Bullying merupakan masalah serius yang dihadapi oleh banyak siswa di Indonesia. Fenomena ini tidak hanya berdampak pada kesehatan mental dan fisik korban, tetapi juga menciptakan lingkungan belajar yang tidak kondusif. Kasus bullying di Indonesia telah menunjukkan peningkatan yang signifikan dalam beberapa tahun terakhir.
 Menurut data dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), tercatat sekitar 3.800 kasus bullying sepanjang tahun 2023, hal ini menunjukan peningkatan drastis dibandingkan dengan 226 kasus di tahun 2022 dan 53 kasus di tahun 2021.
 Jenis bullying yang paling umum meliputi bullying fisik (55,5%), verbal (29,3%), dan psikologis (15,2%). Siswa SD menjadi kelompok yang paling banyak menjadi korban, diikuti oleh siswa SMP dan SMA.
Bullying adalah tindakan agresif yang dilakukan dengan tujuan menyakiti atau mengintimidasi seseorang secara fisik maupun psikologis. Dampak bullying dapat menyebabkan masalah serius, seperti depresi, gangguan kecemasan, dan penurunan prestasi akademik bagi korban. Selain itu, pelaku bullying juga dapat mengalami masalah perilaku di masa depan (Lusiana & Arifin, 2022)
Peningkatan kasus bullying ini menimbulkan pertanyaan mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku tersebut, termasuk peran pendidikan Pancasila dalam membentuk karakter siswa. Pendidikan Pancasila, yang seharusnya menjadi landasan Kurangnya pemahaman dan penerapan nilai-nilai Pancasila dalam pendidikan dapat menjadi salah satu penyebab meningkatnya kasus bullying.Â
Oleh karena itu, revitalisasi nilai-nilai Pancasila dalam pendidikan menjadi solusi yang strategis untuk menanggulangi Bullying dan membentuk karakter ositif geerasi muda.
Nilai-nilai Pancasila, yakni Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan Yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan, dan Keadilan Sosial Bagi Seluruh Bangsa Indonesia, merupakan pandangan hidup bangsa Indonesia yang harus dilestarikan dan diasah melalui pendidikan.
 Revitalisasi nilai-nilai Pancasila berarti menghidupkan kembali nilai-nilai luhur tersebut dalam realitas kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, sehingga dapat mencegah perilaku bullying yang merugikan individu maupun komunitas.
Melalui Pendidikan Pancasila, anak-anak dan remaja dapat belajar menginternalisasikan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari. Materi Pendidikan Pancasila harus didesain sedemikian rupa sehingga tidak hanya fokus pada pembinaan kognitif, tapi juga afektif dan konatif.Â
Pembinaan afektif dan konatif ini penting untuk memupuk kepekaan sosial, rasa tanggungjawab, dan kemampuan bertindak untuk mewujudkan tanggung jawab moral. Dengan melibatkan metodologi institusional building. Artinya, metode pembelajaran harus berubah dari dogmatik menjadi rasional ilmiah, dari teacher center ke student center.Â
Selain itu, pelatihan metode pembelajaran dan membuat media pembelajaran juga sangat penting untuk meningkatkan efektifitas transfer nilai-nilai Pancasila ke generasi muda.(Sumaryati, n.d.)