Mohon tunggu...
WINDU KINANTI
WINDU KINANTI Mohon Tunggu... Guru - Penulis

Seorang penulis yang sedang berusaha merubah stigma dan mind set masyarakat melalui sebuah tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Gistara

18 Desember 2023   20:00 Diperbarui: 18 Desember 2023   20:13 86
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 “Abah, nyatakah janji Tuhan itu?” Ucap seorang gadis bernama Gistara. Pandangannya kosong, menatap rintik hujan yang turun malam itu. Abah menatap sendu anak gadisnya, tangannya terulur menyentuh puncak kepala anaknya, mengelusnya lembut penuh kasih sayang.

            “Nyata, Nak. Percaya lah bahwa selalu akan ada pelangi setelah hujan. Allah maha baik, Dia tidak pernah meninggalkan hamba-Nya yang sedang dalam kesusahan.”

Gistara menatap dalam Abahnya, matanya menuntut sebuah kejujuran dari Abahnya.

            “Tapi kapan janji kebahagian itu akan datang, Bah? Gistara sudah lelah menunggu,” lirih Gistara membuat hati Abah pilu, anaknya sudah sangat lelah menanggung semua beban ini, hatinya berharap semoga kebahagian segera datang dalam hidup anaknya.

            “Bersabarlah sebentar lagi, Gistara. Sebentar lagi.” Abah memeluk kepala Gistara, membiarkan anaknya tenggelam dalam lamunan, hanya ini yang bisa ia lakukan semoga esok sebuah sinar kebahagian datang dengan sukarela dalam hidup Gistara. Malam yang panjang mereka habiskan dalam pikiran masing-masing berselimut hujan dan cuaca dingin malam itu.

Semua bermula 3 bulan yang lalu, Gistara yang saat itu mulai memasuki usia matang menjadi kembang desa di kampungnya, kecantikan Gistara tak diragukan lagi, seorang gadis yang bunganya sedang mekar kala itu membuat siapapun tertarik padanya, banyak yang ingin mendekatinya namun, dia tolak dengan halus. Gistara masih ingin menyelesaikan pendidikannya terlebih dahulu, tak ingin memikirkan perihal cinta.

Petaka itu datang saat Gistara pulang dari tempat bimbel pada malam hari, Abah tak bisa menjemputnya karena Beliau sedang mengisi pengajian dikampung tetangga, akhirnya Gistara memutuskan pulang sendirian malam itu. Hari sudah gelap saat ia tiba di Gang kecil dekat rumahnya, ada beberapa pemuda yang sedang nongkrong di gang itu, terlihat botol minuman keras berserakan disana, juga beberapa cemilan seperti kacang tanah yang sudah di sangrai, nyali Gistara menciut melihat pemandangan itu, dia berhenti beberapa meter dari gerombolan pemuda tersebut, menimbang apakah akan melanjutkan perjalanan atau tidak, jujur saja dia takut para pemuda itu akan berbuat buruk padanya. Akhirnya Gistara memutuskan untuk melanjutkan saja perjalanannya, dia berdoa tanpa henti memohon pertolongan agar dirinya selamat dari para pemuda yang sudah mabuk tersebut.

Padangan para pemuda tersebut berubah menjadi pandangan tak senonoh pada Gistara saat mereka melihat ia berjalan seorang diri malam hari. beberapa dari mereka tak segan menggodanya.

“Gistara, dari mana? Kok sendirian malam-malam begini? Abang anterin pulang ya?” Salah seorang dari mereka menggoda Gistara, dan yang lainnya hanya tertawa ikut menimpali. Gistara hanya diam dan mempercepat langkahnya.

            “Kenapa buru-buru begitu?” seorang dari mereka yang berperawakan tinggi besar maju mencolek dagunya, Gistara mundur ketakutan, badannya bergetar hebat, tiba-tiba badannya menabrak seseorang dibelakangnya dan orang itu menutup hidung Gistara dengan sebuah kain hingga dia tak sadarkan diri, dan malam itu pula para pemuda itu melampiaskan nafsu bejatnya pada Gistara. Setelah puas mereka meninggalkan Gistara begitu saja dengan keadaan yang sangat menyedihkan, diambang kesadarannya Gistara melihat seorang dari mereka yang sejak awal tadi hanya diam menyaksikan saja, tidak ikut serta menggodanya, dan ia pun tahu orang itu tidak menodainya. Pemuda itu mengulurkan sebuah jaket kepada Gistara, merogoh tas Gistara mencari ponselnya, dan membantunya mengirim pesan pada nomer bernama kan ‘Abah’ untuk menjemputnya lalu pergi meninggalkannya, Gistara memandang sendu pemuda itu, dan mengingat dengan jelas wajahnya.

            Abah tiba, dia menangis melihat keadaan Gistara, anaknya sudah seperti orang linglung. Gistara hanya menangis, tubuhnya bergetar hebat. Sampai dirumah Abah membimbing Gistara menuju kamarnya, anaknya tak banyak bicara kali ini pandangannya kosong, air mata terus mengalir dari pelupuk matanya, Bibi membantu Gistara membersihkan badannya, tiba dikamar mandi Gistara meluapkan segala perasaannya, Bibi hanya bisa memeluk Gistara ikut menangis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun