Mohon tunggu...
Win Wan Nur
Win Wan Nur Mohon Tunggu... wiraswasta -

Saya adalah orang Gayo yang lahir di Takengen 24 Juni 1974. Berlangganan Kompas dan menyukai rubrik OPINI.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Melayukah Aceh atau Acehkah Melayu?

13 Desember 2009   04:15 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:58 5279
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Orang Aceh agaknya bangga diklaim sebagai bagian dari Melayu. Padahal orang Melayu tidak pernah bangga menjadi bagian dari KPA. Sebagai contoh kecil, tarian seudati, ranup lampuan, ratoh duk, tarian seribu tangan, saman tidak akan pernah dijumpai di dalam sejarah tarian Melayu di Malaysia. Mereka hanya memiliki tarian zikir hulu yang berkembang di Kelantan dan Terengganu. Tarian-tarian Melayu di Malaysia lebih mirip dengan tarian Melayu-Riau. Sedangkan di Sabah dan Serawak budaya mereka lebih dekat ke budaya di pulau Kalimantan. Dari segi pakaian adat orang Aceh, jika dibuka lagi sejarah KPA maka akan terkuak bahwa adat pakaian orang Aceh sama sekali berbeda dengan orang Melayu.

Salah satu pepatah Melayu adalah lembu punya susu, sapi punya nama. Artinya kita yang memiliki KPA jangan sampai diklaim sebagai bagian dari kebudayaan wangsa lain. Jika ditilik dari sejarah, tanah Melayu memang tempat pertemuan beberapa budaya, mulai budaya Jawa, Thai, hingga Aceh. Karena itu keaslian Melayu di Malaysia masih diperdebatkan oleh para peneliti. Untuk mengamankan identitas Melayu, pihak Malaysia berhenti di depan konstitusi sebagai orang Melayu yang sah. Inilah kegusaran pendiri bangsa Malaysia ketika merumuskan konsep negara Malaysia, supaya suku-suku lain mendapat tempat di dalam konstitusi Malaysia. Namun puak Melayu tetap diutamakan sebagai bumiputera. Sebagai bukti kegusaran ini adalah munculnya kerusuhan besar-besaran pada tahun 1969 akibat dari pergesekan identitas Melayu dengan identitas lainnya (Cina).  Namun kita orang Aceh tanpa memahami pergumulan atau konflik identitas ingin menyandingkan dengan budaya berada dibawah kita.

Saat ini upaya untuk menggali KPA sudah hilang seiring gencarnya upaya Malaysia memelayukan Aceh dan upaya orang Aceh memelayukan diri mereka sendiri. Dalam beberapa literatur sejarah (mulai dari Denys Lombard hingga Tgk Chik Kutakarang) yang  sangat jelas diterangkan bahwa Aceh merupakan sebuah peradaban sendiri yang megah. Sulit mencari raja sekaliber Iskandar Muda di Tanah Melayu. Sulit mencari kitab sebanding dengan Sirat al-Mustaqim (karya Syaikh Nurdin Ar-Raniry) dan Tarjuman Mustafid  dan Mir’at Tulllab ( karya Syaikh Abdur Rauf al-Singkili) di dalam sejarah Malaysia. Karena itu pula ulama dari Mekkah dan Madinah lebih tertarik ke Aceh daripada ke semenanjung Melayu, karena mereka paham betul bahwa ada KPA di ujung pulau Sumatra ini memiliki kaitan yang kuat dengan kerak peradaban mereka di Timur Tengah. Ini disebabkan oleh asal usul orang Aceh berasal dari wangsa yang paling terhormat di dunia. Kita khawatir dengan perebutan gelar dan simbol, marwah dan martabat wangsa Aceh menjadi seperti yang terjadi hari ini.

Karena itu kita mengharapkan adanya pengetahuan sejarah identitas yang komprehensif di Aceh. Sejauh pengetahuan saya, tidak ada pelajaran KPA mulai dari sekolah hingga perguruan tinggi di Aceh. Suku Dayak yang masih tinggal di tengah hutan sudah menggagas Dayakologi untuk menjadi sebuah ilmu seluk beluk mengenai kehidupan orang Dayak. Sedangkan Aceh belum berani memunculkan Acehnologi (ilmu tentang seluk beluk Aceh). Adapun suku Jawa telah membenamkan kerak peradaban mereka ke seluruh Indonesia, termasuk kehidupan masyarakat Aceh. Karena kealpaan dan kelalaian inilah maka tidak mengejutkan persoalan identitas wangsa Aceh akan dikaburkan beberapa tahun yang akan datang.

Upaya menelusuri KPA melalui Acehnologi ini perlu dipertimbangkan. Di Aceh misalnya tidak sedikit gelar bangsawan yang punya makna identitas kebudayaan Aceh. Namun gelar dan atribut tersebut tidak lagi dipandang perlu dan digunakan oleh beberapa artis ibukota. Orang Aceh bangga dan tidak pernah merasa malu akan larinya makna KPA tersebut.  Di Aceh tidak sedikit gaya bahasa Aceh yang penuh dengan estetika dan semiotik, namun sama sekali tidak menjadi pelajaran penting di sekolah atau perguruan tinggi. Tidak ada jurusan Studi Aceh (Aceh Studies) di Perguruan Tinggi Aceh. Bahkan generasi muda susah berbahasa Aceh. Perihal Acehnologi memang masih sangat tabu ibarat pijet dalam kasoe brok. Ini disebabkan oleh format dan struktur identitas Aceh sudah menghilang, kecuali simbol-simbol saja untuk keperluan Qanun Adat Istiadat yang kemudian disimpan di dalam lemari. Karena itu tidak mengejutkan jika 30 tahun yang akan datang ilmu tentang seluk beluk Aceh harus dipelajari di Semenanjung Melayu, karena Aceh adalah Melayu. Inilah kecelakaan sejarah yang paling fatal bagi wangsa Aceh.

* Penulis adalah antropolog tinggal di Banda Aceh.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun