Mungkin kita akhir-akhir ini sering mendengar beberapa ulama, ustadz, dai, dan penceramah ramai-ramai mengajak umat untuk kembali kepada Al Quran dan As Sunnah. Sebagian kaum Muslimin menyambut ajakan ini dengan suka cita, namun sebagian lain ada yang bersikap skeptis dengan pernyataan ini. Mereka yang skeptis ini terkadang menganggap ucapan itu milik kelompok tertentu. Padahal, bila kita pikirkan ulang dan bersikap dingin akan jargon tersebut, maka sesungguhnya ia ada benarnya juga.
Marilah kita lihat fakta kondisi umat Islam saat ini khususnya di Indonesia! Apakah rakyat Indonesia yang mayoritas beragama Islam itu sudah benar-benar menjalankan apa yang ada di dalam dua pusaka umat Islam tersebut? Apakah kehidupan kita sudah sesuai dengan hukum Allah dan sunnah Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam? Marilah dalam kesempatan ini kita merenung dan mawas diri bersama-sama.
Habiburrahman El Syirazi dalam novel "Ayat-ayat Cinta 2" menyebutkan sebuah kisah yang penting untuk kita ketahui bersama. Kisah ini berkaitan dengan seorang tokoh Islam, mujaddid atau pembaharu umat, seorang ulama besar, ialah Syaikh Muhammad Abduh rahimahullah. Beliau adalah seorang pemikir besar dan reformis Islam yang hidup pada 1849-1905 di Mesir. Beliau juga dikenal sebagai imam dan ulama besar Al Azhar.
Dakwah Syaikh Muhammad Abduh tidak hanya pada lingkungan Mesir saja, tapi juga merambah hingga tanah Eropa. Beliau pernah tinggal di Paris, Prancis, dan melancarkan dakwah Islam di sana. Sampai-sampai orang Paris yang masuk Islam berkat dakwah beliau. Saat berdakwah, Syaikh Muhammad Abduh sering menjelaskan akan kehebatan dan keindahan ajaran Islam mulai dari akidah, akhlak, dan kepribadian umat Islam. Karena kesan baik itulah orang-orang Paris itu bersyahadat.
Usai berdakwah di Paris, Syaikh Muhammad Abduh kembali ke Mesir. Hal ini membuat para murid beliau di Paris rindu akan kehadirannya karena sudah ditinggal lama. Singkat cerita, mereka memutuskan untuk pergi ke Mesir menemui panutannya tersebut. Mereka juga sembari membayangkan bahwa negeri Syaikh Muhammad Abduh itu sangat indah dan bersahaja karena mayoritas beragama Islam. Mereka berpikir bahwa ajaran Islam yang indah itu pasti dilaksanakan oleh orang-orang Mesir.
Kala sampai di Mesir, mereka menemukan hal yang sangat janggal. Sebelum sampai ke kantor Syaikh Muhammad Abduh, mereka melihat seorang lelaki sedang kencing di tembok masjid. Tak hanya itu, mereka juga melihat banyak sekali pengemis berkeliaran. Bahkan sebelumnya ketika di pelabuhan, mereka melihat kondisi yang amat semrawut dan banyak orang yang berkata-kata kasar. Akibatnya, mereka protes kepada Syaikh Muhammad Abduh dan sempat meragukan keindahan ajaran Islam yang pernah mereka dengar dari Sang Syaikh.
Mendengar aduan tersebut, Syaikh Muhammad Abduh termenung. Ia tak bisa berkata-kata banyak. Bibirnya kelu bahkan tampak kesedihan yang luar biasa di raut mukanya. Ia hanya bisa berkata: "Al Islamu mahjubun bil Muslimin" atau "Islam tertutup oleh perilaku kaum Muslimin".
Dari kisah itu bisa kita simpulkan bahwa kondisi kaum Muslimin saat itu sangat jauh dari nilai-nilai keislaman. Bisa dikatakan juga bahwa kaum Muslimin masih jauh dari apa yang diajarkan oleh syariat Islam. Dimana bisa ditemukan ajaran atau syariat Islam? Dimana lagi bila tidak di dalam Al Quran dan As Sunnah.
Al Quran dan As Sunnah adalah dua pusaka yang harus dijaga dan dikeramatkan oleh kaum Muslimin. Menjaga dan mengkeramatkan dua pusaka itu tidak hanya dengan membacanya sampai khatam saja, tapi juga memahami dan menjalankan apa yang ada di dalamnya. Menjalankan segala isinya yang tidak hanya berkaitan dengan ibadah kepada Tuhan saja, tapi juga tentang akhlak, kehidupan bermasyarakat, dan tata cara berkelakuan baik untuk diri sendiri dan orang lain.
Tentu dalam memahami dua pusaka itu harus melalui petunjuk dan pengajaran dari para ulama yang ikhlas dan lurus. Karena tidak dapat dipungkiri bahwa tidak semua orang Islam bisa dan mampu memahami Al Quran dan As Sunnah secara langsung. Peran ulama dan para pelajar agama seperti santri sangat diperlukan demi terjaganya kedua pusaka itu. Sebab ulama adalah pewaris para nabi sebagaimana sabda Nabi yang berbunyi:
"Dan sesungguhnya ulama adalah pewaris para nabi, dan sesungguhnya para nabi tidak mewariskan dinar dan juga dirham, namun mereka mewarisi ilmu. Maka siapapun yang mengambil warisan tersebut, maka ia telah mengambil bagian yang banyak." (H.R. Abu Dawud)