Perkembangan teknologi informasi yang sedemikian cepat, telah mengubah berbagai proses bisnis menjadi lebih cepat dan transparan. Kalau dulu hanya bank dan uang yang dapat digunakan sebagai alat pembayaran, sekarang sudah meluas ke entitas nonbank. Cukup dengan aplikasi di gawai (smartphone dan sebentar lagi smartwatch), seseorang dapat melakukan berbagai jenis pembayaran dari manapun, asal terkoneksi dengan jaringan Internet.
Sedemikian cepatnya perkembangan teknologi informasi ini, sehingga pengembang aplikasi yang berkaitan dengan keuangan dari luar negeri pun dapat memasarkan jasanya ke dalam negeri dengan cara yang relatif mudah, murah, dan cepat. Meskipun demikian, bukannya tanpa risiko, karena kenyamanan bertransaksi sangat bertolak belakang dengan keamanan. Oleh karena itulah regulator tidak boleh terlambat dalam mengatur berbagai metode pembayaran.
Sungguh menggembirakan karena Bank Indonesia telah menyiapkan Visi Sistem Pembayaran Indonesia 2025 yang telah dikeluarkan pada tanggal 17 Agustus 2019. Visi SPI 2025 ini meliputi: (1) integrasi ekonomi-keuangan digital nasional, (2) digitalisasi perbankan, (3) interlink antara tekfin dengan perbankan, (4) keseimbangan antara inovasi dengan consumers protection, integritas dan stabilitas serta persaingan usaha yang sehat, dan (5) menjamin kepentingan nasional dalam ekonomi-keuangan digital antar negara.
Salah satu isu penting dalam mewujudkan visi tersebut adalah diberlakukannya QRIS (Quick Response Code Indonesia Standard). QRIS merupakan alat pembayaran standar yang berbasis QR code, yang saat ini sudah mulai banyak digunakan oleh Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran (PJSP), misalnya OVO, Dana, LinkAja dan GoPay.Â
Dengan diberlakukannya QRIS selambat-lambatnya 31 Desember 2019, para pelaku bisnis akan mudah melakukan pembayaran melalui gawainya, tanpa mengalami kesulitan meskipun antara pembeli dan penjual menggunakan rekening yang berbeda (misalnya penjual menggunakan OVO sedangkan pembeli menggunakan LinkAja). Hal ini tentu akan semakin memudahkan terjadinya transaksi pembayaran, yang berimbas pada tumbuhnya perekonomian.
Perluasan Layanan: Mungkinkah?
Meskipun transaksi semakin mudah dan sudah dilengkapi sistem pengaman yang cukup, namun masih ada celah untuk mengembangkan layanan yang sedang disiapkan oleh BI. Dengan diberlakukannya QRIS, seorang pengguna cukup memindai satu jenis kode QR, dibandingkan sebelumnya harus memindai kode QR yang berbeda-beda, tergantung dari PJSP-nya. Hal ini tentu akan mempersingkat waktu transaksi dan sekaligus mempercepat peredaran uang digital.
Namun layanan tersebut masih memiliki keterbatasan, karena bagaimanapun, seorang pengguna dapat memiliki beberapa jenis layanan sekaligus di gawainya, sehingga untuk melakukan pembayaran, harus memilih terlebih dahulu, layanan manakah yang akan dia gunakan. Paling tidak, dia harus memeriksa terlebih dahulu saldo yang ada di dompet digitalnya. Hal ini dapat dibuat lebih praktis lagi, dengan memanfaatkan teknologi pengaman transaksi yang disebut dengan blockchain.
Blockchain merupakan teknologi untuk mencatat transaksi antara dua pihak ke dalam sebuah blok yang berisi data transaksi. Masing-masing pihak akan memiliki public key dan private key untuk mencatat data transaksinya, sehingga tidak mudah dibuka oleh orang lain yang tidak berhak. Apabila masing-masing pihak tadi bertransaksi dengan pihak lain lagi, juga akan dicatat lagi ke dalam blok. Berbagai blok ini dapat saling mengkonfirmasi apakah transaksi yang dicatat merupakan transaksi yang valid atau tidak.
Dengan teknologi blockchain, layanan dapat diperluas, tidak seperti saat ini, misalnya seseorang akan membayar dengan kartu debit bank A, ternyata saldonya tidak cukup, sehingga harus menggunakan kartu debit bank B. Apabila saldo di bank B juga tidak cukup, maka orang tersebut gagal bertransaksi.Â
Namun apabila saldo di kedua bank tadi ditambahkan, orang tersebut dapat membayar transaksinya. Tetapi orang tersebut harus melakukan transfer terlebih dahulu, dari Bank A ke Bank B dan sebaliknya. Dengan teknologi blockchain, saldo di kedua bank tersebut secara otomatis dapat digunakan bersamaan, sehingga akan memudahkan pengguna bertransaksi.
Sebagai contoh, saat ini pengguna OVO dapat mengisi akunnya dengan sejumlah uang, misalnya Rp100.000. Saldo ini secara otomatis akan masuk ke akunnya yang lain, misalnya akun Grab dan akun Tokopedia. Padahal antara OVO, Grab, dan Tokopedia tidak berada dalam satu korporasi atau konglomerasi. Saldo yang Rp100.000 ini dapat juga digunakan untuk membayar dari Tokopedia atau dari Grab. Secara instan, saldo di OVO juga akan berkurang. Sisi positif yang lain adalah biaya transaksi yang jauh lebih murah dibandingkan dengan alat pembayaran digital konvensional.
Sejalan dengan contoh di atas, dapat dimungkinkan seorang nasabah Bank A mengisi saldonya, otomatis juga akan menambah saldonya di Bank B dan Bank C, karena nasabah tadi memiliki tiga rekening di bank yang berbeda. Bila dia ingin melakukan pembayaran, dia tinggal memilih kartu salah satu bank, atau menggunakan aplikasi di ponselnya. Apabila Bank A dan B belum menyediakan aplikasinya (atau sedang mengalami gangguan koneksi), maka nasabah tadi tinggal menggunakan aplikasi Bank C.
Negara pengguna Blockchain
Beberapa negara sudah mulai menerapkan teknologi blockchain dalam sistem pembayaran nasionalnya, misalnya saja (berdasarkan urutan penggunaan) adalah Singapura, Korea Selatan, Inggris, Ukraina, Uni Emirat Arab, Kuwait, Cina, Jepang, Kanada, Belanda, dan Swiss. Kesebelas negara tersebut sebenarnya sangat berbeda karakteristiknya, baik dilihat dari luas wilayahnya, tingkat penguasaan teknologinya, maupun kekuatan di bidang ekonominya.
Yang menarik adalah belum ada negara-negara dari benua Afrika maupun dari benua Amerika (kecuali Kanada). Bahkan Amerika Serikat yang merupakan salah satu negara besar di bidang ekonomi dan teknologi, belum mempersiapkan penggunaan blockchain di bidang keuangan.
Saat ini memang belum banyak negara yang menggunakan teknologi blockchain. Mungkin disebabkan oleh belum disepakatinya alat pembayaran yang disebut dengan BitCoin, yang juga menggunakan teknologi blockchain. Meskipun banyak negara yang belum mengakui BitCoin, tetapi banyak juga negara yang sudah mengakui alat pembayaran tersebut. Indonesia termasuk negara yang belum mengakui BitCoin. Meskipun demikian, Indonesia harusnya dapat memanfaatkan teknologi blockchain untuk menyelenggarakan alat pembayaran nasionalnya.
Penutup
Sebenarnya teknologi blockchain juga dapat membawa dampak yang lebih luas lagi, misalnya pencegahan tindak kejahatan di bidang keuangan, seperti korupsi, pencucian uang, dan terorisme. Dengan semakin dibatasinya penggunaan uang kartal, masyarakat tidak perlu lagi membawa uang kertas dalam jumlah besar (bahkan di China, uang kecil sekalipun sudah dapat ditinggalkan).Â
Berbagai jenis pembayaran, dilakukan secara digital, sehingga dapat dengan mudah dilacak oleh negara. Selain itu, juga akan terjadi peningkatan kepatuhan kewajiban perpajakan oleh para wajib pajak, karena mereka tidak perlu lagi melaporkan transaksinya (terutama penerimaan penghasilan), toh semuanya sudah tercatat di sistem.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H