Mohon tunggu...
Win Wan Nur
Win Wan Nur Mohon Tunggu... wiraswasta -

Saya adalah orang Gayo yang lahir di Takengen 24 Juni 1974. Berlangganan Kompas dan menyukai rubrik OPINI.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

The Sun, The Moon & The Hurricane, Film Indonesia Berkualitas dengan Tema Kontroversial

8 Juli 2015   22:05 Diperbarui: 4 April 2017   18:26 2970
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya sudah lupa kapan terakhir kali menonton film Indonesia dengan kualitas cerita dan akting yang kuat. Pas dan tidak berlebihan.

[caption caption="The Sun, The Moon & Hurricane (Foto : Minikino)"][/caption]

Sabtu 4 Juni 2015, saya diundang oleh Minikino untuk menghadiri pemutaran film “The Sun, The Moon dan The Hurricane”, film yang hanya diedarkan dengan sistem retribusi terbatas, dikarenakan tema LGBT yang diusung film ini masih terbilang kontroversial di Indonesia.

[caption caption="Penonton dalam sesi diskusi"]

[/caption]

Di luar kontroversi temanya, film yang disutradarai Andri Cung dan dibintangi, William Tjokro, Natalius Chendana, Cornelius Sunny dan Gesata Stella ini seolah ingin menunjukkan kepada para penikmat dan pembuat film Indonesia. Yang namanya film berkualitas itu seperti apa.

Mulai dari cerita yang mengalir, gambar yang indah, drama-drama yang tidak berlebihan dan yang paling mengesankan akting para aktor pendukungnya yang benar-benar natural. Sangat mengherankan nama-nama pemeran tokoh-tokoh di film ini tidak banyak di kenal di kancah perfilman Indonesia.

Film ini berisi tiga babak. Diawali dengan sebuah peristiwa ketika Rain (William Tjokro) seorang siswa SMA yang culun dianiaya oleh teman-teman SMA-nya. Lalu tiba-tiba datanglah Kris (Natalius Chendana) yang juga seorang siswa SMA. Kris yang berwajah tengil, bandel dan berandalan ini menghajar semua pengeroyok Rain sehingga lari pontang-panting. Adegan perkelahian ini diakhiri dengan Kris yang memberikan jam tangan Rain yang terlepas saat dikeroyok.
Kris lalu mengajak Rain naik ke mobilnya, mengajak ke pantai dan sejak itu mereka menjadi sahabat dekat. Kris mengajak Rain menginap di rumahnya dan akhirnya menjadi rutinitas.

Pada babak ini kemunculan ciri-ciri homoseksualitas dalam diri Rain ditampilkan dengan bagaimana Rain memperhatikan Kris mandi dari balik kaca yang buram. Rain membaui parfum milik Kris dan yang paling kentara ketika dia mengumpulkan bulu-bulu pribadi milik Kris yang rontok sewaktu mandi dan menyimpannya di dalam tisu.

Sisi romantisme tidak ditampilkan secara vulgar, tapi melalui adegan yang smooth, misalnya ketika Kris meminta Rain memilihkan baju ketika dia hendak berkencan dengan Shanti, pacarnya yang cantik. Dan Kris benar-benar memakai baju yang dipilihkan Rain.

Kris yang bandel, macho dan sangat laki, digambarkan sebagai seorang yang punya kecenderungan homoseksual tapi berusaha menyangkal preferensi seksualnya itu (salah satunya dengan cara berpacaran dengan perempuan). Tapi meskipun begitu, Kris sangat protektif dan possesif. Sebegitu possesifnya, Kris bahkan menyuruh Rain untuk memutuskan pertemanan dengan semua temannya yang lain, yang salah satunya adalah Susan (Gesata Stella). “Loe cukup temenan sama gue aja”, kata Kris dalam sebuah adegan.

Sisi romantisnya terhadap Rain ditunjukkan dengan membelikan Rain jam yang berharga mahal. Kris terlihat tidak senang ketika melihat Rain tidak memakai jam pemberiannya.

Preferensi seksual Kris diperlihatkan dengan nyata kepada penonton melalui adegan ketika dia pulang berkencan dengan Shanti dan mendapati Rain sudah tertidur (tapi sebenarnya pura-pura). Dia memandangi wajah Rain, menarik selimut menutupi tubuhnya dan sembunyi-sembunyi membelai pipi dan leher Rain.

Babak ini diakhiri dengan Kris yang tidak tahan lagi menahan gairahnya terhadap Rain kemudian mencium bibir Rain. Rain membuka matanya dan Kris berlari dari kamar, lalu mengurung diri di kamar mandi. Rain yang mengetuk pintu, lalu masuk kemudian diserang oleh Kris secara seksual, sekaligus mengancam Rain untuk tidak mengatakan pada siapapun.
Setelah itu Kris yang merasa malu dengan preferensi seksualnya menghilang dan Rain yang akhirnya menyadari kalau dirinya adalah seorang Gay. Merasa hancur karena perasaan kehilangan.

Babak kedua menampilkan Rain yang sudah sepenuhnya menjalani hidup sebagai Gay, menikmati kehidupannya yang mulai mapan. Ke Bangkok untuk menghadiri Songkran Festival yang merupakan Gay Pride nya Asia. Bertemu Will (Cornelius Sunny) yang macho, gondrong dengan wajah khas hindustan. Awalnya mereka berdialog dalam bahasa Inggris, tapi belakangan ketika tahu mereka berdua berasal dari Indonesia, percakapan selanjutnya dilakukan dengan bahasa Indonesia, mereka menjadi akrab dan berakhir dengan melakukan hubungan seksual yang liar. Setelah berhungungan, Rain baru tahu kalau Will adalah seorang pelacur. Tapi mereka tetap menikmati hubungan itu. Will yang merupakan simpanan seorang Om-om mengaku suka pada Rain dan berjanji akan meninggalkan om-om yang membiayainya. Rain menunggu di Hotel tapi Will tak kunjung datang. Akhirnya Rain berangkat ke Bandara sendirian. Secara tak sengaja di Bandara dia bertemu Kris yang dia rindukan selama 11 tahun belakangan. Rain menamparnya.

Babak ketiga menceritakan Kris yang sudah mapan di Bali, mengundang Rain untuk bekerja sama membuat film untuk iklan perusahaannya.

Kejutan terjadi ketika Kris memperkenalkan Susan, teman masa remaja Rain yang sekarang sudah menjadi istri Kris. Rain yang tadinya sempat berharap untuk menjalin hubungan kembali dengan Kris kembali merasa hampa.

Di bagian ketiga ini, konflik bathin yang dialami seorang Gay yang berusaha menyangkal preferensi seksualnya dieksplore habis oleh Andri Cung sebagai sutradara. Bagaimana kehidupan pernikahan Kris dan Susan seolah dibatasi dinding tinggi. Dan ini dengan cerdik digarap oleh Andri Cung yang juga merupakan penulis cerita ini, dengan menampilkan dialog-dialog dengan bahasa formal. Pada babak ini, Andri Cung dengan sempurna menampilkan bagaimana hampanya hidup Kris yang terus menyimpan perasaan terhadap Rain. Lalu Susan, yang selama usia pernikahan mereka selalu percaya kalau Kris bisa berubah, tapi perubahan itu tidak kunjung tiba. Kualitas akting Natalius Chendana dan Gesata Stella benar-benar berhasil menggambarkan situasi itu.

Dan di sini juga penonton bisa merasakan bagaimana intimnya hubungan antara Rain dan Kris, tanpa perlu menampilkan adegan vulgar.

Hebatnya, menurut pengakuan Andri Cung dalam sesi diskusi selesai pemutaran, ketiga aktor yang berperan sebagai Gay di film ini, adalah straight alias hetero. Tapi para aktor yang namanya belum terlalu dikenal di jagat perfilman Indonesia ini berhasil menampilkan diri sebagai sosok Gay yang sebenarnya. Meski pada adegan berciuman bibir, Andri Cung harus menyiapkan banyak obat kumur. Sebab para pemeran ini merasa jijik sendiri sehabis melakukan adegan itu.

Keberhasilan film ini menampilkan kualitas akting sebagus itu, menurut Andri Cung pada sesi diskusi adalah karena dia beruntung bisa menemukan para aktor yang berkualitas. Dan untuk mengembangkan karakter di dalam film ini. Andri bersama para aktor menghabiskan waktu selama 6 bulan untuk proses 'reading' (pembacaan naskah).

Hasilnya para pemain ini benar-benar masuk ke dalam karakter yang mereka perankan. Sehingga setelah film selesai, Andri tetap masih mendampingi para aktor ini untuk membantu mereka agar bisa keluar dari karakter yang mereka mainkan di film ini dan kembali menjadi diri sendiri.

[caption caption="Andri Cung bersama Produser Paul Agusta dan Kyo Hayanto (Foto : Minikino)"]

[/caption]

Bagi saya yang tidak menganggap isu LGBT sebagai isu yang istimewa menikmati film ini karena kualitasnya memang jauh di atas rata-rata film Indonesia. Saya menikmati bagaimana emosi yang dibangun film ini, akting para aktornya yang memukau, pengambilan gambar yang begitu indah dan berbagaimana sang sutradara mengeksplorasi berbagai sisi artistik di film ini.
Tapi bagi para peminat isu LGBT, bagi yang straight (hetero). Melalui film ini, bisa melihat bagaimana beratnya pergulatan batin seorang homosex dalam menyangkal preferensi seksualnya. Bagaimana kuatnya budaya dan lingkungan dan masyarakat menekan mereka sehingga memaksa mereka untuk berpura-pura sebagai heteroseksual.

Sedangkan bagi yang memiliki preferensi seksual menyukai sesama jenis, sebagaimana mayoritas penonton film ini malam itu. Mereka merasa film ini benar-benar menyuarakan apa yang sebenarnya mereka rasakan.

[caption caption="Berfoto bersama di akhir acara (Foto : Minikino)"]

[/caption]

Di akhir acara  kami semua berfoto dengan Sutradara dan kedua produser ini. Meskipun sebagian penonton sudah terlebih dahulu pulang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun