Mohon tunggu...
Winny Gunarti
Winny Gunarti Mohon Tunggu... Dosen - Penulis, Peneliti, Pengajar di Universitas Indraprasta (UNINDRA) PGRI, Jakarta

Kontak IG @winnygunarti

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Aquarini Priyatna, Menguak Perlawanan Perempuan terhadap Konstruksi yang Kerap Merepresi

12 November 2019   11:35 Diperbarui: 12 November 2019   12:23 338
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Berita tentang Sulli atau Choi Jin Ri artis Korea Selatan  yang meninggal bunuh diri dan diduga menderita depresi, hanyalah satu dari sekian  narasi tentang perjuangan hidup selebritas perempuan yang terjadi di masa kini. Mungkin ada jutaan perempuan di dunia, baik selebritas maupun perempuan kebanyakan,  yang juga merasa "marah" pada keadaan hidupnya, namun tak kuasa mengungkapkan atau menemukan ruang untuk membantunya keluar dari  tekanan, karena terjebak dalam konstruksi tentang citra perempuan ideal yang harus selalu ditampilkan.

Di dunia sastra  modern abad ke-20, kisah hidup novelis perempuan asal Inggris, Virginia Woolf (1882-1941) juga menjadi renungan fenomenal bagi banyak pemujanya pada masa itu. Virginia banyak menulis tentang kecemasan-kecemasan diri secara terbuka, yang  dulu masih dianggap tabu, dalam sejumlah novel dan otobiografinya, seperti "Mrs.  Dalloway",  "To the Light House" dan "A Room of One's Own". Namun Virginia juga memilih untuk mengakhiri hidupnya dengan menenggelamkan diri di Sungai Ouse.  Karya-karya kritis Virginia hingga kini terus memberi pengaruh di bidang sastra.

Perjalanan pergulatan perempuan dalam  memperjuangkan hak-haknya  adalah sebuah wacana kritis yang agaknya perlu terus disosialisasikan secara dinamis.  Hal inilah yang diungkap oleh  Prof.  Aquarini Priyatna, M.A., M.Hum., Ph.D., dalam acara pengukuhan jabatan Guru Besar Bidang Ilmu Sastra dan Gender di  Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran, 8 November 2019. Prof.

Aquarini Priyatna, secara ekspresif dan menyentuh,  menguak perlawanan terhadap konstruksi yang kerap merepresi perempuan tersebut dalam orasi ilmiahnya yang berjudul "Auto/biografi sebagai narasi feminin/feminis: Perlintasan lokal-global, selebritas, dan budaya populer".

Berikut adalah sejumlah kutipan dari orasi yang disampaikannya:

"Perbedaan Barat dan Timur, global dan lokal, perlahan mulai mengabur dalam jaringan nilai-nilai yang saling mengikat. Narasi mengenai hidup perempuan dapat membongkar lebih dalam dan lebih jauh mengenai pandangan dan nilai-nilai yang sering kali kita anggap benar dan sakral. Narasi mengenai hidup perempuan, terutama yang ditulis perempuan, juga memberikan artikuasi bagi hidup dan cara hidup perempuan yang sering kali dianggap sekunder dan marjinal" (Priyatna, 2019: 5).

"Carolyn Heilburn (1997) menulis bahwa ada empat cara bagi perempuan untuk menulis tentang kehidupannya:  Perempuan itu sendiri menulis hidupnya dan menamainya autobiografi; Perempuan menulis hidupnya dan menamainya karya fiksi; Laki-laki atau perempuan menulis hidup perempuan dan menamainya biografi: Perempuan menulis hidupnya sendiri dengan menghidupi hidupnya itu tanpa menyadari dan menami proses yang sedang berlangsung itu" (Priyatna, 2019: 6-7).

"Perempuan sering kali harus merepresi kemarahannya karena perempuan dikonstruksi sebagai "penyayang dan penyabar" sedemikian sehingga perempuan yang marah seringkali dianggap "gila". Perempuan yang "normal" tidak seharusnya marah-marah. Bahkan kegilaan seringkali pada akhirnya memang merupakan manifestasi dari kemarahan yang tidak tersalurkan itu. Kegilaan menjadi bentuk perlawanan terhadap konstruksi yang terlalu kuat merepresi perempuan. Banyak perempuan cemerlang yang mengalami gangguan mental dan psikologis" (Priyatna, 2019: 8).

"Salah satu penulis perempuan yang secara lantang menunjukkan kemarahan dan protesnya dalam begitu banyak karya fiksi dan autobiografis[s] adalah Nh. Dini. Ia berani mengungkapkan kemarahannya termasuk 'dosa-dosanya'  sebagai perempuan yang marah dengan konstruksi yang salah, sebagai perempuan yang tidak selalu harus menjadi ibu dan istri yang baik (yang diam saja ketika suaminya bertindak abusif dan menyeleweng). Nh. Dini mengungkapkan perlintasan antara "perempuan baik" dan "perempuan tidak baik" dan membangun diri sebagai perempuan sebagaimana yang diinginkannya" (Priyatna, 2019: 9).

Femininitas Selebritas Indonesia Sebagai Femininitas Baru.

"Dalam masyarakat yang jenuh media, selebritas, terutama selebritas perempuan, dikonstruksi sebagai "spectacle", sebagai pemandangan dan tontonan. Dalam konteks tertentu mereka juga dikonstruksi sebagai subjek/objek yang ideal, dan lebih dari itu menjadi femininitas yang diidealkan" (Priyatna, 2019: 13).

"Secara umum bentuk baru femininitas selebritas Indonesia termanifestasi sebagai hasil dari berbagai elemen yang saling berkelindan, di antaranya tubuh dan kecantikan; gagasan heteroseksualitas; penuaan; konsumsi, komodifikasi, dan iklan. Pengaruh yang sangat penting dari majalah global adalah cara majalah memapankan bentuk tubuh tertentu yang dikonstruksi sebagai tubuh yang disukai (desireable) dan diinginkan (desired)" (Priyatna, 2019: 15).

"Auto/biografi perempuan Indonesia, terutama selebritas perempuan menunjukkan kompleksitas femininitas yang ditunjukkan dan dinegosiasikan oleh mereka, baik dalam ruang publik maupun ruang privat/domestik. Mereka juga bermanuver antara yang lokal dan yang global, tradisional dan modern, normatif dan progresif, muda dan tua, demi meraih kesuksesan dan kesempurnaan profesional. Singkatnya, dalam auto/biografi perempuan, perbedaan cara menubuhi femininitas dapat dipertimbangkan sebagai femininitas baru yang menegosiasikan dan mengontestasi atribusi normatif" (Priyatna, 2019: 22-24)

Demikian sekilas intisari dari orasi ilmiah yang disampaikan oleh Prof. Aquarini Priyatna.

"Saya marah karena itu saya menuls," tulis Aquarini Priyatna dalam bukunya yang berjudul Kajian Budaya Feminis.

Perempuan kelahiran Bogor, 1 Juni 1968 ini menyelesaikan  S1 di Sastra Inggris, Universitas Padjadjaran, S2 di Institute for Women's Studies di Lancaster University, United Kingdom, dan Kajian Gender di Pascasarjana Universitas Indonesia. Kemudian  S3 di Centre for Women's Studies and Gender Research, School of Political and Social Inquiry, Faculty of Arts, Monash University.  Aquarini telah menghasilkan 8 buku kajian gender, meraih 8 penghargaan nasional maupun internasional, mempublikasikan sejumlah artikel ilmiah di surat kabar dan media online, jurnal nasional maupun jurnal internasional bereputasi. Aquarini juga sering  menjadi pembicara utama di sejumlah konferensi nasional dan internasional.

Yang terakhir dari tulisan ini, dan tentunya sangat penting buat saya, karena  Aquarini Priyatna adalah Co-Promotor saya saat menyelesaikan studi S3 di Pascasarjana, FSRD, Institut Teknologi Bandung.  Saya belajar banyak darinya. Selamat ya Prof. Teruslah menyuarakan pemikiran perempuan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun