Â
Disangka Cina
Dua hari yang lalu, tanpa saya sadari seorang teman memasukkan saya ke Group WA SMA 2 Banda Aceh angkatan 92. Tidak perlu waktu terlalu lama untuk membuat Grup itu menjadi ramai. Teman-teman semasa SMA dulu yang sekarang sudah bertaburan di segala penjuru planet ini segera bermunculan.
Teknologi informasi memang dahsyat. Apa yang dulu bahkan tidak terbayangkan sekarang menjadi nyata. Jarak yang dulu begitu menjadi penghalang, sekarang menjadi sama sekali tidak berarti. Suasana masa SMA dulu dengan cepat terbangkitkan kembali. Kami yang semuanya sudah berumur di atas kepala empat, yang selama ini mungkin menjaga wibawa karena kedudukan di masyarakat di grup ini tiba-tiba kembali menjadi seperti anak ABG tanggung usia belasan yang sedang bandel-bandel dan noraknya.
Dengan adanya teknologi informasi ini. Sepertinya para seniman, pengarang puisi dan lagu sudah harus berpikir untuk mendefinisi ulang arti kerinduan.
Meski sekolah di Banda Aceh, saya sendiri sebetulnya berasal dari Takengen, kota di dataran tinggi Gayo yang terpisah jarak 300 kilometer dari Banda Aceh.
Saya sekolah di Banda Aceh, jauh dari orang tua karena di kota kelahiran saya ini, saya merasa  ruang gerak saya terlalu sempit.
Saya memutuskan melanjutkan sekolah di Banda Aceh menjelang ujian Ebtanas SMP pada tahun 1989. Waktu itu saya katakan pada orang tua kalau saya tidak mau melanjutkan sekolah di Takengen. Saya mau melanjutkan sekolah di Banda Aceh. Orang tua saya awalnya tidak setuju, mereka lebih sreg kalau saya ke Medan karena di sana ada banyak saudara. Tapi karena saya ngotot, mereka mengalah.
Di Banda Aceh, sebenarnya saya ingin masuk SMA 3, SMA legendaris sekaligus yang terbaik di Aceh, yang lulusannya seperti pindah kelas saja ke Unsyiah. Unsyiah jadi point penting di sini, karena waktu itu jarang sekali siswa sekolah dari Takengen yang bisa menembus Unsyiah, satu-satunya universitas negeri di provinsi ujung paling barat Indonesia ini. Di Banda Aceh dan juga Medan, mahasiswa asal Gayo rata-rata melanjutkan pendidikan di Universitas swasta yang mutunya lebih rendah.
Tapi karena NEM SMP saya cuma 44, seorang kerabat yang tinggal di Banda Aceh menyarankan saya supaya mendaftar ke SMA 2 saja. Sebab pada tahun sebelumnya, NEM terendah yang diterima di SMA 3 adalah 46. Jadi berdasarkan pengamatan atas penerimaan siswa tahun-tahun sebelumnya, dimana setiap tahun SMA 3 menaikkan syarat nilai NEM terendah, Â kalau saya mendaftar ke SMA 3, sudah dipastikan saya tidak akan lulus. Saya pikir, ya sudahlah. Pokoknya di Banda Aceh aja dulu, nanti toh bisa pindah.
Tapi yang tidak diketahui oleh saudara saya yang ada di Banda Aceh itu, ternyata pada tahun itu karena adanya ujicoba penerapan soal Essay. Nilai NEM pelajar di seluruh Indonesia mengalami penurunan. Sehingga SMA 3 alih-alih menaikkan persyaratan Nilai NEM minimal, malah menurunkannya. Tahun itu SMA 3 hanya mensyaratkan NEM terendah cuma 42. Sedangkan SMA 2, cuma 36. Nasi sudah menjadi bubur, apa boleh buat saya sudah terlanjur diterima di SMA 2.