Mohon tunggu...
Winras Yohannes Sinurat
Winras Yohannes Sinurat Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa

main basket, nonton anime, baca buku

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Nyatanya Pancasila "Tidak Penting"

11 Maret 2023   21:58 Diperbarui: 11 Maret 2023   22:06 199
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Pancasila sebagai landasan, falsafah negara, atau apapun yang bisa kita sebut untuk menggambarkannya adalah sebuah sistem berpikir dan berlaku, seperangkat nilai yang mengisi relung pikir dan hati penganutnya, dalam hal ini adalah bangsa Indonesia. Mari kita mundur kembali untuk melihat dari mana ide-ide Pancasila ini lahir menjadi sebuah falsafah yang sedemikian hebatnya. Konon (dan memang sebenarnya) sebelum Ir. Soekarno memberikan nama Pancasila sebagai dasar negara di Kote Ende, Prof. Mr. Dr. Soepomo menyampaikan pidato dalam sidang pertama BPUPKI tentang usulan lima dasar negara Indonesia merdeka pada 29 Mei 1945 (bersama Moh. Yamin, Ir. Soekarno dan Mr. Soepomo adalah  perumus Pancasila). Kurang-lebih  beliau menyampaikan usulan dasar negara yang sama persis seperti Pancasila saat ini; yakni Peri Kebangsaan, Peri Kemanusiaan, Peri Ketuhanan, Peri Kerakyatan dan Kesejahteraan Rakyat. 

Bukan terlahir dari urgensi memerdekakan negara yang hanya berselang 3 bulan, buah pikiran ini adalah integrasi perjuangan bangsa selama 350 tahun mempertahankan kekokohan negara dari penjajah. Maka Pancasila bukan sekadar falsafah negara yang sering kita pajang di dinding-dinding ruangan kedinasan, sekolah, atau bahkan rumah kita. Pancasila adalah semangat negara, semangat yang mendorong kita, citra diri kita; Pancasila adalah kita.

Pancasila lahir dari kearifan negara dan masyarakat. Menjadi sebuah falsafah negara Pancasila hadir melingkupi seluruh masyarakat. Namun inti dari Pancasila sebagai falsafah negara bukan sekadar suatu kewajiban yang harus kita ucapkan saat upacara saja, sebagai kajian materi dalam studi pelajaran sekolah dan kuliah; Pancasila adalah stigma positif sebagai negara Pancasila, yang menyebut masyarakatnya Pancasilais. Yang menarik dari Pancasilais adalah The Founding Father, atau para bapak pendiri bangsa Indonesia. Satu hal yang sering kali terlupakan dari makna Pancasila adalah warisan dari mereka, yakni semangat. Pancasila sebagai dasar negara memiliki semangat para pendiri yang diteruskan kepada semua masyarakat saat ini; Pancasila bukan sekadar sejarah. Itulah eksistensi masyarakat Indonesia.

Dalam pembukaan UUD 1945, Pancasila dicantumkan sebagai cita-cita Indonesia.  Dalam perjalanan mewujudkan cita-cita bangsa, negara dan Pancasila mengalami banyak pergulatan. Dalam masa pembentukannya saja (yang sebelumnya disebut dalam Piagam Jakarta), terjadi pertentangan. Dalam sila pertama harus mengalami perubahan dari "...menjalankan syariat-syariat islam bagi para pemeluknya" menjadi "Ketuhanan yang Mahaesa". Mufakat yang dilakukan adalah sifat dari keterbukaan Pancasila sebagai falsafah negara yang mengintegrasi semua masyarakat (Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, Pancasila sila ke 5). Sifat yang terbuka sekaligus menyiratkan banyaknya tantangan yang akan dihadapi di masa depan.

Tantangan Pancasila sebagai dasar negara

Pancasila sebagai dasar negara pasti memiliki dimensi fleksibilitas yang mampu menyesuaikan dengan zaman di mana negara harus selalu berpijak. Banyak upaya yang telah dilakukan untuk membuat Pancasila tetap menjadi pegangan dan diingat oleh masyarakat. Hal yang paling kelihatan adalah kebijakan pemerintah dalam membuat Pancasila sebagai objek kajian dan mata pelajaran dalam studi formal. Kebijakan ini tidak dianggap main-main. Selama kurang lebih 13 tahun seorang pelajar harus memelajari Pancasila. Harapannya adalah Pancasila sanggup memberikan transformasi diri, memperluas horizon dan sudut pandang serta mampu berdiskresi secara rasional seoptimal mungkin. Dalam jangka waktu itu diharapkan transformasi diri menuju jiwa yang Pancasilais.

Kelima dasar negara ini tidak terpisah satu sama lain; bersifat saling melengkapi dan mengintegrasi. Sering terjadi penyalahgunaan bahwa sila mana yang paling penting untuk dilaksanakan, seperti cukupnya berbuat baik tanpa harus memiliki keyakinan untuk memeluk salah satu agama. Hal ini membenturkan sila pertama dengan sila kedua. Atas dasar bangsa Indonesia, para bapa pendiri bangsa sudah dengan matang memerhatikan pentingnya memiliki agama sekaligus bersifat etis sebagai manusia.

Ketika menyinggung tentang dasar atau falsafah negara, penekanannya bukan terletak pada pertanyaan 'apakah itu' yang bersifat definitif. Sayangnya Pancasila sering kali jatuh pada dilema ini. Begitu banyak nilai relvansi Pancasila dalam zaman kontemporer Indonesia. Hanya saja makna yang luput dari Pancasila sebagai ideologi negara adalah realitas dari pertanyaan 'apakah dampaknya?'. Masalah dijumpai ketika unsur fundamen dari Pancasila itu tidak mendapat implementasi; dan ekstrim itu terjadi. Lebih parah lagi, dalam beberapa wawancara bebas yang sering terjadi ketika ditanyai tentang kelima sila dari Pancasila kepada masyarakat, tidak sedikit yang tidak mampu menjawab dengan lengkap. Artinya, Pancasila sebagai cita-cita bangsa sejauh ini hanya menjadi angan-angan belaka dan harapan yang entah sampai kapan mampu dicapai.

            Sila Pertama

Sila pertama adalah "Ketuhanan yang Mahaesa". Diturunkan bahwa, negara mengakui enam agama resmi serta agama kepercayaan daerah oleh setiap orang. Sebagai bangsa yang merdeka, bangsa Indonesia pun memerdekan dan memberi kebebasan dalam berekspresi (termasuk tanggung jawabnya; dalam hal ini adalah memiliki kepercayaan atau agama). Kebebasan yang diatur dalam pembukaan UUD 1945 tidak hanya mencakup 6 agama besar, melainkan juga kepercayaan daerah. Hal ini Pancasila sebagai ideologi bangsa sangat menjunjung tinggi kebebasan independen setiap warga negaranya dalam beragama

Nilai praksis yang terjadi khususnya dalam kebebasan beragama seringkali dimaknai sebagai kebebasan untuk menjadi radikalisme agama. Banyak kasus yang terjadi. Banyaknya jumlah agama yang menjadi dasar atas negara untuk memberi kebebasan menjadi seorang yang pada dasarnya religius bukan menjadi indicator penentu bahwa negara (masyarakat) menjadi religius. Indonesia sering kali jatuh pada superfisial agama yang hanya menilai agama sebagai sudut pandang identitas. Seorang bijak mengatakan bahwa Indonesia adalah negara yang religius. Kereligiusan ini ternyata riskan untuk menghubung-hubungkan agama dengan banyak hal. Masyarakat membuat agama sebagai identitas politik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun