Ketika Bruce Wayne alias Batman dalam film “Batman Begins” (2005) terpuruk untuk kesekian kalinya dan nyaris putus asa karena belum berhasil menyelamatkan Gotham City dari kehancuran sistematik dan kejahatan yang sistemik, kerabat sekaligus asistennya yang setia Alfred Pennyworth berkata, “Hanya dengan merasakan jatuh, maka engkau bisa belajar untuk mencoba bangkit kembali”.
Terlepas dari cerita fantasi Batman, nilai moral yang dapat dipetik dari karakter Bruce Wayne, sang pewaris Wayne Enterprises adalah ia bersedia mengorbankan kekayaannya untuk “menyelamatkan” masyarakat Gotham yang tertindas karena ulah para pemimpin korup penguasa kota.
Indonesia memang tidak dapat dianalogikan sebagai Gotham, karena Indonesia memiliki landasan Pancasila dan kebhinekaannya yang kuat, yang secara diam-diam juga “dikagumi” oleh negara-negara maju. Hanya saja, para “orang kuat” di negeri ini sering tergoda untuk menjadi bangsa pelupa yang tenggelam dalam eforia kepentingan diri sendiri semata-mata.
Indonesia menjadi salah satu pusat perekonomian dunia yang mampu memajukan negara-negara tetangganya, akan tetapi masih terus mengabaikan kesejahteraan masyarakatnya sendiri.
Majalah Forbes tahun 2015 dalam Kompas.com mendata 50 pengusaha terkaya di Indonesia dengan investasi jutaan dolar AS di berbagai bidang. Akan tetapi pemerintah juga masih kelabakan dengan persoalan pajak negara sampai harus mengeluarkan peraturan Tax Amnesty yang imbasnya bisa jadi kembali menyengsarakan “rakyat kecil” yang masih berjuang sedikit demi sedikit untuk memiliki tempat tinggal layak dan kehidupan yang lebih baik.
Negeri ini, dengan segala sumber daya alamnya yang melimpah, dan kecerdasan sumber daya manusianya yang banyak dipakai negara maju, sesungguhnya sudah bisa menjadi negara yang maju, sejahtera, dan makmur. Akan tetapi, data tahun 2014 dari Transparency Internasional dalam transparency.org., masih juga menempatkan Indonesia sebagai negara terkorup ke-12 se-Asia dari 175 negara di dunia.
Di mana sesungguhnya letak kerumitan negeri ini? Masyarakat kini tengah memasuki labirin ketidakpastian arah negeri ini. Terjebak dalam bayang-bayang kebingungan mencari figur kepemimpinan, keadilan hukum, hingga kesejahteraan di segala bidang, dan berjuang agar tidak terkena transformasi “kehilangan identitas”.
Masalahnya, ketika para pemimpin di negeri ini juga ikut-ikutan menimbulkan kebingungan tersebut, ke mana lagi rakyat harus menggantungkan harapan, menjunjung kepercayaan, mencari keadilan hukum, meniscayakan kesejahteraan, atau dalam bahasa rakyat jelata, asal bisa makan dan hidup tenang dalam perjuangan hidup yang kian sulit.
Seorang pemimpin, sebagai pengemban amanat rakyat, dipilih karena ia diyakini tidak akan membuka kotak pandora yang menimbulkan bencana. Pemimpin dijunjung karena ia mampu membuat keputusan-keputusan yang tegas, adil, bijaksana dan bukan menambah-nambah derita bagi rakyatnya.
Sementara program berita televisi umumnya mengumbar tayangan debat visual diskursif, memadu padan opini pejabat publik sebagai tontonan yang menghibur. Terkadang, orang-orang yang ilmunya pas-pasan, opininya bisa menjadi lebih populer karena pandai berargumentasi.
Dampaknya bisa sangat beragam, dari sekadar menimbulkan kebingungan masyarakat, mendorong sikap apatis, atau yang lebih parah seperti kata Sigmund Freud menjadi orang-orang yang mengalami gangguan neurosis karena kegagalan merasionalisasikan ketidakpastian, dan akhirnya bertingkah laku irrasional.