Mohon tunggu...
Windy Selvina
Windy Selvina Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Money

Subhat

23 Februari 2018   21:58 Diperbarui: 23 Februari 2018   22:04 317
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tema : KEPEMILIKAN

SUBHAT

                                       (Tidak Menempatkan sesuatu pada tempatnya)

Artinya : Dari Rafi' bin Khadij RA berkata : Rasuluallah bersabda, barang siapa menanam tanaman dilahan seorang kaum tanpa seizinnya, maka ia tidak berhak mendapatkan hasil tanamannya sedikitpun dan walaupun ia telah mengeluarkan modal (biaya) mengelolanya (HR Abu Daud)

Penjelasan hadis tersebut adalah dalam pembahasan hadis ini kali ini saya akan menerangkan tentang hak dalam kepemilikan. Kepemilikan adalah sebuah hal yang sangat penting dalam menentukan kualitas dan banyak dari barang yang telah menjadi hak milik pribadi. Sebagaimana bahwa Allah SWT berfirman tentang kepemilikan "kepemilikan adalah yang hakiki bahwa sesungguhnya apa yang ada dalam langit dan bumi tentunya dengan segala isinya adalah milik Allah SWT selain pemilik yang hakiki, Allah SWT juga pewaris yang hakiki. 

Kepemilikan yang hakiki adalah kepimilikan Allah, sedangkan kepemilikan yang dimiliki manusia adalah kepemilikan yang dalam cangkupanya hanya sementara dan hanya berlaku antar sesama manusia. Meskipun seseorang yang ingin merampasnya atau menanam modal di dalam kepemilikan yang memiliki kepatenan dalam semua tidak ada pengaruhnya karena sudah dijelaskan dalam hak kepemilikan dan juga dalam sebuah hadis shahih yang memiliki arti 

 Dari Rafi' bin Khadij RA berkata : Rasuluallah bersabda, barang siapa menanam tanaman dilahan seorang kaum tanpa seizinnya, maka ia tidak tiak berhak mendapatkan hasil tanamannya sedikitpun dan walaupun ia telah mengeluarkan modal (biaya) mengelolanya (HR Abu Daud) dari hadis yang diambil dapat dijadikan pedoman dalam kepemilikan seorang yang tidak bisa dicampur tangani oleh orang yang tidak memiliki atas hak milik tersebut. 

Mengenai hak kepemilikan ini semua para ulama sepakat bahwa tanah yang dimiliki melalui pembelian atau pemberian dari pemerintah dan diketahui pemiliknya tanah tersebut tidak boleh digarap kecuali oleh pemiliknya tanpa terputus.  Said bin Manshur mengatakan dalam hal kepemilikan bagi seseorang yang mendatangi tanah mati milik sseorang lainnya kemudian menanam tanaman di tanah itu maka tidak hak bagi orang yan menanaminya, kecuali seseorang itu memiliki tanah tersebut melalui pembelian atau pemberian. Dengan inilah seseorang itu bisa memiliki hasil jerih payah yang ia kelola. 

Dalam penggunaan atau pegelolaan lahan para jumhur ulama berpendapat bahwa dalam memanfaatkannya bisa dibangun rumah diatas tanah tersebut seperti menggunakan kayu,batang pohon, batu ataupun sebagainya dan apabila seseorang itu ingin bercocok tanam diatas lahan tersebut maka dia harus menanami lahan itu, dan apabila si penggarap ingin beternak maka dia harus menyediakan tempat hewan ternaknya berteduh, atau menyediakan rerumputan agar hewan ternah itu bisa makan, sekaligus menyediakan air agar hewan ternak bisa minum, untuk mempermudah mendapatkan air, apabila aliran air sangat jauh maka sebaikya orang yag beernak membuatkan sumur didekat peternakan yang dikelola. 

Wilayah atau lahan umat islam itu ada dua macam, yaitu lahan yang hidup dan lahan yang mati. Lahan yang hidup itu milik empunya. Setiap fasilitas yang mendukung lahan hidup berupa jalan,air, dan selainnya itu sama seperti lahan hidup itu sendiri, artinya tidak ada seorangpun yang boleh menguasainya kecuali dengan seizin pemiiknya. Sedangkan lahan mati itu ada dua macam. Pertama, lahan mati yang dahulunya tergarap dan milik orang-orang yang dikenali dalam islam, kemudian penggarapannya terhenti sehingga menjadi mati dan tidak ada penggarapan lagi didalamnya. Tanah tersebut tetep milik empunya sepeti halnya lahan hidup, seseorang tidak boleh memlikinya untuk selama-lamanya kecuali ada izin dari pemiliknya

. Demikian pula dengan sarana-sarana penunjangnya,jalan,aliran air dan lain sebagainya. Kedua, lahan mati yang tidak dimiliki seorangpun dalam islam, baik dengan jalan tradisi atau dengan jalan penggarapan, baik dia dimiliki dimasa jahiliah atau tidak dimiliki. Cara memakmurkanlahan tanaman adalah menanami tanah seperti bangunan jika seseorang telah menancapkan tanaman ditanah, maka itu sama seperti membangun bangunan. Jika tanaman itu trpotong, maka itu semua seperti robohnya bangunan. 

Dia telah dianggap sebagai pemilik tanah denga  kepemilikan yang tidak bisa bepindah darinya kecuali dengan seizinnya dan karena sebab yang dia lakukan. Tindakan minimal untuk memkamurkan tanaman yang baik tanpakmpadanya air milik seseorang yang dengan itu ia miliki tanah tersebut sebagaimana dia memiliki tanaman yang tumbuh adalah dia membuat tanda penghalang yang lazim pada tanah seperti terbuat dari batu, tanah liat, daun kurma, atau tanah yang dikumpulkan, lalu telah menghidupkannya tanah sehingga tanah itu menjadi miliknya. Tetapi menurut, sistem bagi hasil (MARO) dalam pertanian menurut perspektif islam adalah prinsip bagi hasil sudah ada sebelum datangnya islam.

 Di Timur Tengah pra-Islam, kemitraan-kemitraan bisnis yang berdasarkan atas konsep mudharabah berjalan berdampingan dengan konsep sistem bunga sebagai cara membiayai berbagai aktivitas ekonomi. Sistem bagi hasil dalam kerjasama untuk menjalankan usaha telah dipraktekan sejak jaman sebelum masehi. Sistem ini umum dilakukan oleh masyarakat Mekah dan Madinah jauh sebelum Islam diturunkan melalui Nabi Muhammad SAW. Di Madinah masa itu sistem bagi hasil banyak diterapan dalam kerja sama pertanian yang lazim dipraktekan pada masa itu adalah mukharabah dan muzara'ah. 

Mukharabah adalah kerja sama pengelolaan pertanian antara pemilik lahan dan penggarap, dimana pemilik lahan memberikan lahan pertanian kepada si penggarap untuk ditanami dan dipelihara dengan imbalan tertentu (presentase) dari hasil panen yng benihnya berasal dari penggarapnya. Muzara'ah adalah kerja sama pengelolaan pertanian antara pemilik lahan dan penggarap, dimana pemiik lahan memberikan lhan pertanian kepada si penggarap untuk ditanami dan dipelihara dengan imbalan tertentu (persentase) dai hasil panen yang benihnya berasal pemilih lahan.

            Dari semua paparan yang telah dibahas dari awal kita dapat memahami bahwa kepemilikan memiliki aturan dalam penggunaannya yang juga disebut hak paten dalam kepemilikan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun