18 Desember 2016
Pernah terfikir untuk menyerah, namun ku terkalahkan oleh senyummu..
Pernah berlari untuk pergi, namun katamu selalu membuatku kembali..
Karena demi senyum dan candamu, ku ingin berjuang tanpa henti...
Puisi ini adalah puisi terakhir yang kutulis untuk Ayah sebelum kepulanganku ke rumah. Disepanjang perjalanan menuju Surabaya kala itu, aku menangis tanpa henti hingga terdengar kalimat tauhid itu. "Labbaika allahumma labbaik, Laa syariika laka labbaik. Innalhamda wan-ni'mata laka wal mulk, laa syariikalak". Suara itu terdengar dari salah satu pesawat rombongan jamaah haji yang ingin berangkat ke tanah suci. Tangisanku semakin pecah mendengar kalimat ini. Teringat mimpi kecil sang Ayah dulu yang pernah beliau ceritakan kepadaku.Â
"Nak, kapan ya bisa haji seperti orang-orang, Ayah pengen sekali haji seperti mereka. Tapi kapan ya?" Tanya beliau dengan senyum kecil di raut wajah beliau.Â
" Sabar ya Yah, Insya allah jika ada rezeki Ayah bisa pergi haji". Jawabku.
"Ayah sudah makin menua, buat jalan saja sudah susah apalagi pergi kesana". Sela Ayah.
Apa daya saat itu Ayah sudah semakin menua dan sakit-sakitan dengan penyakit diabetes yang dideritanya. Akupun hanya tertegun mendengar mimpi kecil sang Ayah walaupun hati ini semakin sedih karena belum bisa mewujudkan mimpi Ayah. Tetapi hati ini tak henti-hentinya berdoa agar kelak suatu saat mimpi kecil sang Ayah dapat terwujud sampai pada akhirnya kabar itu pun tiba.
"Halo dik, sudah bangunkah? Tanya kakakku melalui telepon.
"Iya kak, adik baru saja solat subuh, Ada apa kak? Tanyaku.