Mohon tunggu...
Winny Gunarti
Winny Gunarti Mohon Tunggu... Dosen - Penulis, Peneliti, Pengajar di Universitas Indraprasta (UNINDRA) PGRI, Jakarta

Kontak IG @winnygunarti

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Enigma 2019: Menebak Arah Suara "Undecided Voters"

29 Desember 2018   12:56 Diperbarui: 29 Desember 2018   13:22 319
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Foto: https://www.goodfreephotos.com

Tahun 2019 telah di ambang pintu. Namun, di tengah berbagai berita bencana alam yang membuat masyarakat Indonesia bersedih, isu politik tetap saja menjadi topik yang paling dicari di media sosial. 

Orang pun semakin sering mempertanyakan arah pilihan orang lain, baik melalui aplikasi pesan instan di ponsel, di dalam pertemuan keluarga, maupun dalam interaksi sehari-hari. Kadang dalam bentuk guyon, kadang juga dalam untaian kalimat yang serius. Akan tetapi substansi pertanyaannya sama saja, "You pilih nomor 1 atau 2 ?", dalam Pemilu Presiden nanti.

Pertanyaan sederhana, tapi entah kenapa bagi sebagian orang yang sering digolongkan sebagai "Undecided Voters" (para pemilih yang belum menentukan pilihan) menjadi begitu susah menjawabnya. Masalahnya setiap jawaban yang diberikan berpotensi berdampak pada relasi dan interaksi dengan sesama, baik secara jangka pendek maupun jangka panjang. 

Pasalnya lagi, suara para "Undecided Voters" ini termasuk yang diperebutkan nanti, meskipun persentasenya semakin kecil. Mereka berbeda dari para golput (yang sudah memutuskan untuk tidak mau ikut pemilu), dan para "swing voters" (para kutu loncat pendukung partai). Survei yang dilakukan oleh LSI (Lingkaran Survei Indonesia) baru-baru ini menyebutkan ada sekitar 16,2 persen jumlah para Undecided Voters ini, dan paling besar berada di kisaran usia 20-29 tahun, sebagaimana dikutip dari  geotimes.

Para Undecided Voters ini biasanya punya alasan tersendiri untuk tidak menetapkan pilihan sebelum hari "H". Ada yang beralasan ingin melihat perkembangan politik terlebih dulu, menunggu acara debat program dan visi, atau alasan sederhana karena menjadikannya sebagai sebuah "rahasia pribadi" demi menjaga relasi sosial. Bukankah dulu pernah gencar dikampanyekan Pemilu yang jujur, adil, bebas, dan rahasia?

Alhasil, ketika pertanyaan itu ditujukan kepada saya pun, saya tidak segera dapat menjawabnya. Malah saya jadi terlalu "serius", berusaha mencerna lebih jauh tujuannya mempertanyakan prinsip dan pilihan saya nanti, yang sebenarnya masih beberapa bulan ke depan. Keengganan untuk menjawab pertanyaan tersebut justru mengantarkan saya pada renungan tentang realitas pikiran manusia.  

Ketika setiap orang kini memiliki kebebasan unuk menyatakan pendapat dan keberpihakkannya kepada salah satu calon idolanya, sekaligus  berpeluang memviralkan berbagai video dukungan yang didesain sebagai sebuah kebenaran, hal itu tidak serta merta menjadikannya sebuah gagasan massal.

Desain kampanye Pemilu melalui media massa, khususnya media sosial, kini telah menjadi senjata yang cukup tangguh untuk memengaruhi pikiran para Undecided Voters. Ini disebabkan pikiran manusia pada dasarnya dibentuk oleh sejumlah persepsi yang ditanamkan sejak ia dilahirkan hingga dewasa. Pikiran bertumbuh dan bercabang, baik itu membuahkan "mindset", atau sebatas bunga-bunga paradigma. 

Saat ini, hegemoni perangkat komunikasi telah menjejali pikiran manusia dengan berbagai informasi yang serba instan, serba persuasif, pengetahuan yang membuka wawasan, tetapi kadang juga ada yang menyesatkan.  Yang kemudian didefinisikan oleh pakar Posmodernisme dan Sosiologis Jean-Franois Lyotard (1979) sebagai pengetahuan yang terkait dengan permainan kekuatan dari luar dan adanya nilai tukar.

Terlebih menjelang masa kampanye Pemilu, geliat media sosial ibarat pasukan perang yang berusaha memengaruhi pikiran setiap orang. Setiap hitungan menit, ada genderang informasi baru yang ditabuhkan. Prinsip-prinsip  menjunjung kerahasiaan personal kerap dianggap sebagai sebuah sikap yang "banal". Hanya karena trend kerahasiaan yang sudah menjadi konsumsi publik. 

Para pengguna media sosial boleh jadi sudah mengalami kesulitan untuk  menemukan makna di balik teks-teks yang diviralkan, karena cenderung  lebih dipengaruhi oleh bahasa visual yang sifatnya figural.

Secara visual, masyarakat dikepung oleh berbagai ekspresi kecemasan, kemarahan,  kecemburuan sosial, kekuasaan, dan hasrat-hasrat ambisi yang belum tersalurkan. Media sosial menjadi ajang simulasi untuk menghadirkan sesuatu yang sering kali "tidak benar-benar nyata", yang pada akhirnya memaksa manusia untuk kembali kepada hakikatnya sebagai makhluk sosial, yaitu merindukan adanya kedamaian, ketentraman hidup, integritas, etika, dan kebajikan-kebajikan yang membawa kesejahteraan pada semua anak bangsa.

Jadi, bagaimana menebak arah suara para "Undecided Voters" ini  di tahun 2019? Perlukah mereka terus ditanya dan dipaksa untuk segera membuat keputusan?   Barangkali, biarkanlah mereka menjadi bagian dari "enigma" terlebih dulu.

Enigma didefinisikan sebagai sebuah teka-teki yang mungkin menimbulkan rasa penasaran. Namun dalam prosesnya, ketidakjelasan terhadap suatu hal dapat menahan diri untuk tidak buru-buru bertindak. Ia mendorong rasa perdamaian sejenak. Enigma mengajak kita menanamkan kesadaran untuk tidak memaksakan kehendak. Enigma mampu menggelitik dan mengkritisi pikiran-pikiran yang tadinya "dianggap paling benar". 

Enigma juga membuka peluang untuk menggali informasi lebih jauh agar setiap keputusan yang dibuat dapat sejalan dengan hati nurani.  Sastrawan Goenawan Muhamad (2011) bahkan menuliskan enigma tidak selamanya diartikan sebagai sebuah teka-teki. Dalam karya puisi, enigma bisa saja menjadi sebuah kebenaran.

Akan tetapi, enigma dalam hidup memang bukanlah sekadar puisi. Untuk memperjuangkan "kebenaran dan kebaikan" sekaligus, pilihan manusia akan selalu diuji dengan segala hiruk pikuk persoalan dunia. Filosof Asif Iqbal Khan (2002) menganggap kekompleksan persoalan budaya manusia akan selalu bersinggungan dengan nilai-nilai agama, sehingga referensi agama jugalah yang biasanya menginspirasi untuk memberikan solusinya. 

Menyikapi serbuan aneka informasi melalui perangkat teknologi informasi, sebaiknya setiap orang harus terus waspada, dan pandai-pandai menyaring berita. Dan yang terpenting pula, sebagai para pemilih yang potensial, para Undecided Voters ini dapat terus melangkah dengan hati nurani, karena kedua hal itulah yang dapat membawa negeri ini menjadi lebih baik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun