Pernahkah Anda menerima pesan gambar/foto/meme dengan objek perempuan dan anak  yang cenderung berkonotasi melecehkan? Terutama di media sosial ataupun melalui aplikasi pesan instan di smartphone. Belum lagi, gambar/foto/meme tersebut dibumbui dengan teks-teks yang menyinggung status, perilaku, ataupun kondisi fisik perempuan dan anak tersebut.
Apa yang selanjutnya Anda lakukan? Merasa pesan gambar atau meme itu lucu dan ingin membagikan "kelucuan" Â tersebut kepada orang lain? Atau sebaliknya, Anda justru merasa prihatin?
Sebaiknya Anda segera menyadari, karena tindakan membuat atau menyebarkan lagi gambar/foto/meme yang melecehkan perempuan dan anak itu termasuk ke dalam pelanggaran Undang-Undang, yaitu  UU RI Nomor 7 Tahun 1984  tentang Pengesahan Konvensi  PBB mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita, dan UU RI Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.
Apa sesungguhnya yang dimaksud dengan pelecehan seksual? BKKBN (2012: 8) mendefinisikan  pelecehan seksual sebagai tindakan bernuansa seksual yang disampaikan melalui kontak fisik maupun nonfisik yang menyasar pada bagian tubuh seksual atau seksualitas seseorang sehingga mengakibatkan rasa tidak nyaman, merendahkan martabat seseorang, dan mungkin sampai menyebabkan masalah kesehatan dan mengancam keselamatan.
Dengan berkembangnya kemajuan teknologi informasi, maka bentuk-bentuk pelecehan seksual dapat dilakukan melalui pesan gambar atau meme yang disebarluaskan melalui media sosial ataupun smartphone.Â
Pelecehan jenis ini menurut Pierre Bourdieu dapat dikategorikan sebagai kekerasan simbolik. Kekerasan simbolik dapat terjadi karena adanya kepentingan-kepentingan  kapital ekonomi.Â
Apabila kekerasan simbolik terus dibiarkan, maka secara tidak langsung dapat membangun sekaligus mempertajam persepsi-persepsi yang keliru tentang peran sosial perempuan dan tanggung jawab sosial masyarakat terhadap anak-anak.
 Di Indonesia, kekerasan simbolik terhadap perempuan dan anak melalui media sosial jarang disadari atau belum dipahami oleh seluruh lapisan masyarakat. Tindakan melecehkan kondisi fisik dan status perempuan melalui gambar sering kali dianggap sebagai hal yang "sewajarnya". Bahkan tidak sedikit dilakukan pula oleh kaum perempuan itu sendiri.
Hal ini dikarenakan nilai budaya patriarki masih menjadi cara pandang yang dominan  di Indonesia, sehingga menjadi salah satu faktor yang memengaruhi cara berpikir masyarakat. Akibatnya, tindakan mengeksploitasi objek perempuan di media massa juga kerap dianggap sebagai bagian dari pembentuk kapital ekonomi yang menguntungkan, sekaligus menegaskan kekuatan kekuasaan posisi laki-laki (Irianto dalam Wardani, 2020: 83).
Akhir tahun 2020 ini, kita seolah kembali diingatkan perihal isu-isu tentang kekerasan terhadap perempuan dan anak. Isu ini memang harus terus disosialisasikan secara berkesinambungan agar membangun kesadaran etika dan  moral masyarakat.Â