Mohon tunggu...
Windy Garini
Windy Garini Mohon Tunggu... Guru - Pembelajar Sejati Sepanjang Hayat

Selalu berproses untuk bertumbuh menjadi pribadi yang selalu semangat belajar dan berbagi

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Langkah Kecil dalam Merajut Keberagaman

1 Oktober 2022   16:26 Diperbarui: 1 Oktober 2022   16:29 168
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Memasuki Semester Ganjil Tahun Ajaran 2022/2023 kembali kami Tim Literasi SMKN 5 Pangkalpinang diminta untuk menyusun program Literasi Baca Nyaring maupun Literasi Kitab Suci. Haa..sebenarnya penamaan Literasi Kitab Suci ini baru berani saya sounding setelah saya sudah  mengikuti Kelas Bhineka tahun lalu dan sekarang  sedang ikut juga program Sekolah Kebhinekaan Yayasan Cahaya Guru. Setahun yang lalu, salah satu nama program literasi yang kami susun adalah  Literasi Baca Al Quran, nama yang dicantumkan seperti program literasi sekolah pada umumnya.  

Diberi nama seperti itu, karena mayoritas siswa di sekolah saya adalah muslim. Namun, setelah saya pikir,  perlu adanya perubahan nama agar  lebih memberikan ruang untuk siswa yang non muslim juga. Walaupun jumlahnya minoritas tidak lebih dari 10 orang, tapi bagaimanapun mereka tetap harus difasilitasi.  Oleh karena itu, saya berpikir lebih adil kalau dinamakan Literasi Kitab Suci. Karena yang non muslim juga diberikan kesempatan untuk  membaca kitab sucinya masing-masing. Kesadaran ini datang setelah saya mendapatkan banyak kesempatan belajar mengenai keberagaman dan insight ini yang mendorong saya lebih berani untuk mencoba menerapkan inspirasi yang saya peroleh dari teman-teman lain yang sudah lebih dulu menerapkan nilai-nilai keberagaman di sekolahnya. 

Untuk tahun ini juga, program Literasi Kitab Suci yang non muslim menurut saya lebih membuka ruang perjumpaan karena di situ berkumpul siswa-siswa yang berbeda agama. Baik yang beragama Kristen, Katolik, Budha juga Konghucu. Mereka dikumpulkan dalam satu kelompok yang didampingi oleh guru Non muslim dan sesekali juga saya. Sedangkan untuk yang muslim berada di kelas masing-masing dengan dipandu dan didampingi guru mata pelajaran jam pertama yang beragama muslim. 

Sebenarnya ruang perjumpaan ini menurut saya sangat menarik. Gimana tidak, mereka kami minta secara bergantian tiap minggunya  membacakan ayat-ayat yang ada dalam kitab suci masing-masing dan siswa lainnya menyimak. Kebetulan, dalam seminggu kegiatan literasi kitab suci berlangsung 2 hari yaitu hari Rabu dan Kamis. Begitu juga ketika ruang ini dibuka, di awal perjumpaan setiap siswa bergantian membuka dengan doa menurut keyakinannya. Siswa lainnya menyimak doa yang dibacakan sambil mereka juga berdoa sesuai dengan yang diyakininya. Setelah salah satu teman mereka membacakan ayat-ayat yang ada di kitab suci mereka, teman agama lain menyimak, selanjutnya  mereka menyampaikan pendapat atas nilai-nilai yang terkandung dalam kitab suci yang dibacakan oleh teman lainnya dan ataupun nilai yang mereka jelaskan boleh juga dikaitkan dengan nilai-nilai kebaikan yang mereka dapatkan dalam kitab suci agama mereka masing-masing. 

Namun, dalam perjalanannya, ada hal yang menggelitik yaitu ketika ada siswa yang beragama Konghucu sebut saja namanya Kevin, ketika kami minta dia bergantian membacakan ayat dalam kita sucinya. Dia awalnya selalu menolak untuk membacakan  dan memilih tetap mengikuti dan menyimak bacaan ayat yang dibacakan temannya yang agama Kristen maupun Katolik.  Dia biasanya ikutan membaca dan menyimak  melalui aplikasi Kitab Suci Kristen atau Katolik yang ada di HP  Android. Sekali waktu, pendamping mereka yang sama-sama non musllim,  tidak hadir, dan akhirnya saya yang menggantikan mendampingi mereka, dan saat itu  sempat ada kejadian menarik bersama Kevin. 

Awalnya saya heran kenapa Kevin selalu menolak jika diminta membacakan kitab sucinya. Saya berharap ketika giilirannya Kevin mau membacakannya. Namun kali ini, ketika saya minta Kevin bergantian membacakan kitab sucinya, dia kali ini menjawab : " Gak tau Bu yang mana kitab suciku."  Spontan dong  kami semua heran, " Lho kok bisa gak tau dengan kitab suci agamamu Kevin ? "  Tanya kami saat itu. Lalu dia menjawab lagi, " Soalnya Ama dan Apaku (panggilan orangtua orang Cina) gak pernah simpan kitab suci di rumah." Oalaah...seperti itu ya."  Tapi kami makin dibuat penasaran sama penjelasan dia. " Jadi biasanya ada dimana kitab suci itu disimpan ? " tanyaku. Dengan santai Kevin menjawab " ya adalah di Klenteng sana ". 

Dari penjelasan Kevin ini terus terang membuat saya semakin bingung dan penasaran.  Bagaimana mereka beribadah tanpa adanya panduan kitab suci. Dan rasa penasaranku ini sempat terjawab oleh salah satu guru yang juga berasal dari etnis China, menjelaskan bahwa memang biasanya kitab suci orang Konghucu (Shishu Wujing) tidak selalu ada tersimpan di rumah. Tetapi kitab suci itu tetap ada, hanya lebih sering ditemui di rumah ibadah mereka yaitu di Klenteng atau Tepekong. Dan hal ini bukan menjadi masalah besar bagi orangtua Kevin serta keluarganya. 

Karena,   rupanya selidik punya selidik ketika Kevin SMP diapun bersekolah di Sekolah Yayasan Katolik, pelajaran agama yang dia ikuti juga Katolik sekalipun dia Konghucu, sehingga dia tidak mempermasalahkan ketika tidak membawa kitab sucinya karena memang pelajaran agama yang diikuti di sekolah saat SMP itu  Katolik. . Hal ini juga sama dengan keadaan  Ayah Ibunya yang tidak pernah mempersoalkan dia ikut pelajaran agama apa selama dia bersekolah. Sehingga akhirnya sampai di sini kami paham, kenapa Kevin kurang mengenal kitab sucinya. 

Di satu sisi, kami semua  mencoba memahami kondisi itu, tapi di sisi lain, kami melihat secara tidak langsung orangtua Kevin mengajarkan anaknya untuk lebih toleran dengan keadaan lingkungan sekolah yang dimasuki oleh anaknya. Mereka secara sekilas, tidak memaksakan anaknya untuk secara kaku hanya mengikuti ajaran agama mereka saja. Namun di sisi lain, secara tidak langsung kami melihat Kevin tumbuh menjadi pribadi yang lebih luwes dan lebih toleran dimanapun dia berada. Karena waktu SMP dia tidak  bermasalah bersekolah dalam lingkungan mayoritas Katolik, dan sekarang ketika SMK dia bersekolah dengan mayoritas teman beragama Muslim. Kevin juga merasa nyaman saja ketika harus mempelajari agama lainnya selain agamanya sendiri Konghucu. 

Sebenarnya dengan pencapaian program ini, saya masih belum cukup puas karena menurut saya masih ada yang terlewat. Apa itu ? Ya..siswa yang Muslim sekaligus  mayoritas masih berkumpul dengan sesama muslim. Mereka belum berjumpa seutuhnya dengan siswa yang non muslim. Begitu juga yang Non muslim diposisikan terpisah di tempatkan di pojok literasi. Jadi menurut pandangan saya, masih ada pemisahan yang sangat jelas, bahwa mereka seyogyanya belum bisa disatukan dalam satu ruang perjumpaan. Saya yakin ketika itu terjadi pasti lebih dinamis dan menarik. Mungkin ini masih menjadi salah satu list PR besar  saya yang tahun depan, secara perlahan harus saya wujudkan. 

Terus terang, saya masih sangat berhati-hati menerapkan nilai-nilai keragaman di sekolah. Saya melihat paradigma dan mindset mengenai keberagaman belum berjalan semestinya. Untuk beberapa hal, sebagian besar teman Guru belum bisa menerima ruang perjumpaan lebih besar. Mengapa saya punya kesimpulan seperti itu ? Ya, saya masih teringat penolakan ide yang saya coba gulirkan dalam program Tausiyah Jumat . Kala itu Tausiyah Jumat bisa dilakukan  hanya  oleh siswa muslim saja. Setiap kelas diminta menampilkan perwakilan siswa muslim untuk memberikan Tausiyah atau ceramah di depan teman-teman kelas lainnya. Biasanya mereka berkumpul di lapangan upacara. Namun kali ini saya usulkan ke Kepala Sekolah untuk juga siswa Non Muslim diberikan hak yang sama mereka menjelaskan nilai-nilai kebaikan yang ada dalam kitab suci agama mereka kepada teman-temannya yang Muslim. Saat ide itu saya munculkan, Kepala Sekolah sangat setuju dan mendukung saya merealisasikan ide tersebut.  Namun di lapangan, faktanya  berkebalikan dengan pemahaman beberapa Guru yang menyakini bahwa ketika siswa Non Muslim diberikan ruang atau kesempatan yang sama, artinya sekolah membiarkan siswa Non Muslim mencuci otak teman-teman muslimnya. Waktu itu, memang akhirnya ada satu kali kesempatan siswa non muslim maju membacakan kitab sucinya. Dan respon teman-teman muslimnya bisa menerima dan tidak ada protes sama sekali. Justru penolakan hadir dari guru-guru mereka yang tidak sepaham dengan konsep perjumpaan yang saya usulkan. Jadi, akhirnya itulah menjadi Jumat Tausiyah terakhir, siswa Non Muslim mendapatkan ruang perjumpaan dengan teman-teman muslimnya. Saya hentikan program tersebut, karena saya tidak mau memikirkan dampak negatif yang akan dialami siswa-siswa yang non muslim nantinya. 

Beranjak dari kejadian tersebut, akhirnya saya lebih berhati-hati dan cermat dalam melangkah untuk mengenalkan nilai keragaman di sekolah. Saya mulai kembali dengan langkah kecil yang bertahap dan bermakna.  Yaitu dengan mencoba kembali dengan Literasi Kitab Suci dengan lingkup lebih kecil namun tetap dengan konsep ruang perjumpaan. 

Saya meyakini langkah kecil ini menjadi modal awal saya untuk lebih mengenalkan keberagaman lebih baik  di sekolah saya. Sekalipun dengan cara sederhana, paling tidak siswa-siswa saya punya pengalaman yang berbeda dengan kawan lainnya yang ada di sekolah lainnya atau saat mereka SMP. Masih banyak cara yang harus saya coba untuk mengenalkan keberagaman di sekolah kami. Bukan tidak mungkin suatu saat ini menjadi pembiasaan yang ikut menanamkan karakter pada siswa saya, bahwa untuk bisa belajar bertoleransi dan menerima keberagaman bisa  dimulai dengan langkah kecil yang sederhana namun  tetap  bermakna .  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun