Mohon tunggu...
Win Wan Nur
Win Wan Nur Mohon Tunggu... wiraswasta -

Saya adalah orang Gayo yang lahir di Takengen 24 Juni 1974. Berlangganan Kompas dan menyukai rubrik OPINI.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kartini, Pahlawan yang Banyak Disalahpahami

22 April 2014   08:36 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:21 324
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13981053181236155082

[caption id="attachment_332673" align="alignnone" width="604" caption="Gambar yang Membandingkan Kartini"][/caption]

Setiap tanggal 21 April yang diperingati sebagai hari Kartini kemarin. Kita selalu membaca berbagai komentar sinis bernada cemburu terhadap tokoh yang satu. Aceh yang oleh mayoritas penduduknya kerap disebut "tanah para aulia" ini yang melahirkan begitu banyak pahlawan perang perempuan adalah salah satu daerah dimana banyak penduduknya yang merasa penokohan Kartini adalah egosentris Jawa, suku mayoritas di negara ini.

Sejak beberapa tahun belakangan ini, tiap 21 april di berbagai media sosial yang banyak dikunjungi oleh orang Aceh beredar gambar Cut Nyak Dhien yang bersanding dengan Kartini dengan tagline provokatif yang sangat menghina Kartini "DIBENCI PENJAJAH" diatas gambar Cut Nyak Dhien dan "DICINTAI PENJAJAH" di atas gambar Kartini. Dan kemudian di bawahnya ditulis, "Lalu mengapa yang paling ditokohkan pemerintah di negeri jajahan ini, justru figur perempuan yang dicintai penjajah dan belum pernah berjuang secara nyata dalam melawan penjajahan kolonial Belanda"

Pernyataan provokatif dan menghina ini, meski berbeda sudut pandang secara ekstrim mengingatkan kita pada ibu-ibu Dharma Wanita di masa orde baru yang biasa membuat pidato-pidati hebat tentang Kartini, padahal mereka sama sekali belum pernah membaca surat-surat Kartini.

Adalah hal yang konyol membandingkan perjuangan Cut Nyak Dhien dengan Kartini, karena itu seperti membandingkan Jeruk dengan Apel. Keduanya memang buah, tapi tidak bisa dibandingkan. Cut Nyak Dhien berjuang secara fisik untuk mempertahankan harga diri bangsanya. Beliau juga hidup di negeri yang bahkan ratusan tahun sebelumnya sudah memiliki laksamana perempuan. Jadi jelas isu yang diperjuangkan oleh Cut Nyak Dhien bukan lagi dalam konteks hak-hak perempuan.

Sementara Kartini, dia adalah perempuan yang hidup dalam kungkungan yang merasakan bagaimana sulitnya menjadi perempuan yang tidak bisa mendapatkan hak dasar sebagai manusia hanya karena ditakdirkan terlahir sebagai perempuan. Inilah menjadi titik tolak perjuangan Kartini.

Berbeda dengan Cut Nyak Dhien yang menunjukkan perlawanan secara fisik, Kartini menunjukkan perlawanan melalui pemikiran.

Saya yakin sekali bahwa orang yang merendahkan sosok Kartini ini tidak tahu bahwa dalam usia ABG, Kartini yang mereka rendahkan itu sudah habis melahap buku-buku sastra bermutu tinggi seperti roman-feminis karya Goekoop de-Jong Van Beek dan sebuah roman anti-perang karangan Berta Von Suttner, Die Waffen Nieder (Letakkan Senjata). Di usia ABG, Kartini sudah tuntas membaca Max Havelaar-nya Multatuli sebuah novel yang mengambil latar belakang kehidupan petani Kopi, yang dengan jelas dan lantang membeberkan nasib buruk rakyat yang dijajah.

Bacaan-bacaan inilah yang mempengaruhi pola pikir Kartini dan caranya memandang dunia.

Kartini yang sudah dipingit sejak umur 12 tahun bukan sosok yang mudah menyerah, meskipun dia tidak boleh lagi bersekolah tapi di rumah ia mulai belajar melalui buku-buku, koran, dan majalah Eropa. Sehingga di usia ABG-nya, Kartini benar-benar sudah menjadi sosok yang berpikiran global dan memiliki kedasaran yang menginternasional. Meski raganya dikungkung dalam pingitan, pikiran dan jiwa Kartini melanglang bebas menjelajah luasnya dunia. Kartini yang berada dalam kungkungan menulis surat kepada teman-teman korespondensi yang berasal dari Belanda. Salah satunya adalah Rosa Abendanon yang banyak mendukungnya.

Sehingga tidak heran di usianya yang masih ABG, Kartini sudah menunjukkan perhatian dan analisa mendalam tentang emansipasi wanita, masalah sosial umum sampai agama.

Kartini remaja memiliki wawasan yang sangat luas, ini bisa dilihat dari surat-surat Kartini berisi pandangan-pandangan hebat seorang remaja berusia belasan tentang agama, gaya hidup, pendidikan, peradaban, dan ketidakadilan. Dalam tulisan-tulisannya, Kartini mengecam pertikaian-pertikaian yang terjadi atas nama agama. Kartini mempertanyakan mengapa kitab suci harus dilafalkan dan dihafalkan tanpa diwajibkan untuk dipahami. Kartini juga mengecam konsumsi candu (narkoba) yang biasa dilakukan para bangsawan Jawa. Bandingkan dengan remaja belasan tahun sekarang, yang hidup di masa penuh kemudahan untuk mendapatkan informasi.

Hebatnya segala keluasan wawasan dan pengetahuannya tidak membuat Kartini menjadi sosok yang sombong. Kartini adalah sosok yang sangat rendah hati, segala gelar kebangsawanan yang dia sandang justru membuatnya jengah. Kartini merasa dia sama saja dengan umat manusia manapun di bumi, ini bisa terbaca dari ucapannya yang terkenal "Panggil aku Kartini saja" Tanpa embel-embel gelar kebangsawanan. bandingkan dengan orang masa kini yang bukan apa-apa saja  ingin dipanggil dengan embel-embel gelar dan predikat tertentu).

Kartini saat itu tahu kalau selain dia, ada perempuan di tempat lain di Hindia Belanda yang juga berjuang untuk emansipasi. Salah seorang yang dikagumi kartini adalah putri seorang bupati di Priangan yang sebaya dengannya bernama Dewi Sartika.

Melihat bagaimana rendah hatinya Kartini, kalaulah dia masih hidup di zaman sekarang. Sangat mungkin dia sendiri malu diberi label pelopor, karena dia sadar betul ada teman sebaya seperjuangan di Hindia Belanda.

Kalau kita amati dari surat-suratnya. Ide-ide pembebasan Kartini itu bukan hanya soal perempuan, tapi mencakup dalam banyak aspek kehidupan. Dibanding istilah feminis, Kartini sebenarnya lebih tepat disebut sebagai seorang Humanis. Sebab jelas sekali ide pembebasan Kartini bersifat Universal. cita-cita Kartini  yang sesungguhnya adalah kemanusiaan yang tidak dibatasi gender, agama, maupun kebangsaan.

Itulah yang menjadi alasan mengapa Kartini menjadi sosok yang begitu dikagumi pada masa pergerakan kemerdekaan, sampai-sampai seorang WR Supratman pun tergugah mengarang lagu untuknya, setelah mengikuti Kongres Perempoen 1928.

Jadi, silahkan saja kita mengagumi seorang pahlawan perempuan bernama Cut Nyak Dhien, tapi bukan berarti kita lalu berhak untuk merendahkan Kartini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun