[caption caption="Naura berkain Kerawang Gayo (Foto By : Adhe Remalia Linge)"][/caption]Bergek dan Naura adalah dua orang Penyanyi asal Provinsi Aceh.
Bergek memiliki akar etnisitas Aceh yang berbahasa Aceh sedangkan Naura memiliki akar etnisitas Gayo yang berbahasa Gayo tapi wilayah tinggalnya terperangkap dalam provinsi Aceh.
Bergek sang penyanyi dengan identitas kultural Aceh, hari-hari belakangan ini sukses menjadikan tanah kelahirannya menjadi pusat perhatian dunia. Pasalnya, Bergek, yang penyanyi lokal Aceh ini dicekal tidak bisa manggung dimana-mana karena pementasannya dianggap melanggar syariat Islam.
Kisah pelarangan terhadap Bergek ini pun menjadi sorotan utama media-media yang terbit di Aceh. Misalnya seperti di Aceh Tribunnews.com yang gencar sekali memberitakan tentang pencekalan Bergek ini.
Sepertinya semakin sulit bagi Zuhdi alias Adi Bergek untuk manggung di Aceh. Setelah rencana konsernya di Kecamatan Kaway XVI, Aceh Barat, 3 April lalu ditolak ulama dan DPRK setempat, kini giliran Wali Kota Lhokseumawe, Kamis (7/4) mengeluarkan surat untuk membatalkan konser pelantun lagu Boh Hate Gadoh tersebut.
Kamis, 31 Maret 2016 media yang sama memberitakan pelarangan konser Bergek di Aceh Barat.
Melalui pertemuan itu disepakati melarang konser Bergek yang rencananya digelar 3 April 2016 di Lapangan Cut Nyak Dhien, Kaway XVI. Konser tersebut dilarang karena dinilai dapat membawa dampak tidak sesuai dengan syariat Islam serta lebih kepada hura-hura.
Pelarangan atas aktivitas berkesenian ini segera menjadi perhatian media-media Nasional bahkan internasional. Contohnya Koran ternama Australia, The Sidney Morning Herald, pada edisi 7 April 2016, menurunkan laporan berjudul “Ban on Outdoor Music Concerts in West Aceh Due to Sharia Law.” Berita-berita di media nasional dan terutama Internasional itu tentu saja membuat posisi Aceh tersudut di mata dunia.
Begitu mengganggunya berita itu sampai-sampai Kautsar, anggota DPRA ketua Fraksi Partai Aceh menuliskan kegusarannya itu di wall Facebooknya.
“Dua hari yang lalu saya baca The Jakarta Post dalam penerbangan pulang dari Jakarta ke Banda Aceh. Menurut Wali Nanggroe, koran ini bacaan para duta besar negeri sahabat -termasuk duta besar yang tak terlalu mengerti bahasa Inggris-, pelaku bisnis internasional dan nasional. Koran tersebut dibaca orang2 terpandang untuk menterjemahkan Indonesia.
Sesampai di darat, saya klik google, mencari berita dimaksud. Banyak media besar internasional memberitakan hal tersebut.