“Abah, nyatakah janji Tuhan itu?” Ucap seorang gadis bernama Gistara. Pandangannya kosong, menatap rintik hujan yang turun malam itu. Abah menatap sendu anak gadisnya, tangannya terulur menyentuh puncak kepala anaknya, mengelusnya lembut penuh kasih sayang.
“Nyata, Nak. Percaya lah bahwa selalu akan ada pelangi setelah hujan. Allah maha baik, Dia tidak pernah meninggalkan hamba-Nya yang sedang dalam kesusahan.”
Gistara menatap dalam Abahnya, matanya menuntut sebuah kejujuran dari Abahnya.
“Tapi kapan janji kebahagian itu akan datang, Bah? Gistara sudah lelah menunggu,” lirih Gistara membuat hati Abah pilu, anaknya sudah sangat lelah menanggung semua beban ini, hatinya berharap semoga kebahagian segera datang dalam hidup anaknya.
“Bersabarlah sebentar lagi, Gistara. Sebentar lagi.” Abah memeluk kepala Gistara, membiarkan anaknya tenggelam dalam lamunan, hanya ini yang bisa ia lakukan semoga esok sebuah sinar kebahagian datang dengan sukarela dalam hidup Gistara. Malam yang panjang mereka habiskan dalam pikiran masing-masing berselimut hujan dan cuaca dingin malam itu.
Semua bermula 3 bulan yang lalu, Gistara yang saat itu mulai memasuki usia matang menjadi kembang desa di kampungnya, kecantikan Gistara tak diragukan lagi, seorang gadis yang bunganya sedang mekar kala itu membuat siapapun tertarik padanya, banyak yang ingin mendekatinya namun, dia tolak dengan halus. Gistara masih ingin menyelesaikan pendidikannya terlebih dahulu, tak ingin memikirkan perihal cinta.
Petaka itu datang saat Gistara pulang dari tempat bimbel pada malam hari, Abah tak bisa menjemputnya karena Beliau sedang mengisi pengajian dikampung tetangga, akhirnya Gistara memutuskan pulang sendirian malam itu. Hari sudah gelap saat ia tiba di Gang kecil dekat rumahnya, ada beberapa pemuda yang sedang nongkrong di gang itu, terlihat botol minuman keras berserakan disana, juga beberapa cemilan seperti kacang tanah yang sudah di sangrai, nyali Gistara menciut melihat pemandangan itu, dia berhenti beberapa meter dari gerombolan pemuda tersebut, menimbang apakah akan melanjutkan perjalanan atau tidak, jujur saja dia takut para pemuda itu akan berbuat buruk padanya. Akhirnya Gistara memutuskan untuk melanjutkan saja perjalanannya, dia berdoa tanpa henti memohon pertolongan agar dirinya selamat dari para pemuda yang sudah mabuk tersebut.
Padangan para pemuda tersebut berubah menjadi pandangan tak senonoh pada Gistara saat mereka melihat ia berjalan seorang diri malam hari. beberapa dari mereka tak segan menggodanya.
“Gistara, dari mana? Kok sendirian malam-malam begini? Abang anterin pulang ya?” Salah seorang dari mereka menggoda Gistara, dan yang lainnya hanya tertawa ikut menimpali. Gistara hanya diam dan mempercepat langkahnya.
“Kenapa buru-buru begitu?” seorang dari mereka yang berperawakan tinggi besar maju mencolek dagunya, Gistara mundur ketakutan, badannya bergetar hebat, tiba-tiba badannya menabrak seseorang dibelakangnya dan orang itu menutup hidung Gistara dengan sebuah kain hingga dia tak sadarkan diri, dan malam itu pula para pemuda itu melampiaskan nafsu bejatnya pada Gistara. Setelah puas mereka meninggalkan Gistara begitu saja dengan keadaan yang sangat menyedihkan, diambang kesadarannya Gistara melihat seorang dari mereka yang sejak awal tadi hanya diam menyaksikan saja, tidak ikut serta menggodanya, dan ia pun tahu orang itu tidak menodainya. Pemuda itu mengulurkan sebuah jaket kepada Gistara, merogoh tas Gistara mencari ponselnya, dan membantunya mengirim pesan pada nomer bernama kan ‘Abah’ untuk menjemputnya lalu pergi meninggalkannya, Gistara memandang sendu pemuda itu, dan mengingat dengan jelas wajahnya.
Abah tiba, dia menangis melihat keadaan Gistara, anaknya sudah seperti orang linglung. Gistara hanya menangis, tubuhnya bergetar hebat. Sampai dirumah Abah membimbing Gistara menuju kamarnya, anaknya tak banyak bicara kali ini pandangannya kosong, air mata terus mengalir dari pelupuk matanya, Bibi membantu Gistara membersihkan badannya, tiba dikamar mandi Gistara meluapkan segala perasaannya, Bibi hanya bisa memeluk Gistara ikut menangis.
Esok pagi Abah datang, membawakan makanan untuknya, dia menolak bahkan selalu menangis tiap kali melihat Abah.
“Maaf, Bah. Gistara gagal menjaga kehormatan Gistara, dan mencoreng nama baik Abah,” Lirihnya.
“Sudah, Nak. Ini bukan salah kamu, polisi sudah berhasil meringkus mereka. Sekarang para pemuda bejat itu sudah mendekam dibalik jeruji besi.”
“Gistara, mau seperti apapun keadaanmu, kamu tetap anak Abah. Apapun akan Abah lakukan untuk kebahagianmu, Ingat nak pertolongan Allah hanya sebatas kening dan sajadah. Dan janji-Nya itu nyata.”
Hari demi hari berlalu, tanpa terasa petaka itu sudah berlalu selama 3 bulan lamanya, dan selama itu senyum yang biasanya menghiasa wajah Gistara hilang, dia jadi murung, pendiam, dan tak pernah keluar rumah, Gistara melanjutkan sekolahnya dengan cara privat, dia belum siap menatap dunia luar. Sampai hari ini, Gistara masih mempertanyakan tentang janji Allah, setiap malam dia berdoa, berharap sebuah harapan baru untuk hidupnya datang. Berharap ada seorang yang mau menerima keadaan dirinya ditengah stigma negatif yang berkembang di masyarakat tentang dirinya.
Pagi ini, Gistara duduk di ruang tamu rumahnya bersama Abah, tiba-tiba ketukan pintu membuyarkan lamunannya. Mata Gistara membulat, tubuhnya menegang melihat sosok pemuda yang berdiri di pintu rumahnya. Abah mempersilakan pemuda itu masuk, dia datang bersama pria paru baya, mungkin itu Ayahnya. Pemuda itu duduk memperkenalkan diri, namanya Garthayuda, wajahnya asing, nampaknya dia bukan dari daerah sini. Ayah Gartha menjelaskan maksud kedatangan mereka kerumah Gistara, menjelaskan semuanya. Gartha juga korban dari para pemuda itu, sama seperti Gistara, meski dampaknya tak separah Gistara tapi tetap saja meninggal bekas luka fisik pada tubuhnya. Gartha menunjukan bekas sabetan senjata tajam di bagian perutnya, dia tak mampu berbuat banyak dan hanya diam menyaksikan semuanya karena sebuah ancaman pada dirinya.
“Maafkan saya, Gistara. Saya hanya tidak mampu berbuat banyak malam itu, dan hanya diam melihat semua yang mereka lakukan padamu. Karena jauh sebelum kamu datang saya sudah lebih menjadi korban, mereka mengambil semua uang saya dan meninggalkan luka ini saat saya hendak melawan untuk menolong kamu. Tapi sumpah Gistara saya sungguh tidak bermaksud menyaksikan itu, sungguh saya telah mencoba membutakan mata dan telinga saya.” Air mata Gartha jatuh, dia menangis memohon pengampunan dari Gistara. Air mata Gistara menetes mendengar penuturan Gartha, dia menatapnya dalam.
“Saya maafkan kamu Gartha, maafkan saya yang selalu berfikir negatif tentang dirimu selama 3 bulan ini,” Gartha menatap Gistara, mereka berdua akhirnya menangis bersama meluapkan semua sesak didada.
Ayah Gartha berkata bahwa anaknya ingin mempersunting Gistara menjadi istrinya, bukan karena merasa bersalah namun dia ingin melindungi Gistara, memberikan kebahagian untuknya, dan mengganti masa sulitnya dengan sebuah harapan baru. Gartha jatuh cinta pada Gistara saat melihat air matanya malam itu. Gistara menyetujui itu, Abah lega, jawaban atas doa dan kecemasan Gistara terjawab hari ini, seorang pemuda yang dipertemukan dalam sebuah petaka bersama Gistara menjadi takdir kehidupan anaknya. Gistara yakin bahwa Gartha adalah janji Tuhan untuk dirinya. Abah pun percaya bahwa Gartha mampu menjaga anaknya dengan baik. Gistara bersyukur mengingat perkataan Abah bahwa Tuhan selalu menepati janji-Nya. Janji kebahagian untuk Gistara dalam bentuk Garthayuda.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H