Mohon tunggu...
winner wibisono
winner wibisono Mohon Tunggu... Lainnya - urban tramp

menggelandang sambil merayakan hidup

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Delusi Rasionalitas Masyarakat Modern bak Penari Di Ujung Jurang

13 Agustus 2018   01:43 Diperbarui: 13 Agustus 2018   01:50 376
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di era generasi milenial dewasa ini rasanya kita sudah mengalami kemajuan peradaban yang begitu pesat dan signifikan. Bayangan futuristik yang ada dalam fantasi kita semakin mungkin untuk terwujud. Tidak hanya dalam hal teknologi, dalam hal keilmuan dan pemikiran pun masyarakat saat ini semakin maju. Sains sudah menjadi bagian dari keseharian kita, dan bahkan bagi beberapa orang adalah bagian dari dirinya.

Jika kita lihat hampir dari segala aspek kita memang tampaknya sudah mengalami perubahan yang sedemikian pesatnya.

"Kemajuan" ini pun masuk dan menjadi semacam konstruksi sosial yang membuat masyarakat tetap dalam koridor ilmiah sebagai tolok ukur dan (kalau saya maknai) simbolisasi masyarakat modern.

Saya tidak mencoba memfokuskan tulisan ini pada kata kata bijak yang (mungkin) klise "koin bermata dua", "setiap hal memiliki positif dan negatif", dan semacamnya. Saya tidak mengarah kesana, akan tetapi mari kita tilik sejenak sebagai penghantar saja.

Adapun modernisasi ini memiliki dampak buruk (atau lebih tepatnya di anggap buruk) seperti mulai ditinggalkannya nilai nilai kebudayaan lama, meningkatnya tingkat konsumerisme, dan juga timbulnya sikap sikap sekulerisme dan nonreligius.

Sebagai bangsa yang kental dengan kehidupan beragama tentu poin terakhir menjadi hal yang sering kali membuat telinga sebagian besar masyarakat menjadi risih. Akan tetapi saya tidak akan menyoroti poin tersebut dengan kacamata keagamaan, tetapi saya akan menyorotinya dari kacamata label "modern" itu sendiri.

Mungkin kita dapat menyepakati bahwa memang pada masyarakat modern hal hal yang "tidak rasional" akan disingkirkan karena di anggap tidak lagi relevan dalam masyarakat modern.

Gejalanya dapat kita lihat di negara kita juga di mana semakin tinggi tingkat ketidakpercayaan dengan konsep konsep keagamaan dan ketuhanan.

Saya tidak akan menghakimi dengan menganggap bahwa ateisme, agnostik ataupun sikap sikap non religious lainnya adalah salah. Tapi apakah memang suatu kewajaran masyarakat modern cenderung menyingkirkan agama sebagai hal yang "tidak rasional" ? Lalu apakah rasionalitas itu sendiri?

Masyarakat modern di mana ilmu pengetahuan menjadi bagian dari kehidupan masyarakat sehari-hari maka corak pemikiran yang ilmiah menjadi salah satu karakteristiknya.

Hal-hal yang berkaitan dengan Tuhan ataupun entitas transenden lainnya disingkirkan karena dianggap tidak relevan dan bertentangan dengan pemikiran yang modern tadi.

Akan tetapi bukankah penolakan atas kepercayaan spiritual semacam itu pun telah melangkahi proses pemikiran ilmiah yang menjadi ciri utamanya itu tadi? Dan ketika dikatakan bahwa hal hal berbau spiritual tadi di katakana sebagai sesuatu yang tidak rasional tidakkah itu berarti rasionalitas itu sendiri sudah dicabik cabik dengan membatasinya pada rasionalitas saintifik? Dengan begitu tidakkah itu juga mengangkangi dan mengingkari konteks berfikir ilmiah tadi?

Saya melihat manusia modern seperti penari yang menari di ujung jurang sambil mencoba menjaga keseimbangannya. Begitu rentan dan rapuh. Dia perlu berpegang teguh dan meyakini secara membabi buta apa yang di pegangnya agar tidak jatuh.

Ilmu pengetahuan berubah menjadi semacam dogma baru yang menggeserkan peran agama yang sebelumnya menjadi pegangan dalam hidup. Bahwa manusia butuh untuk percaya, butuh untuk mencengkram salah satu sisinya agar menjadi pasti, agar menjadi kontras apa yang salah dan benar. Karena pada dasarnya semua begitu abu abu sehingga butuh suatu pedoman, pegangan agar semua dapat dalam kendali mereka.

Fanatisme. Mungkin itu kata yang dapat menggambarkan poin saya secara keseluruhan. Bahwa keyakinan kuat atas pemikiran yang di anggap ilmiah dan saintifik itu tidaklah ilmiah sama sekali.

Akan tetapi, disini saya tidak mengatakan bahwa sikap ilmiah dan non religious itu salah. Kita bebas memilih seperti apa diri kita, akan tetapi kita perlu menilik kembali apakah yang kita pilih adalah yang memang kita pilih? Tidak harus memang, tapi saya rasa kita perlu menantang diri kita dengan mempertanyakan kembali apa yang kita pilih dan kita percayai.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun