Mohon tunggu...
Winny Gunarti
Winny Gunarti Mohon Tunggu... Dosen - Penulis, Peneliti, Pengajar di Universitas Indraprasta (UNINDRA) PGRI, Jakarta

Kontak IG @winnygunarti

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Tragedi Cinta hingga Misteri di Jalur Pohon Cengkeh yang Menguning

22 Oktober 2019   12:09 Diperbarui: 22 Oktober 2019   13:24 156
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kaki Bukit Gado-Gado, Padang Selatan (Sumber Foto: @delsyermon3630)

Ada kecemasan saat membaca berita tentang kebakaran lahan di kawasan Bukit Gado-Gado, di Kecamatan Padang, Padang Selatan, Sumatera Barat, September 2019 lalu. 

Tapi untunglah, kebakaran cepat diatasi oleh Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD). Apalagi api  sempat menghanguskan sekitar setengah hektar pohon besar  yang berada di puncak bukit tersebut, sebagaimana diberitakan situs covesia.com/archipelago.

Bukit Gado-Gado memang bukanlah kawasan hutan biasa. Ia adalah sebuah bukit yang menyimpan warisan sejarah dan budaya, bahkan mungkin misteri prasasti yang belum terpecahkan. 

Ketika seseorang berswafoto di antara batang-batang pohon Cengkeh di kaki Bukit Gado-Gado,  lengkap dengan rangkaian ranting-rantingnya yang kering kerontang, visualisasinya bukan semata hasil karya fotografi  landscape. Melainkan sebuah gambaran tentang kehidupan manusia dan makna interaksinya dengan alam.

Biasa populer dengan nama Bukit Siti Nurbaya, atau Gunung Padang, atau di zaman penjajahan VOC disebut Bukit Monyet, kawasan ini memang sedang digiatkan oleh Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Padang untuk menjadi destinasi wisata yang potensial. 

Di pagi hari, terutama akhir pekan, wilayah sepanjang jalur pendakian Bukit Gado-Gado kerap ramai dikunjungi masyarakat. Jalur yang telah diperbaiki dengan hotmix dapat digunakan untuk bersepeda atau berjalan kaki. 

Juga ada bentangan anak tangga sepanjang sekitar 1 km yang  mengundang siapa pun untuk menjajal energi hingga mencapai puncaknya. Di puncak Bukit Gado-Gado, orang dapat menikmati panorama Kota Padang, serta kemilau cahaya dari pasir Pantai Padang.

Jika terus berjalan menyusuri ketinggian bukit, tampak pula hamparan laut Samudera Hindia hingga ke Teluk Bayur. Pikiran dan hati yang tengah dimanjakan dengan pemandangan garis Pantai Aia Manih atau Air Manis, masih ditambah lagi dengan kisah legenda Malin Kundang, yang wujud batunya berada di pantai tersebut.

Sementara di sore hari, orang bisa asyik bercengkrama sambil menikmati matahari terbenam, ditambah eksotisme kerlip lampu dari rangka Jembatan Siti Nurbaya di atas Sungai Batang Arau yang kian renta ditelan waktu namun tetap terlihat kokoh.

Bukit Gado-Gado juga menyimpan cerita tragedi cinta antara Siti Nurbaya, Syamsul Bahri, dan Datuak Maringgih. Sebuah tragedi berlatar adat tradisi Minang yang berujung kematian. Tragedi ini melegenda melalui novel karya Marah Rusli yang kini menjadi warisan budaya.

Makam Siti Nurbaya yang berada di Taman di puncak bukit tersebut seolah menjadi simbol yang merepresentasikan eksistensi manusia di dalam keragaman suku bangsa. Tragedi Siti Nurbaya bisa jadi adalah sebuah kebenaran dan kenyataan dalam perjalanan hidup anak manusia. 

Namun menurut filsuf Kierkegaard (dalam Hassan, 1976), titik tolak pengamatan untuk memahami eksistensi manusia senantiasa berpangkal pada manusianya sebagai sebuah kenyataan subjektif. 

Manusia yang bersifat individual, namun terikat dalam sebuah tradisi yang dianggap 'universal'. Dari kisah Siti Nurbaya ini, setidaknya kita bisa merenungkan sejenak, apa sesungguhnya hakikat dari kebhinekaan Indonesia.

Belum lama ini, penemuan batu tulis atau prasasti di Bukit Gado-Gado juga mengejutkan banyak pihak, terutama para arkeolog yang terinspirasi untuk meneliti lebih lanjut. 

Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Sumatera Barat pada tahun 2017 telah memulai gerakan menyelamatkan dugaan cagar budaya prasasti Bukit Gado-Gado tersebut. 

Meskipun batu prasasti itu telah mengalami kerusakan akibat faktor alam maupun vandalisme, namun masih ada harapan untuk ditelusuri keberadaan artefak lainnya. Apa yang tertulis di permukaan batu tersebut hingga kini masih merupakan misteri.

Albert Einstein semasa hidup  pernah mengatakan, "Look deep into nature, and then you will understand everything better".  Tapi sebenarnya orang Minang sudah lebih dulu berujar, "Alam takambang jadi guru", bahwa alam dan pengalaman merupakan guru yang terbaik. 

Bukit Gado-Gado yang juga bakal diintegrasikan dengan area Kota Tua Muaro, adalah alam sekaligus pengalaman, tempat kita bisa menghargai alam sekaligus belajar dari warisan sejarah dan budayanya. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun