Bercerita tentang layanan publik.
Beberapa waktu yang lalu, saya membutuhkan informasi nomor telepon, yang kemudian -tentu saja- saya menghubungi 108.
Pengalaman sebelumnya menghubungi 147 untuk masalah Speedy yang kemudian dijawab bertele-tele -live in another story- membuat saya sedikit malas menghubungi 108Â ini, sebenernya. But we don't judge people all the same, right?
Percakapan pertama dengan seorang pria. Jawaban standard singkat padat robotik seperti biasa. Ucapan terima kasih telah menunggu, saya terima beberapa kali. Permintaan infomasi untuk nomor telepon yang saya minta, ada yang tidak berhasil karena nama yang saya ajukan tidak terdaftar. Biasalah, nama usaha yang diajukan dengan nama pribadi, sehingga tak terlacak, sementara saya tak tahu alamat lengkapnya. Perfecto.
Ucapan terima kasih yang panjang dan lebar semacam terima kasih telah menghubungi kami, ada lagi yang bisa kami bantu, selamat beraktifitas, saya terima. Membuat ragu dan canggung untuk menutup telepon segera sementara masih banyak yang harus dikerjakan. Terlalu panjang, kukira.
Ternyata, saya masih membutuhkan beberapa nomor telepon lagi. Dan saya hubungi lagilah nomor itu, 108.
Kali ini, saya terhubung dengan seorang wanita. Seperti biasa saya disuguhi dengan ucapan standard ramah singkat pendek robotik tadi. Dan mulailah saya menanyakan satu alamat yang saya benar-benar berharap ada nomor telepon yang bisa diberikan..
But wait!! Wanita ini menjawabnya dengan ringan. Santai. Jawaban-jawaban yang diselingi dengan sapaan santai kepada saya, sebuah percakapan yang humanis.
"Wah, mohon maaf bu. Kalau di alamat itu nomornya tidak terdaftar"
Terkesiap sejenak. "Kalau yang di daerah Timur apa ya mbak?"
"Hmmmm, kalau yang di daerah Timur, ada A, B dan C bu. Ibu mau yang mana?" Bahkan dari caranya berbicara saya tahu dia sedang tersenyum.