Karamah ini biasanya berupa kejadian-kejadian di luar nalar yang terjadi pada seorang manusia. Karamah inilah yang dijadikan barometer seseorang itu dikatakan sebagai waliyullah. Misalnya saja karamah yang dimiliki oleh Umar bin Khattab radhiyallahu anhu. Suatu saat, sungai Nil di Mesir mengalami kekeringan yang luar biasa. Lantas masyarakat Mesir saat itu melakukan ritual jahiliyah berupa persembahan seorang gadis yang masih perawan. Melihat hal itu, gubernur Mesir saat itu Amr bin Al-Ash menganggap ini kelewatan dan tidak sesuai dengan syariat Islam. Ia akhirnya mengirimkan laporan kepada khalifah Umar bin Khattab radhiyallahu anhu. Setelah menerima laporan, maka Umar bin Khattab radhiyallahu anhu menuliskan sepucuk surat dan meminta Amr bin Al-Ash untuk melemparkan surat tersebut ke sungai Nil. Qudratullah, sungai Nil memancarkan airnya dengan deras seketika. Mengapa bisa demikian? Karena dalam surat itu, Umar bin Khattab radhiyallahu anhu menuliskan demikian:
"Dengan nama Allah, dari hamba Allah, Amirul Mukminin Umar bin Al-Khattab kepada sungai Nil di Mesir, amma ba'du: Bila engkau mengalir karena keinginanmu sendiri, maka janganlah engkau mengalir. Namun bila engkau mengalir karena perintah dan kuasa Allah, maka aku meminta kepada Allah untuk mengalirkan engkau."
Mempercayai adanya karamah para wali ini adalah akidah yang harus dipegang oleh Ahlussunnah wal Jamaah, baik dari kalangan salaf maupun khalaf. Karena ini adalah hal yang disepakati. Sebagaimana disebutkan oleh Syaikhul Islam Ibn Taimiyah rahimahullah dalam kitab Majmu' Al-Fatawa:
"Dari dasar-dasar akidah Ahlussunnah wal Jamaah adalah membenarkan akan karamah-karamah para wali, dan apa yang diberikan Allah kepadanya dari hal-hal yang di luar kebiasaan atau akal, dan dari beberapa ilmu dan kasyaf, dan dari beberapa kemampuan dan pengaruh atau bukti."
Namun, perlu dipertegas di sini bahwa karamah para wali ini tidaklah didapat kecuali dengan keistiqomahan mereka berjalan di atas syariat Allah. Mereka hidup tidak keluar dari ketentuan Qur'an dan Sunnah. Akibat keistiqomahan ini, maka Allah memberikan karamah kepada mereka.
Maka sungguh salah kaprah bahkan sesat bila ada orang mengaku-aku memiliki karomah, namun ia tidak istiqomah berjalan di atas syariat Allah. Sungguh aneh bila ada orang diaku-aku sebagai waliyullah, namun ia tidak mau melaksanakan shalat dan puasa. Bahkan ada orang yang diaku-aku dan mengaku wali, namun ia menolak perintah shalat dan puasa. Ia berpikir bahwa orang yang sudah makrifatullah, maka tidak wajib untuknya shalat. Justru orang yang sudah mencapai derajat makrifatullah, maka ia akan lebih istiqomah melaksanakan shalat wajib dengan berjamaah pula.
Ingatlah akan perkataan Syaikh Muhammad Hasyim Asy'ari rahimahullah dalam kitab Ad-Durar Al-Muntatsirah ketika ditanya tentang seorang wali yang tidak melaksanakan shalat lima waktu, maka beliau menjawab:
"Endi-endi wong kang nulayani syara', maka iku wong kang dijelumprungake hawa nafsune lan wong kang dibujuk syaithan!"
Artinya:
"Siapa saja orang yang melanggar syariat, maka orang itu telah terperosok dalam hawa nafsunya dan ia adalah orang yang dibujuk oleh setan!"Â
Al-Ustadz Prof. Yunahar Ilyas rahimahullah, Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah bidang Tarjid, Tajdid, dan Tabligh terdahulu, menjelaskan bahwa karamah itu diberikan kepada para wali atas izin Allah dan ia bersifat alamiah serta tidak untuk pencitraan. Artinya, karamah itu memang ada, namun ia tidak untuk dipamerkan apalagi diaku-aku.