Tanggungjawab debitur terhadap benda pertanggungan yang musnah menurut Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999
Perjanjian kredit dengan meminta pertanggungan dari debitur dimaksudkan guna mengurangi resiko yang timbul dari perjanjian kredit tersebut, akan tetapi tak semua perjanjian kredit yang dilakukan oleh pihak kreditur dengan debitur dapat berjalan sebagaimana mestinya. Resiko yang dapat terjadi dengan penggunaan benda pertanggungan bergerak memiliki resiko yang sangat besar karena pihak debitur bisa saja melakukan fidusia ulang dengan mengalihkan hak kepemilikan benda pertanggungan bergerak kepada pihak lain tanpa sepengetahuan kreditur sebagai penerima fidusia, juga bisa karena musnahnya obyek fidusia.Â
Berdasarkan isidari Pasal 1234 KUH Perdata, tiga kewajiban yang harus dilaksanakan oleh debitur dalam perikatan ialah: memberikan sesuatu, berbuat sesuatu, atau tak berbuat sesuatu. Sebagai halnya terkandung didalam Pasal 17 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Pertanggungan Fidusia, ialah obyek pertanggungan fidusia yang telah terdaftar seorang pemberi fidusia dilarang melaksanakan fidusia ulang lagi. Kondisi seperti ini menjadi alasan lantaran hak kepemilikan atas obyek itu sudah berpindah kepada penerima fidusia (Constitutum Poosessorium).
Berbicara tentang musnahnya barang yang menjadi pertanggungan fidusia dalam perjanjian kredit dapat dibagi menjadi dua macam yaitu : (a) Musnah Secara Total/seluruhnya, jika barang yang menjadi obyek perjanjian kredit musnah yang diakibatkan oleh peristiwa di luar kesalahan para pihak maka perjanjian tersebut gugur demi hukum. Pengertian musnah di sini berarti barang yang menjadi obyek perjanjian kredit tak lagi bisa digunakan sebagaimana mestinya, meskipun terdapat sisa atau bagian kecil dari barang tersebut masih ada.Â
Ketentuan tersebut diatur di dalam Pasal 1553 KUH Perdata yang menyatakan jika musnahnya barang terjadi selama kreditnya berlangsung yang diakibatkan oleh suatu keadaan yang tak bisa dipertanggungjawabkan pada salah satu pihak maka perjanjian kredit itu dengan sendirinya batal.Â
Dan (b) Musnah Sebagian, barang yang menjadi obyek perjanjian kredit disebut musnah sebagian apabila barang tersebut masih dapat digunakan dan dinikmati kegunaannya walaupun bagian dan barang tersebut telah musnah. Jika obyek perjanjian kredit musnah sebagian maka penyewa mempunyai pilihan yaitu meneruskan perjanjian dengan meminta pengurangan harga atau meminta pembatalan perjanjian.
Terkait dengan musnahnya barang pertanggungan sebagaimana yang dipaparkan pada bagian sebelumnya, telah memberikan gambaran bahwasannya yang dimaksudkan dengan musnah yang dapat terjadi pada sebuah barang khususnya yang menjadi pertanggungan ada dua yaitu musnah secara total dan musnah sebagian.Â
Kedua hal tersebut tentunya membawa konsekuensi-konsekuensinya secara sendiri. Dengan demikian, tergambar secara jelas bahwasannya Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Pertanggungan Fidusia dalam pengaturan norma-normanya masih belum dapat menjawab permasalahan dalam hal pertanggungan fidusia, khususnya mengartikan musnahnya barang pertanggungan. Sehingga diartikan dengan berpedoman pada kamus bahwasannya yang dimaksudkan dengan musnah dalam pengkajian ini ialah hilangnya, rusaknya barang yang dijadikan sebagai pertanggungan dalam perjanjian kredit.
Di dalam pemenuhan suatu perjanjian yang telah dibuat oleh para pihak tak jarang pula debitur lalai melaksanakan kewajibannya atau bisa dikatakan tak melaksanakan kewajibannya ataupun tak melaksanakan seluruh kewajibannya, hal ini disebut wanprestasi. Wanprestasi berasal dari istilah aslinya dalam bahasa Belanda "wanprestatie" yang artinya tak dipenuhinya prestasi atau kewajiban yang telah ditetapkan terhadap pihak-pihak tertentu didalam suatu perikatan, baik perikatan yang dilahirkan dari suatu perjanjian ataupun perikatan yang timbul karena undang-undang.
Wanprestasi terjadi disebabkan karena 2 alasan di bawah ini:
1.Karena keadaan memaksa (overmacht/force majure), diluar kemampuan debitur, debitur tak bersalah. Keadaan memaksa ialah keadaan tak dapat dipenuhinya prestasi oleh pihak debitur karena terjadi suatu peristiwa bukankarena kesalahannya, peristiwa mana tak dapat diketahui ataupun tak dapat diduga akan terjadi pada waktu membuat perikatan.Â
Dalam keadaan memaksa ini debitur tak dapat dipersalahkan karena keadaan memaksa tersebut timbul diluar kemauan dan kemampuan debitur. Wanprestasi yang diakibatkan oleh keadaan memaksa bisa terjadi karena benda yang menjadi objek perikatan itu musnah, bisa juga terjadi karena perbuatan debitur guna berprestasi itu terhalang seperti yang telah diuraikan diatas. Mengenai keadaan memaksa yang menjadi salah satu sebab timbulnya wanprestasi dalam pelaksaanaan perjanjian.
2.Karena kesalahan debitur, baik karena kesengajaan ataupun kelalaiannya. Kesalahan yang dimaksud ialah kesalahan yang menimbulkan kerugian. Dikatakan orang mempunyai kesalahan dalam peristiwa tertentu kalau sebenarnya dapat menghindari terjadinya peristiwa yang merugikan itu baik dengan tak berbuat atau berbuat laindan timbulnya kerugian itu dapat dipersalahkan kepadanya.
Wanprestasi berakibat hukum terhadap pihak yang melakukannya dan membawa konsekuensi terhadaptimbulnya hakpihak yang dirugikan guna menuntut pihak yang melakukan wanprestasi guna memberikan ganti rugi, sehingga oleh hukum diharapkan agar tak ada satu pihak pun yang dirugikan karena wanprestasi tersebut. Akibat dari wanprestasi ialah timbulnya gantirugi, biarpun akibat dari suatu keadaan yang memaksa (Overmacht) ialah timbulnya resiko.
Peristiwa yang terjadi menjadi konsekuensi dan tanggung jawab debitur atas musnahnya barang pertanggungan dalam perjanjian kredit. Jika pertanggungan benda bergerak hilang seorang debitur bertanggung jawab guna mengembalikan pinjaman kredit kepada kreditur.Â
Apabila benda bergerak yang diasuransikan hilang maka debitur tetap mempertanggung jawabkan pengembalian pinjaman kredit melalui perusahaan asuransi kepada kreditur, walaupun tak dibayar sepenuhnya oleh perusahaan asuransi dimana benda pertanggungan diasuransikan. Sisa dari pinjaman kredit yang belum tuntas tetap dilunasi oleh pihak debitur, tetapi jika benda bergerak tak diasuransikan ternyata musnah maka debitur bertanggung jawab penuh dalam pengembalian pinjaman kredit kepada kreditur. Hal itu disebabkan debitur telah terikat dalam perjanjian kredit
Musnahnya Perjanjian Kredit bagi penerima Fidusia
Sebelum pemberian kredit dilakukan oleh pihak bank disini, pihak bank akan mempertimbangkan permohonan kredit yang akan di ajukan oleh calon nasabahnya. Dimana bank sebelum menyalurkan kredit kepada nasabahnya, terlebih dahulu pihak bank akan melakukan penyelidikan terhadap calon nasabahnya. Pemberi fidusia dapat lalai dan tdak bertanggung jawab atas kondisi benda persediaan yang dijaminkan yang mengakibatkan obyek pertanggungan rusak atau musnah.
Semua bank yang ada di Indonesia pasti menggunakan perjanjian kredit, dimana perjanjian kredit disini dilakukan oleh pihak bank yang akan memberikan pertanggungan kepada nasabahnya. Pihak nasabah pasti akan diminta barang atau benda yang ingin di jaminkan kepada pihak bank guna guna kapabilitas di dalam mengajukan kredit kepada pihak bank selaku kreditur. Barang yang akan di jaminkan ini merupakan syarat utama di dalam pengajuan kredit bank selain kartu tanda penduduk (KTP), ataupun kartu keluarga (KK).
Dasar hukum pengatura Pertanggungan Fidusia secara umum diatur dalam Undang- Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Pertanggungan Fidusia. Sebagaimana telah diuraikan debelumnya bahwasannya fidusia ialah pengalihan hak  kepemilikan  suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwasannya benda yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda.
Prinsip hukum bahwasannya dalam Undang-Undang melalui ketentuannya ialah hendak melindungi pihak atau orang tertentu, Â maka Undang-Undang memberikan suatu hak tertentu kepada orang atau pihak yang bersangkutan dan dalam peristiwa demikian, hak tersebut dapat gunakan atau tak digunakan tergantung pihak tersebut.
Perlindungan hukum yang dimaksudkan dalam pengkajian ini ialah terkait dengan pihak pemberi fidusia (debitur) dan penerima pertanggungan fidusia (kreditur). Persoalan perlindungan hukum para pihak dalam pertanggungan fidusia ialah mengenai eksekusi. Sertifikat pertanggungan fidusia ini merupakan salinan dari Buku Daftar Fidusia yang memuat catatan tentang hal-hal yang dimuat dalam pernyataan pendaftaran.Â
Sertifikat pertanggungan fidusia tersebut mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Hal ini berarti apabila pemberi fidusia (debitur) ingkar janji, kreditur dapat langsung meminta eksekusi tanpa melalui gugatan.Â
Pihak-pihak atau seseorang di dalam suatu perjanjian kredit dengan pertanggungan fidusia ialah sesuai dengan akta perjanjian kredit dan akta pertanggungan fidusia yang dibuat secara autentik dihadapan notaris di mana di dalam perjanjian kredit termuat hak dan kewajiban bagi para pihak dalam melaksanakan perjanjian kredit tersebut dengan itikad baik. Pihak debitur wajib menyerahkan sejumlah dana yang telah disepakati di dalam perjanjian kredit setelah semua syarat yang diminta oleh pihak kreditur dipenuhi oleh debitur dalam suatu perjanjian kredit tersebut.
Terkait dengan pertanggungan fidusia sebagaimana telah diuraikan pada bagian- bagian sebelumnya dari penelitian ini, guna pengamalan asas spesialitas dan asas publisitas, maka Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Pertanggungan Fidusia kemudian digunakan sistem pendaftaran. Sistem pendaftaran ini pun diharapkan dapat memberikan pertanggungan perlindungan kepada yang menerima fidusia dan pihak yang mempunyai kekrusialan terhadap benda tersebut.
15 Pasal 1870 KUH Perdata secara tegas menggambarkan jika akta notaris ialah akta otentik yang didalamnya memuat kekuatan pembuktian mengenai pihak, ahli waris ataupun pengganti haknya. Mempertimbangkan bahwasannya pada umumnya obyek pertanggungan fidusia yakni tak terdaftarnya benda bergerak, lalu yang memberi pertanggungan kepastian hukum disini ialah akta otentik.Â
Demi melengkapi asas publisitas, Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Pertanggungan Fidusia mengatur hal tentang pendaftaran pertanggungan fidusia demi memberi kepastian hukum bagi para pihak, pihak ketiga dan penerima fidusia didahulukan atas kreditur lain. Perlindungan hukum terhadap kreditur diatur secara umum, yaitu:
Diatur dalam KUH Perdata Pasal 1131 dan 1132 dan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Pertanggungan Fidusia yang intinya menyebutkan bahwasannya benda yang dibebani dengan pertanggungan fidusia wajib didaftarkan kemudian dibuat sertifikat pertanggungan fidusia. Kreditur mempunyai hak guna melaksanakan eksekutorial sebagaimana tercantum dalam sertifikat pertanggungan fidusia, apabila debitur wanprestasi Musnah Sebagian.
 Barang yang menjadi obyek perjanjian kredit akan musnahnya sebagian maka obyek itu masih dapat digunakan dan dinikmati kegunaannya bila bagian dari barang yang menjadi obyek tersebut telah musnah. Jika barang yang menjadi obyek dari perjanjian kredit ini musnah sebagian, maka penyewa atau debitur akan mempunyai pilihan meneruskan perjanjian kredit dengan cara meminta pengurangan harga dari barang yang menjadi obyek pertanggungan tersebut atau dengan cara meminta pembatalan dari perjanjian kredit jika kedua pihak setuju.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H