Hal-hal seperti inilah yang terkadang tidak disadari oleh kedua belah pihak. Para pelajar dan ahli ilmu agama tidak menyadari pentingnya ilmu umum, dan para pelajar dan ahli ilmu umum tidak menyadari pentingnya ilmu agama. Ini semua disebabkan oleh sikap sekuler kedua belah pihak yang sering memisahkan ilmu agama dan umum. Padahal keduanya bisa saling mengisi dan menguatkan. Dari sikap sekuler yang menghasilkan dikotomi ilmu pengetahuan itu akhirnya timbul fitnah: “semakin dalam orang belajar sains, maka semakin dekat ia dengan kemurtadan dan kekafiran” atau “semakin dalam orang belajar agama, maka semakin jauh ia dengan sains dan teknologi”. Kalau begitu, berarti Anda mengatakan bahwa Al Khawarizmi adalah orang murtad dan kafir, sementara Gus Baha adalah anti sains dan teknologi. Beranikah Anda berkata demikian?
Jadi, bagaimana cara menghilangkan sikap sekuler dalam bidang pendidikan dan ilmu pengetahuan ini? Baiklah kita renungi apa yang dikatakan Ir. Soekarno kepada A. Hassan: “Bukan saja kembali kepada Qur’an dan hadis, tetapi kembali kepada Qur’an dan hadis dengan mengendarai kendaraannya pengetahuan umum.” Maknanya adalah kita jadikan ilmu agama itu sebagai pondasi dasar dalam kehidupan dan ilmu umum itu sebagai pendukung atas ilmu agama tersebut. Ilmu umum sebagai penjelas terhadap ayat-ayat dan hadis-hadis kauniyah, sementara ilmu agama sebagai pemikiran dasar bahwa apa yang terjadi di dunia ini tidak lepas dari kuasa Allah Ta’ala dan itu adalah bukti akan eksistensi-Nya.
Kita harus cepat-cepat menanggulangi sikap sekuler ini. Karena jika ia terus dibiarkan, maka kaum agama akan tampak kolot dan ketinggalan zaman, sementara kaum sains akan semakin jauh dari agama bahkan murtad. Kedua-duanya itu amat sangat berbahaya bagi kita semua. Lantas bagaimana caranya? Usul saya, kita harus memberikan doktrin kepada kedua belah pihak bahwa ilmu agama dan ilmu umum sama-sama pentingnya. Pemerintah, para petinggi umat, dan orang-orang yang mampu itu harus mendorong diajarkannya kedua pelajaran ini sekolah-sekolah kaum Muslimin. Selain memberikan bekal-bekal agama kepada para santri, pesantren-pesantren dan madrasah harus juga mendorong para santrinya untuk mempelajari sains dan teknologi. Pun juga kepada sekolah-sekolah umum atau perguruan tinggi, haruslah memberikan bekal agama yang cukup kepada murid-muridnya, bukan malah menghapus pelajaran agama! Pastinya alumni pesantren akan lebih condong kepada ilmu agama dan alumni sekolah umum akan condong kepada ilmu umum. Tapi setidaknya tidak ada lagi pemikiran bahwa kaum agama itu kolot dan kaum sains itu anti-agama. Allahu a’lam.
Selain dalam bidang pendidikan dan ilmu pengetahuan, sikap sekuler umat Islam juga bisa dilihat dari bagaimana mereka memperlakukan masjid. Tidak sedikit masjid di kalangan umat Islam hanya dipandang sebagai tempat ibadah saja. Makna ibadah pun dipersempit hanya sebatas shalat, membaca Al Quran, wirid, dan dzikir saja. Tuhan menciptakan manusia memang untuk beribadah. Tapi apakah Tuhan tidak memerintahkan kita untuk bekerja, menuntut ilmu, dan bersosial?
Saya pernah melihat di suatu daerah bahwa ada larangan untuk membicarakan sesuatu selain perkara agama di dalam masjid. Tujuannya adalah guna menjaga kesucian masjid tersebut. Tapi, bukankah Nabi Muhammad dan para sahabat dahulu sering membicarakan urusan perang di masjid? Bahkan ada riwayat bahwa tak jarang Beliau menerima tamu di masjid pula. Siapa yang lebih paham masjid antara Anda dengan Sang Nabi?
Saya sangat terkesima dengan apa yang dilakukan oleh Dr. Fahruddin Faiz di Masjid Jendral Soedirman, Yogyakarta. Beliau berani mengadakan kajian filsafat di dalam masjid! Bahkan, jika Anda mengikuti channel YouTube “MJS Channel”, bab-bab filsafat yang dibahas tidak hanya dari kalangan Islam, tapi non-Islam pula. Bagi saya ini adalah suatu kemajuan yang amat luar biasa. Siapa tahu nantinya ada kajian-kajian matematika, fisika, biologi, sosiologi, psikologi, dan ilmu-ilmu lainnya di dalam masjid. Pastinya hal ini jangan sampai merusak esensi masjid yang memang digunakan sebagai rumah ibadah. Semua itu bisa saja bernilai ibadah bila diniatkan untuk menegakkan ajaran Islam yang murni.
Adapula Masjid Jogokariyan di Yogyakarta, Masjid Pemuda Konsulat di Surabaya, dan Masjid Kapal Munzalan di Kalimantan, yang semuanya itu bagi saya adalah contoh masjid yang bisa menghidupi umat. Masjid-masjid itu sangat terkenal dengan kegiatan sosial yang manfaatnya tak hanya dirasakan oleh kaum Muslimin, tapi bahkan umat non-Muslim sekalipun. Inilah beberapa masjid yang harusnya dicontoh oleh umat Islam sekarang ini. Mereka tidak hanya menganggap masjid sebagai tempat ibadah individu, tapi juga tempat ibadah sosial. Pastinya saya yakin ketika awal berdiri masjid-masjid ini, akan dicemooh oleh sebagian orang. Ya orang-orang itulah yang sudah terpapar sekulerisme tanpa sadar. Orang yang berpikir bahwa perkara dunia tidak boleh masuk masjid. Masjid hanya khusus untuk orang-orang yang khusyuk duduk merenungi nasib, tanpa mau memikirkan aksi.
Kalau dari pengalaman saya, adapula masjid yang tidak hanya digunakan untuk shalat, tapi juga untuk musyawarah dan menuntut ilmu. Itu saya dapati ketika mondok di Pondok Modern Gontor. Di sana memang ada pemahaman bahwa masjid itu adalah titik pusat yang menjiwai pondok sekaligus santrinya. Kalau Anda ke sana, para santri sudah terbiasa bermusyawarah dan belajar di masjid. Bahkan ide-ide cemerlang itu munculnya dari masjid. Ada sebuah kelompok diskusi santri yang bernama “Forum Pengembangan Potensi Wawasan Santri (FP2WS)” yang menurut sejarahnya berawal dari diskusi santri di masjid. Jadi masjid itu bisa menghidupi orang-orang yang ada di dalamnya.
Usul saya dalam masalah ini adalah agarlah masjid-masjid milik umat Islam itu dijadikan titik pusat yang menjiwai masyarakat. Janganlah masjid itu hanya dijadikan tempat kegiatan berbau ritual saja, tapi juga yang berbau pendidikan dan sosial. Permasalahan-permasalahan umat bisa saja diselesaikan di dalamnya. Masjid bisa dijadikan tempat les pelajaran-pelajaran umum, disamping pelajaran agama. Diadakan kajian-kajian ilmiah yang tidak hanya berisikan dongeng-dongeng penggugah iman saja. Uang kas masjid dan perolehan infak dan sedekahnya bisa diputar untuk menghidupi fakir miskin. Tidak masalah pula bisa masjid memiliki balai kesehatan gratis, toko sembako murah, BMT, dan hal-hal lain yang bermanfaat bagi masyarakat. Dari situ maka umat Islam akan kembali ke masjid dan hilang pula rasa sekulerisme dalam diri umat. Akan terwujud apa yang diidam-idamkan umat Islam, yaitu kebaikan dunia dan akhirat, sebagaimana yang mereka sering baca dalam “Doa Sapu Jagat” itu.
Itu adalah sedikit contoh dari sikap sekuler umat Islam yang terkadang tidak disadari. Pemisahan antara perkara agama dan dunia itu kadang malah digaung-gaungkan oleh dai-dai dan penceramah agama. Padahal, integrasi antara keduanya itu menjadi ciri dari agama Islam yang mungkin tidak didapati dalam agama lain. Bila hangus pemahaman integrasi agama dan dunia dalam jiwa umat Islam, maka apa bedanya dengan orang sekuler yang “katanya” menjadi musuh Islam itu? Kasarnya, apa bedanya Anda dengan Kemal Ataturk yang sering Anda kutuk karena men-sekuler-kan Turki? Allahu a’lam…
Ponorogo, 11 Juli 2024