koran ini bacaan para duta besar negeri sahabat -termasuk duta besar yang tak terlalu mengerti bahasa Inggris-, pelaku bisnis internasional dan nasional. Koran tersebut dibaca orang2 terpandang untuk menterjemahkan Indonesia.

Sesampai di darat, saya klik google, mencari berita dimaksud. Banyak media besar internasional memberitakan hal tersebut.

Saya meletakkan perasaan saya pada pembaca internasional. Saya merasa perasaan mereka persis seperti saya ketika membaca berita ekstrim di Pakistan, Afghanistan dan Afrika. Tentu kesan tak menarik terhadap negeri-negeri itu membekas di kepala. Tidak hanya sampai disitu, kita akan menilai masyarakat di negeri-negeri itu keras dan tak bersahabat. Meski sebenarnya berita tersebut tak sepenuhnya mewakili perasaan penduduknya. Sayapun akan berpikir lima kali untuk berkunjung ke negeri-negeri demikian meski dengan tiket dan akomodasi gratis.”, tulis Kautsar dengan nada gusar.

Tapi benarkah Aceh seluruh Aceh seperti itu?

Lagi-lagi pertanyaan ini  menjadi sulit dijawab,  karena RANCU dan LENTUR-nya tafsir nama Aceh. Sebab Aceh bisa ditafsirkan sebagai nama suku dan dalam waktu yang sama juga nama provinsi.

Kalau Aceh dipahami sebagai nama etnis semua tudingan terhadap Aceh itu menjadi benar. Karena berdasarkan berita-berita itu di semua kabupaten di wilayah Aceh yang masyarakatnya berbahasa Aceh, Bergek sebagai pegiat seni memang ditolak.  Pandangan dunia internasional bahwa masyarakat di negeri ini “keras dan tak bersahabat” dan tidak bisa mengapresiasi kesenian. Sebagaimana dirasakan Kautsar dapat diterima.

Tapi kalau Aceh dipahami sebagai nama provinsi, keliru besar kalau ada yang berkesimpulan semua orang di provinsi ini “keras dan tak bersahabat” dan tidak bisa mengapresiasi kesenian.

Pasalnya, di bagian provinsi Aceh yang dihuni oleh suku Gayo, suku yang sudah ribuan tahun lebih dahulu menghuni daerah ini dibandingkan suku yang berbahasa Aceh.  Pemerintah dan masyarakatnya, masyarakat Gayo justru sedang dalam euphoria dan antusias tinggi menyambut kedatangan penyanyi cilik Naura. Putri kelahiran Gayo yang tampil mewakili Medan dalam acara Idola Cilik – 5 di RCTI dan meraih juara ketiga di ajang adu bakat ini.

Seperti Bergek menghiasi headline media-media yang terbit di Aceh. Hari-hari belakangan ini, laman lintasgayo.co , media terbesar di Gayo juga didominasi total oleh berita kedatangan Naura.

Tapi berbanding terbalik dengan berita tentang Bergek yang dipenuhi oleh hujatan, kecaman dan penolakan. Berita tentang Naura penuh antusiasme, kegembiraan dan puja-puji. 

Naura, meskipun sekarang berdomisili di Medan dan maju ke ajang ini mewakili Medan. Tapi karena dalam ajang ini dia menonjolkan Gayo sebagai identitas kulturalnya. Naura  mendapat sambutan gegap gempita dari masyarakat Gayo di seluruh dunia.  Meski secara resmi mewakili Medan, tapi para pendukung Naura yang setiap hari datang ke studio adalah masyarakat Gayo di Jakarta. Bahkan ada yang sampai menyempatkan diri datang dari kalimantan hanya untuk menonton Naura.

Di daerah, dukungan juga sama. Pemda yang menyatakan dukungan langsung kepada Naura adalah Pemda Aceh Tengah, tempat kelahirannya. Bukan Pemkot Medan, kota tempatnya melakukan audisi.

Kembali dari Jakarta, saat Naura mengunjungi kampung halamannya, masyarakat Gayo menyambut Naura layaknya pahlawan yang baru memenangkan perang. Masyarakat berebut menyambut Naura. Polisi mendaulatnya menjadi Duta Anti Narkoba

Plt Bupati Bener Meriah menjadikannya bukti bahwa urang Gayo jika mau berkarya dan berprestasi pasti bisa

Tiba di kampung halaman, Naura diarak keliling kota. Disambut oleh para pejabat dan Bupati di dua kabupaten, pencapaiannya diapresiasi. [baca: Tiba di Bener Meriah, Naura Disambut Pemkab, Ini Apresiasi Pemkab Aceh Tengah Buat Naura dan Sebelum Mentas Naura Diundang ke Pendopo Aceh Tengah]

[caption caption="Di Bener Meriah, Naura disambut Jajaran Pemda"]

[/caption]Pemda di dua kabupaten ini alih-alih melarang konser Naura, malah memfasilitasi konser di dua kabupaten bertetangga ini. Karena kedua Kabupaten ini merasa Naura adalah bagian dari identitas kultural mereka sendiri.

[caption caption="Di Aceh Tengah, Naura dan Keluarga disambut Bupati dan Wakil Bupati"]

[/caption]

Di hari yang sama Bergek dilarang Konser, Naura justru sedang dielu-elukan di Gayo. Masyarakat tumpah ruah, tempat yang begitu luas disediakan oleh Pemda untuk konser ini tidak mampu menampung antusiasme masyarakat. Bahkan sebagaimana diberitakan oleh lintasgayo.co penonton tidak hanya datang dari Aceh Tengah dan Bener Meriah. Masyarakat dari Gayo Lues pun tidak sedikit yang memaksakan datang hanya untuk menyaksikan “Putri kesayangan Gayo” ini secara langsung di sini.

[caption caption="Satu Jam sebelum acara dimulai Penonton sudah memenuhi gedung"]

[/caption]Masih begitu banyak lagi berita tentang Naura yang tidak satupun bernada negatif, begitu penuh antusiasme, kebanggaan, dukungan dan puja puji. Dari berita-berita ini saja, kita melihat bagaimana KONTRAS-nya perbedaan antara Aceh dan Gayo. Aceh memperlakukan senimannya, Bergek layaknya bakteri pembawa penyakit yang harus dibasmi. Sementara Gayo, memperlakukan senimannya Naura layaknya permata bernilai tinggi yang diapresiasi, dijaga dan dilindungi.

Tapi tentu saja berita tentang bagaimana antusiasnya Gayo menyambut Naura tidak memiliki nilai berita setinggi Bergek yang dilarang tampil. Antusiasme Gayo menyambut Naura tidak akan mungkin diberitakan media nasional, apalagi Internasional.

Takkan mungkin antusiasme Gayo menyambut Naura akan ditulis di Jakarta Post, apalagi The Sidney Morning Herald

Akibatnya, Gayo yang begitu menghargai senimannya terpaksa harus ikut menanggung label “ negeri yang keras dan tak bersahabat” sebagaimana yang disitir Kautsar.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun