Beberapa bulan ini makin nyaring di banyak media dan di area pergaulan membahasakan budaya, atau membudayakan podluck atau party dengan membawa makanan sisa dari rumah.
Bukan itu saja, budaya trending tropik mengenai jual beli pakaian bekas atau baju awul awul semakin muncul dan intens menyaingi berita tentang BRS, JB, COVID,Â
"Masa iya kita party bawa makanan sisa dari rumah gaes"
Tentu dan pasti  jawabnya " ogah banget ".Â
Hidangan makanan di kondangan gak sesuai selera aja, pasti kita sebagai bangsa Indonesia selalu komen dengan nada miring dan, hinaan cacian mengenai label kampungan pasti bergema. Trus trend macam gimana tiba2 ada tradisi apa-apa podluck.Â
Masalah membudayakan makanan tidak mubazir memang bagus. Akan tetapi tolong deh, masa iya membudayakan adat menyajikan makanan sisa supaya tidak mubazir.
Sebelum digemakan budaya podluck atau tidak menyia nyiakan makanan supaya tidak terbuang. Sudah dibudayakan " mari bungkus makanannya untuk dibawa pulang". Bahkan daerah paling pelosok jahanam juga menyediakan semacam wakul untuk dibawa pulang apabila makanannya turah-turah.
Jadi jujur saja, saya sangat curiga dengan budaya terbaru yang digemakan dan diteriakkan oleh artis DSW mengenai mengetrendkan budaya PODLUCK nya Filipina.
" Kalo makanannya bukan prasmanan kita gak usah dateng dah"
Apalagi kalo sifat DNA kita adalah kalo bukan prasmanan mending gak usah dateng, karena masih ada kepercayaan bahwa makanan yang didoakan beramai ramai adalah makanan yang penuh berkah. Jadi makin banyak yang kita makan diwaktu perayaan, rezeki kita juga dipercaya akan berlimpah ruah. Maka sangat aneh jika menekan Indonesia untuk membudayakan memberi orang dengan makanan sisa.
" Kebaikan kota lama adalah makanan tumpah ruah gratis fresh bukan makanan sisa"