Mohon tunggu...
Winny Yuliana
Winny Yuliana Mohon Tunggu... -

Tidak banyak yang bisa dibagi, hanya beberapa deret kata yang mengandung segenggam cinta kepada hobi menulis.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

The Wedding Day

20 April 2015   14:54 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:53 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Terkadang Zahira–atau biasa dipanggil akrab dengan Ira oleh sekelilingnya–merasa ragu dengan apa yang tengah ia lalui, bahkan hingga kini setelah Bagus dengan resmi mengucap sumpah yang menggetarkan Arsy-Nya untuk meminangnya.

Di hadapan kaca, seperti di dalam dongeng-dongeng putri seakan Ira berbisik pada cermin. Akankah gaun berwarna krim dan brokat cokelat di sekitar dadanya cukup untuk menyenangkan Bagus di hari bahagia ini? Tidak, lebih serius lagi. Apakah Bagus cukup untuknya, dan sebaliknya ia cukup untuk Bagus? Jelas pernikahan bukan hanya seremoni yang dalam beberapa menit akan dijalaninya di atas heelsberwarna senada.

Semua orang pernah berteori yang tidak masuk akal tentang apa yang akan terjadi ketika akal seseorang tumpul. Seakan mengonfirmasi teori itu, cermin di hadapan Ira berputar mengaburkan bayangannya. Seiring dengan putaran yang melambat ia dapat melihat dirinya sendiri di dalam cermin. Dirinya 2 tahun silam.

Dua tahun silam, ketika yang Ira bisa lakukan hanya memandangi Bagus dari kejauhan karena ada gadis yang digandeng Bagus. Tidak pernah absen memanjatkan doa untuk dibukakan jalan bersama dengan Bagus di setiap sela nafasnya. Ajaib, dalam beberapa bulan Bagus berpisah dengan gadis itu.

Sesaat setelah wisuda, Ira pergi kembali ke kampung halaman dan menciptakan jarak ratusan kilometer dengan Bagus, Lubang di dadanya perlahan terbuka, lantas dipenuhi kerinduan dan penyesalan akan waktu yang ia sia-siakan untuk hanya sekadar memandang dari kejauhan.

Keajaiban kedua melingkari takdirnya. Beberapa pesan singkat lantas memenuhi kekosongan pada relung-relung hatinya. Dalam beberapa bulan sekali Bagus menyempatkan waktu untuk menemuinya, bertandang ke keluarga dekat, dan menghabiskan masa sekadar tiga jam untuk mengobati rindu Ira. Terus begitu, hingga pertemuan berakhir pada kesepakatan untuk menyerahkan Ira pada bagus.

Di sana lah Ira, masih di hadapan cermin yang memutarkan memorinya. Mulutnya terkatup dan tertahan, menahan air mata agar tidak menderas dan merusak eye liner yang dipakaikan dengan susah payah. Baru lah sadar akan keraguannya, “apa kah doaku memaksakan takdir Tuhan datang begini?” Keraguan yang sejatinya tidak logis, namun muncul karena keresahan. Begitu resahnya karena semesta begitu hebat menyihir pengharapannya datang begitu cepat.

Ira sepertinya telah terlampau resah hingga ia tidak menyadari panggilan atasnya. Tergesa-gesa ia menghampiri dan diposisikan di sebelah Bagus untuk berjalan hingga ke pelaminan.

Saat itu begitu lambat bagi Ira. Ia menoleh, memandang cara menatap Bagus dari balik kaca mata betapa bahagianya. Guratan-guratan wajahnya semakin mantap dan perlahan menghapus keraguan pada Ira.

“Mas Bagus, apakah aku akan cukup untuk Mas?” tanya Ira spontan sambil menggengam tangan suami yang meminangnya pagi itu. Kepalanya ditolehkan, menjauhkan dari Bagus takut membuatnya berpikir yang tidak semestinya. “Maksudku, aku mungkin bukan perempuan yang sempurna untuk keluarga idamanmu,” lanjutnya.

“Zahira…” Bagus menarik tangan Ira dan mengelus punggung tangannya. “Tidak peduli dengan  perbedaan profesi, perbedaan keluarga, hingga perbedaan usia yang selalu menjadi ketakutanmu. Selama Tuhan menunjukkan kemudahannya pada, kita pasti akan dicukupkan,” jawab Bagus.

Seketika perasaan takut tersapu bak ombak menggulung dan menyeret pasir-pasir kerikil hingga ke tengah laut. Dengan tenang menyeret ujung gaun krim berjalan ke singgasana yang akan menjadi kedudukannya. Setiap langkahnya mengurangi ketakutannya, justru berganti akan harapan dan kebahagiaan untuk melanjutkan kehidupan bersama.

“Mas Bagus! Jangan dilepas dulu!”

“Lalu?”

“Aku ingin berdansa denganmu sekali saja, sebelum kita berganti pakaian singgasana.”

Tangan kanan Bagus lantas menggenggam lengan Ira, sedangkan yang lain dilingkarkan. Maklum, di usianya ia tidak mahir menari. Keduanya berputar, maju, dan mundur di lantai kamar mengikuti melodi yang berputar dari ponsel Ira. Hanya beberapa menit, namun masa itu akan disimpan hingga selamanya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun