Saya sebenarnya tidak merokok dan tidak tahan dengan asap rokok. Tapi karena semua teman merokok saya juga ikut untuk gaya-gayaan. Meskipun saya tidak pernah mengisap asapnya sampai ke paru-paru. Cuma dihisap dan dihembuskan di mulut saja.
Tapi ternyata dalam hidup tak ada yang abadi. Saat kami duduk di kelas III, Pak Ali kepala sekolah kami digantikan oleh Pak Sanusi. Kepala sekolah baru ini tidak melanjutkan kebijakan lunak kepala sekolah lama soal rokok.
Pak Sanusi yang kepala sekolah baru bersikap tegas terhadap rokok. Siswa SMA 2 dilarang merokok di sekolah.
Cuma karena sudah menjadi kebiasaan, kantin-kantin masih menjual rokok tapi secara “Klandestin” alias sembunyi-sembunyi.
Kebijakan kepala sekolah ini segera diikuti oleh bawahannya. Pak Ismail yang tadinya dalam kegiatan sekolah membelikan rokok untuk kami, juga ikut-ikutan bersikap tegas dan saya sempat menjadi korban ketegasan itu.
Kejadiannya di kantin Kak Atik. Waktu itu kami sedang tidak ada guru dan seperti biasa kalau bosan di kelas beberapa dari kami keluar untuk melepas suntuk. Makan kue, minum kopi di kantin Kak Atik. Sambil mengisap rokok tentu saja.
Waktu itu, kak Atik sedang bercerita saya lupa tentang apa tapi yang jelas cerita itu menarik perhatian saya. Saya duduk di kursi plastik yang disediakan kak Atik mendengarkan ceritanya sambil mengisap rokok gaya-gaya. Saking asyiknya mendengar cerita Kak Atik, saya tidak sadar kalau teman-teman saya satupun sudah tidak ada lagi di sana. Rupanya mereka melihat Pak Is datang dari kejauhan.
Saya yang tidak sadar masih saja dengan tenang mengisap rokok, Kak Atik juga sepertinya tidak tahu. Tiba-tiba Pak Is sudah berdiri di depan saya.
“Win....”
“Iya pak?”
“Apa itu di tangan kamu?”
“Rokok Pak!”
Plakk...!, tiba-tiba tangan Pak Is sudah mendarat di pipi saya dan semuanya terlihat gelap.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H