Secara singkat, sekulerisme adalah suatu paham yang memisahkan antara perkara agama dengan urusan sipil (kita bahasakan urusan dunia saja). Konon paham ini muncul pertama kali di Eropa pada Abad Kegelapan atau biasa disebut Dark Age. Saat itu kekuasaan negara didominasi oleh gereja yang dianggap semena-mena. Gereja dianggap terlalu memaksakan doktrin-doktrinnya yang terkadang dipandang tidak logis dan tidak sesuai dengan ilmu pengetahuan. Akibat keresahan itu, muncul upaya untuk memisahkan agama dari kehidupan dunia, karena dianggap agama itu sebagai penghambat kemajuan.
Kita selalu ramai-ramai bersuara bahwa Islam sangat menolak adanya sekulerisme dalam agama. Selalu kita menghina dan memaki golongan Kemal Ataturk yang merubah Turki menjadi negara sekuler. Di mimbar-mimbar agama itu selalu digaungkan bahwa sekulerisme adalah paham sesat karena ingin memisahkan agama dari kehidupan kita semua. Bagi kita, Islam sangat anti dengan sekulerisme.
Pemahaman itu memang benar adanya. Islam sangat menolak paham sekulerisme. Agama yang didasarkan pada Al Quran dan As Sunnah ini sangat menjunjung tinggi keseimbangan agama dan dunia. Bahkan dalam kitab “Ad Diin Al Islami” karya Syaikh Hasan Manshur, Syaikh Abdul Wahab Khairuddin, dan Syaikh Mushtafa Inani disebutkan bahwa keseimbangan agama dan dunia ini adalah salah satu karakteristik agama Islam. Toh juga saat kita berdoa selalu ditutup dengan “Doa Sapu Jagat” yang isinya meminta kebaikan dunia dan akhirat.
Tapi, pernahkah Anda sadar bahwa kita sebagai umat yang anti-sekulerisme itu justru terkadang melakukan sekulerisme itu sendiri? Kita yang membaca “Doa Sapu Jagat” itu terkadang malah memisahkan antara kepentingan dunia dan akhirat! Apa buktinya? Mari kita buka hati ini selapang-lapangnya, kita jernihkan pikiran kita, dan kita renungi bersama-sama.
Kita mulai renungan kita ini dari sisi dunia pendidikan dan ilmu pengetahuan. Bagi Anda yang pernah nyantri di Gontor mungkin tidak asing dengan istilah: “100% agama, 100% umum”. Konon, istilah ini diucapkan oleh K.H. Imam Zarkasyi -salah satu pendiri Pondok Modern Gontor- ketika ditanya tentang prosentase pelajaran agama dan umum di pondok yang berdiri tahun 1926 ini. Apa maksud dari pernyataan beliau? Bukankah harusnya pembagian itu 50% agama dan 50% umum? Setelah melalui proses perenungan yang lumayan lama, saya pun mulai mendapatkan jawabannya.
Bagi Gontor, tidak ada yang namanya dikotomi ilmu pengetahuan. Semua ilmu pengetahuan, baik agama maupun umum, itu pada dasarnya ilmu yang diturunkan oleh Allah kepada manusia. Sehingga semuanya itu harus dipelajari oleh umat Islam semaksimal mungkin. Karena disadari atau tidak, antara ilmu pengetahuan agama (yang mengarah ke perkara akhirat) dengan ilmu pengetahuan umum (yang mengarah ke perkara dunia) itu saling berkaitan satu sama lain. Apa buktinya? Mari kita simak apa yang dinyatakan oleh Al Khawarizmi dalam mukadimah kitabnya yang berjudul “Al Jabr wa Al Muqabalah”:
"Ala an allaftu min kitab al jabr wa al muqabalah kitaban mukhtasharan hashiran lilathifi al hisab wa jalilihi lima yalzamu an naas min al hajah ilaihi fi mawaritsihim wa washaayaahum wa fii muqaasamaatihim wa ahkaamihim wa tijaaratihim."
Saya yakin bagi Anda yang pandai berbahasa Arab akan langsung paham maksud pernyataan Al Khawarizmi ini. Namun, baiklah saya sampaikan makna bebas atas pernyataan ini bahwa maksud Al Khawarizmi menulis kitab tentang aljabar (matematika) adalah agar umat Islam bisa memakainya dalam perkara waris, wasiat, perdagangan, dan sejenisnya. Jelas sekali bagi manusia yang berakal bahwa Al Khawarizmi menuliskan kitab tentang ilmu dunia untuk kepentingan ilmu agama.
Hal ini yang mungkin tidak kita sadari selama ini. Mungkin saja orang zaman sekarang tidak begitu ngeh bahwa perhitungan matematika itu bisa berkaitan erat dengan ilmu fiqh. Bila tidak dengan ilmu matematika, lantas bagaimana Anda bisa menghitung waris, arah kiblat, waktu shalat, awal masuk bulan hijriyah, zakat, sedekah, dan sebagainya? Sampai di sini, apakah Anda masih berpemahaman bahwa ilmu agama dan ilmu dunia tidak bisa bersatu padu dan harus dipisahkan?
Lagi kalau kita mau renungi ayat-ayat yang ada di dalam Al-Qur’an. Ada berapa banyak firman Allah yang menjelaskan tentang ilmu pengetahuan umum, sains, dan bahkan teknologi. Orang yang sering Yasinan harusnya tidak asing dengan ayat: “Wasy syamsu tajri limustaqarril laha…dst”. Apa isi ayat tersebut? Bukankah itu tentang matahari yang berputar di porosnya? Dengan ilmu apakah Anda akan memahami makna ayat tersebut bila tidak dengan ilmu fisika dan astronomi?
Tak usah mencari jauh-jauh ayat Al Quran yang lain. Wahyu pertama yang diterima oleh Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam ialah surat Al ‘Alaq ayat 1-5. Saya menduga dalam ayat tersebut ada pesan tersirat kepada kita untuk belajar ilmu biologi. Kalau Anda cermati ayat pertama surat tersebut, akan ditemukan kata “alaq”. Dalam salah satu ceramahnya, K.H. Bahauddin Nursalim atau Gus Baha pernah mempertanyakan kepada khalayak tentang makna kata tersebut. Dalam terjemah Al Quran yang kita tahu selama ini, kata tersebut memiliki arti “segumpal darah”. Tapi itu bertolak belakang dengan makna secara bahasa, yaitu kata “alaq” memiliki makna “sesuatu yang menempel”. Silakan buka kamus-kamus berbahasa Arab! Kata Gus Baha, setelah beliau berdiskusi dengan ahli-ahli biologi dari Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, makna “segumpal darah” itu kurang tepat. Apa sebab? Karena dalam proses pembentukan manusia terdapat sebuah peristiwa yang bernama implantasi, yaitu proses menempel dan tertanamnya embrio dalam lapisan dinding rahim wanita. Silakan Anda berpikir, mana kira-kira makna yang cocok dengan kata “alaq”?
Hal-hal seperti inilah yang terkadang tidak disadari oleh kedua belah pihak. Para pelajar dan ahli ilmu agama tidak menyadari pentingnya ilmu umum, dan para pelajar dan ahli ilmu umum tidak menyadari pentingnya ilmu agama. Ini semua disebabkan oleh sikap sekuler kedua belah pihak yang sering memisahkan ilmu agama dan umum. Padahal keduanya bisa saling mengisi dan menguatkan. Dari sikap sekuler yang menghasilkan dikotomi ilmu pengetahuan itu akhirnya timbul fitnah: “semakin dalam orang belajar sains, maka semakin dekat ia dengan kemurtadan dan kekafiran” atau “semakin dalam orang belajar agama, maka semakin jauh ia dengan sains dan teknologi”. Kalau begitu, berarti Anda mengatakan bahwa Al Khawarizmi adalah orang murtad dan kafir, sementara Gus Baha adalah anti sains dan teknologi. Beranikah Anda berkata demikian?
Jadi, bagaimana cara menghilangkan sikap sekuler dalam bidang pendidikan dan ilmu pengetahuan ini? Baiklah kita renungi apa yang dikatakan Ir. Soekarno kepada A. Hassan: “Bukan saja kembali kepada Qur’an dan hadis, tetapi kembali kepada Qur’an dan hadis dengan mengendarai kendaraannya pengetahuan umum.” Maknanya adalah kita jadikan ilmu agama itu sebagai pondasi dasar dalam kehidupan dan ilmu umum itu sebagai pendukung atas ilmu agama tersebut. Ilmu umum sebagai penjelas terhadap ayat-ayat dan hadis-hadis kauniyah, sementara ilmu agama sebagai pemikiran dasar bahwa apa yang terjadi di dunia ini tidak lepas dari kuasa Allah Ta’ala dan itu adalah bukti akan eksistensi-Nya.
Kita harus cepat-cepat menanggulangi sikap sekuler ini. Karena jika ia terus dibiarkan, maka kaum agama akan tampak kolot dan ketinggalan zaman, sementara kaum sains akan semakin jauh dari agama bahkan murtad. Kedua-duanya itu amat sangat berbahaya bagi kita semua. Lantas bagaimana caranya? Usul saya, kita harus memberikan doktrin kepada kedua belah pihak bahwa ilmu agama dan ilmu umum sama-sama pentingnya. Pemerintah, para petinggi umat, dan orang-orang yang mampu itu harus mendorong diajarkannya kedua pelajaran ini sekolah-sekolah kaum Muslimin. Selain memberikan bekal-bekal agama kepada para santri, pesantren-pesantren dan madrasah harus juga mendorong para santrinya untuk mempelajari sains dan teknologi. Pun juga kepada sekolah-sekolah umum atau perguruan tinggi, haruslah memberikan bekal agama yang cukup kepada murid-muridnya, bukan malah menghapus pelajaran agama! Pastinya alumni pesantren akan lebih condong kepada ilmu agama dan alumni sekolah umum akan condong kepada ilmu umum. Tapi setidaknya tidak ada lagi pemikiran bahwa kaum agama itu kolot dan kaum sains itu anti-agama. Allahu a’lam.
Selain dalam bidang pendidikan dan ilmu pengetahuan, sikap sekuler umat Islam juga bisa dilihat dari bagaimana mereka memperlakukan masjid. Tidak sedikit masjid di kalangan umat Islam hanya dipandang sebagai tempat ibadah saja. Makna ibadah pun dipersempit hanya sebatas shalat, membaca Al Quran, wirid, dan dzikir saja. Tuhan menciptakan manusia memang untuk beribadah. Tapi apakah Tuhan tidak memerintahkan kita untuk bekerja, menuntut ilmu, dan bersosial?
Saya pernah melihat di suatu daerah bahwa ada larangan untuk membicarakan sesuatu selain perkara agama di dalam masjid. Tujuannya adalah guna menjaga kesucian masjid tersebut. Tapi, bukankah Nabi Muhammad dan para sahabat dahulu sering membicarakan urusan perang di masjid? Bahkan ada riwayat bahwa tak jarang Beliau menerima tamu di masjid pula. Siapa yang lebih paham masjid antara Anda dengan Sang Nabi?
Saya sangat terkesima dengan apa yang dilakukan oleh Dr. Fahruddin Faiz di Masjid Jendral Soedirman, Yogyakarta. Beliau berani mengadakan kajian filsafat di dalam masjid! Bahkan, jika Anda mengikuti channel YouTube “MJS Channel”, bab-bab filsafat yang dibahas tidak hanya dari kalangan Islam, tapi non-Islam pula. Bagi saya ini adalah suatu kemajuan yang amat luar biasa. Siapa tahu nantinya ada kajian-kajian matematika, fisika, biologi, sosiologi, psikologi, dan ilmu-ilmu lainnya di dalam masjid. Pastinya hal ini jangan sampai merusak esensi masjid yang memang digunakan sebagai rumah ibadah. Semua itu bisa saja bernilai ibadah bila diniatkan untuk menegakkan ajaran Islam yang murni.
Adapula Masjid Jogokariyan di Yogyakarta, Masjid Pemuda Konsulat di Surabaya, dan Masjid Kapal Munzalan di Kalimantan, yang semuanya itu bagi saya adalah contoh masjid yang bisa menghidupi umat. Masjid-masjid itu sangat terkenal dengan kegiatan sosial yang manfaatnya tak hanya dirasakan oleh kaum Muslimin, tapi bahkan umat non-Muslim sekalipun. Inilah beberapa masjid yang harusnya dicontoh oleh umat Islam sekarang ini. Mereka tidak hanya menganggap masjid sebagai tempat ibadah individu, tapi juga tempat ibadah sosial. Pastinya saya yakin ketika awal berdiri masjid-masjid ini, akan dicemooh oleh sebagian orang. Ya orang-orang itulah yang sudah terpapar sekulerisme tanpa sadar. Orang yang berpikir bahwa perkara dunia tidak boleh masuk masjid. Masjid hanya khusus untuk orang-orang yang khusyuk duduk merenungi nasib, tanpa mau memikirkan aksi.
Kalau dari pengalaman saya, adapula masjid yang tidak hanya digunakan untuk shalat, tapi juga untuk musyawarah dan menuntut ilmu. Itu saya dapati ketika mondok di Pondok Modern Gontor. Di sana memang ada pemahaman bahwa masjid itu adalah titik pusat yang menjiwai pondok sekaligus santrinya. Kalau Anda ke sana, para santri sudah terbiasa bermusyawarah dan belajar di masjid. Bahkan ide-ide cemerlang itu munculnya dari masjid. Ada sebuah kelompok diskusi santri yang bernama “Forum Pengembangan Potensi Wawasan Santri (FP2WS)” yang menurut sejarahnya berawal dari diskusi santri di masjid. Jadi masjid itu bisa menghidupi orang-orang yang ada di dalamnya.
Usul saya dalam masalah ini adalah agarlah masjid-masjid milik umat Islam itu dijadikan titik pusat yang menjiwai masyarakat. Janganlah masjid itu hanya dijadikan tempat kegiatan berbau ritual saja, tapi juga yang berbau pendidikan dan sosial. Permasalahan-permasalahan umat bisa saja diselesaikan di dalamnya. Masjid bisa dijadikan tempat les pelajaran-pelajaran umum, disamping pelajaran agama. Diadakan kajian-kajian ilmiah yang tidak hanya berisikan dongeng-dongeng penggugah iman saja. Uang kas masjid dan perolehan infak dan sedekahnya bisa diputar untuk menghidupi fakir miskin. Tidak masalah pula bisa masjid memiliki balai kesehatan gratis, toko sembako murah, BMT, dan hal-hal lain yang bermanfaat bagi masyarakat. Dari situ maka umat Islam akan kembali ke masjid dan hilang pula rasa sekulerisme dalam diri umat. Akan terwujud apa yang diidam-idamkan umat Islam, yaitu kebaikan dunia dan akhirat, sebagaimana yang mereka sering baca dalam “Doa Sapu Jagat” itu.
Itu adalah sedikit contoh dari sikap sekuler umat Islam yang terkadang tidak disadari. Pemisahan antara perkara agama dan dunia itu kadang malah digaung-gaungkan oleh dai-dai dan penceramah agama. Padahal, integrasi antara keduanya itu menjadi ciri dari agama Islam yang mungkin tidak didapati dalam agama lain. Bila hangus pemahaman integrasi agama dan dunia dalam jiwa umat Islam, maka apa bedanya dengan orang sekuler yang “katanya” menjadi musuh Islam itu? Kasarnya, apa bedanya Anda dengan Kemal Ataturk yang sering Anda kutuk karena men-sekuler-kan Turki? Allahu a’lam…
Ponorogo, 11 Juli 2024
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H