Gerakan Puritan mulanya hanya merupakan gerakan keagamaan, tetapi karena tekanan-tekanan dan tindakan-tindakan yang kurang bijaksana terhadap kaum Puritan oleh James I dan Charles I, yang keduanya tidak disukai rakyatnya karena despotisme (kelaliman) mereka, maka gerakan Puritan berkembang menjadi gerakan politik yang beroposisi terhadap raja. Situasi konflik mencapai puncaknya pada Perang Saudara (1642-1646, 1648) dan akhirnya kaum Puritan menumbangkan kekuasaan monarki yang lalim itu, serta menghukum mati Charles I. Kemudian kaum Puritan mendirikan pemerintahan "Commonwealth" (Persemakmuran) atau Republik di bawah pimpinan Oliver Cromwell. Pertentangan antara kaum Puritan dan kaum Katolik masih dapat diredam berkat kewibawaan Ratu Elisabeth I yang bijaksana, tetapi pertentangan tersebut muncul lagi pada awal pemerintahan James I (1603-1625). James I yang berasal dari Skotlandia itu dididik di Eropa dan lebih berorientasi kepada teori-teori daripada kepada realitas sehari-hari. Dengan demikian, dia kurang memahami tradisi dan jiwa rakyat Inggris. Teori kenegaraan yang digunakan James I di Inggris disebut "Hak Illahi raja-raja" (divine right of kings) yang berarti Tuhan memberikan hak istimewa kepada raja yang tidak dapat diganggu gugat karena raja adalah wakil Tuhan di bumi ini.Â
Raja berdiri di atas segala-galanya, termasuk hukum buatan manusia, dan menentang raja berarti menentang Tuhan, James I tertarik menggunakan teori ini mungkin karena pengalaman-pengalaman pahit di Skotlandia ketika para bangsawan feodal dan kaum rokhaniwan selalu mengancam hidupnya dan tidak mau mentaatinya. Keretakan pertama muncul ketika kaum Puritan memohon izin kepada raja agar mereka dapat melakukan praktik-praktik kebaktian gereja dengan cara sendiri yaitu dengan upacara yang lebih sederhana dan lebih menekankan khotbah. Perlu diketahui bahwa gereja Katolik lebih menekankan upacara daripada khotbah. Di samping itu, mereka mengusulkan agar kitab Injil diterjemahkan. James menolak usulan pertama dan hanya mengabulkan terjemahan baru Kitab Injil. Akibat langsung dari penolakan tersebut adalah pemecatan beberapa ratus pendeta Puritan dari Gereja Anglikan. Sejak saat itu dimulai gerakan non-konformis, yaitu gerakan Protestan di luar gereja resmi, yang anggotaanggotanya justru terdiri dari golongan-golongan yang berpengaruh dalam masyarakat dan dalam Majelis Rendah, yaitu sebagian besar kaum pengusaha di kota-kota dan sebagian dari para "gentry" (tuan tanah).
Tindakan James I terhadap kaum Puritan menyulut perselisihan antara James I dan Parlemen, terutama Majelis Rendah yang waktu itu dikuasai oleh orang-orang Puritan. Dan dari perselisihan keagamaan kemudian merembet ke bidang-bidang lain seperti sistem pemerintahan, ekonomi dan sebagainya. Situasi konflik atau hubungan yang tidak harmonis antara raja dan parlemen berlanjut sampai masa pemerintahan Charles I (1625-1649) putera James I. Seperti juga ayahnya, Charles I tidak memahami pikiran dan perasaan orang-orang Inggris dan meneruskan kebijaksanaan-kebijaksanaan yang dianut ayahnya. Masa pemerintahan Charles I juga terus diwarnai konflik yang berkepanjangan. Misalnya, selama 11 tahun (1629-1640) Charles mencoba memerintah tanpa parlemen, karena apabila memerintah dengan parlemen berarti ia harus meninggalkan asas "hak Ketuhanan rajaraja" yang dianutnya.
Rokhaniwan yang cenderung ke Puritanisme dipecat dari Gereja Anglikan. Tujuan utama Laud adalah membasmi Puritanisme dengan menutup segala kesempatan bagi penganut-penganutnya untuk menyatakan diri. Konflik yang berkepanjangan antara kelompok Raja dan kelompok Puritan mencapai puncaknya pada Perang Saudara (1642-1646, 1648). Pihak raja didukung oleh sebagian besar bangsawan yang duduk dalam Majelis Tinggi, orang-orang Anglikan, kaum Katolik, kaum gentry yang mahir menunggang kuda (knighthood) dan sering disebut kaum "royalis atau Cavaliers". Sedangkan pihak Puritan didukung oleh sebagian kecil kaum bangsawan dan sebagian besar kaum/golongan menengah yaitu kaum pedagang dan produsen di kota-kota, terutama kota-kota pelabuhan. Pendukung-pendukung parlemen dan Puritan dikenal sebagai "Roundheads" (Kepala Bulat). Disebut Kepala Bulat karena sebagian besar dari mereka menata rambutnya secara sederhana.Â
Secara geografis pengikut-pengikut raja terdapat di utara dan barat, sedangkan pendukung-pendukung parlemen terdapat di timur dan selatan termasuk London, dan juga di kota-kota pelabuhan dan daerah-daerah produsen tekstil. Dengan demikian, pihak parlemen lebih mudah mendatangkan kebutuhan dari luar dan memiliki sumber-sumber keuangan yang lebih besar. Sebaliknya, pihak raja sangat kekurangan dana, dan hanya menggantungkan diri pada kesetiaan dan kesediaan pengikut-pengikutnya untuk menyumbangkan uang dan jasa.Â
Perang saudara yang berlangsung selama 4 tahun tidak hanya melibatkan kelompok raja dan parlemen (Puritan), tetapi juga kelompok-kelompok lain, yaitu orang-orang Scotlandia dan "New Model Army" (Tentara Gaya Baru) di bawah pimpinan Oliver Cromwell, yang mendukung kelompok parlemen. "New Model Army" ini berintikan pasukan kavaleri "Ironside" yang merupakan andalan kaum parlemen, karena terlatih baik, sangat berdisiplin, dan mendapat gaji cukup dan teratur. "New Model Army" akhirnya mengalahkan tentara royalis di Naseby pada tahun 1645. Menyerahnya raja tidak berarti persoalan selesai, karena setelah itu muncullah keretakan antara kaum Parlemen, New Model Army, dan orangorang Skotlandia yang masing-masing ingin lebih berkuasa.Â
Misalnya, orang-orang Skot menginginkan presbysterianisme menjadi agama negara di Inggris, dan ini ditentang oleh New Model Army; kaum Parlemen ingin membubarkan New Model Army tanpa memberikan tunggakan bayaran para anggotanya. Akhirnya pecah perang saudara tahap kedua yang tidak berlangsung lama (1648). Perang saudara tahap kedua ini dimenangkan oleh New Model Army pimpinan Oliver Cromwell. Setelah Charles I dihukum mati, Oliver Cromwell mengangkat diri menjadi pimpinan bangsa Inggris dan Inggris diubah menjadi suatu negara republik selama kurang lebih 11 tahun (1649 --1660).Â
Dalam kesusastraan periode Puritan terdapat tiga kelompok puisi: metafisik, cavalier, dan Puritan. Kesusastraan Puritan bersifat, muram, pesimis dan serius; sedangkan kesusastraan periode Elizabeth penuh inspirasi, harapan, dan daya. Kesusastraan periode Puritan kehilangan gairah romantis, tetapi lebih kritis dan intelektual (lebih merangsang pikiran daripada perasaan), sedangkan kesusasteraan periode Elizabeth penuh gairah romantis dan lebih merangsang imaginasi. Istilah "metafisik" pertama kali digunakan oleh Dr. Samuel Johnson (1709-1786), seorang sastrawan terkemuka abad ke-18, untuk menunjuk beberapa penyair Puritan dengan karya-karya yang memiliki bentuk istimewa.Â
Puisi metafisik lebih mengutamakan intelek daripada emosi, jadi dalam puisinya didapat banyak istilah-istilah sains. Penyair metafisik yang paling terkemuka adalah John Donne (1572-1631) dan beberapa penyair lainnya yang mengikuti jejaknya antara lain George Herbert (1593-1633), Edmund Waller (1606-1687), Sir John Suckling (1609-1642), Andrew Marvell (1621-1678), dan Henry Vaughan (1621-1695). Periode Puritan ini dapat disebut abad penemuan (discovery) dan ilmu pengetahuan baru (new learning), dan para penyair metafisik senang mengacu keperkembangan sains dan geografi yang paling mutakhir. Secara khusus, mereka menggunakan imaji (imagery) secara mengejutkan, karena mengemukakan hal-hal yang tidak lazim. Misalnya, Donne membandingkan dirinya dan cintanya dengan sepasang kompas, dan dirinya dengan sebuah peta; Marvell bicara tentang cintanya dengan istilah-istilah geometri. Jenis imaji (imagery) yang digunakan penyair metafisik disebut conceit: dua hal yang sebenarnya sangat berbeda tetapi dianggap mirip satu sama lain.Â
Puisi metafisik yang berkembang pada abad 17 dan akhir 16 mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: