Mohon tunggu...
WINDU KINANTI
WINDU KINANTI Mohon Tunggu... Guru - Penulis

Seorang penulis yang sedang berusaha merubah stigma dan mind set masyarakat melalui sebuah tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Gistara

18 Desember 2023   20:00 Diperbarui: 18 Desember 2023   20:13 86
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

            Esok pagi Abah datang, membawakan makanan untuknya, dia menolak bahkan selalu menangis tiap kali melihat Abah.

            “Maaf, Bah. Gistara gagal menjaga kehormatan Gistara, dan mencoreng nama baik Abah,” Lirihnya.

            “Sudah, Nak. Ini bukan salah kamu, polisi sudah berhasil meringkus mereka. Sekarang para pemuda bejat itu sudah mendekam dibalik jeruji besi.”

            “Gistara, mau seperti apapun keadaanmu, kamu tetap anak Abah. Apapun akan Abah lakukan untuk kebahagianmu, Ingat nak pertolongan Allah hanya sebatas kening dan sajadah. Dan janji-Nya itu nyata.”

            Hari demi hari berlalu, tanpa terasa petaka itu sudah berlalu selama 3 bulan lamanya, dan selama itu senyum yang biasanya menghiasa wajah Gistara hilang, dia jadi murung, pendiam, dan tak pernah keluar rumah, Gistara melanjutkan sekolahnya dengan cara privat, dia belum siap menatap dunia luar. Sampai hari ini, Gistara masih mempertanyakan tentang janji Allah, setiap malam dia berdoa, berharap sebuah harapan baru untuk hidupnya datang. Berharap ada seorang yang mau menerima keadaan dirinya ditengah stigma negatif yang berkembang di masyarakat tentang dirinya.

            Pagi ini, Gistara duduk di ruang tamu rumahnya bersama Abah, tiba-tiba ketukan pintu membuyarkan lamunannya. Mata Gistara membulat, tubuhnya menegang melihat sosok pemuda yang berdiri di pintu rumahnya. Abah mempersilakan pemuda itu masuk, dia datang bersama pria paru baya, mungkin itu Ayahnya. Pemuda itu duduk memperkenalkan diri, namanya Garthayuda, wajahnya asing, nampaknya dia bukan dari daerah sini. Ayah Gartha menjelaskan maksud kedatangan mereka kerumah Gistara, menjelaskan semuanya. Gartha juga korban dari para pemuda itu, sama seperti Gistara, meski dampaknya tak separah Gistara tapi tetap saja meninggal bekas luka fisik pada tubuhnya. Gartha menunjukan bekas sabetan senjata tajam di bagian perutnya, dia tak mampu berbuat banyak dan hanya diam menyaksikan semuanya karena sebuah ancaman pada dirinya.

            “Maafkan saya, Gistara. Saya hanya tidak mampu berbuat banyak malam itu, dan hanya diam melihat semua yang mereka lakukan padamu. Karena jauh sebelum kamu datang saya sudah lebih menjadi korban, mereka mengambil semua uang saya dan meninggalkan luka ini saat saya hendak melawan untuk menolong kamu. Tapi sumpah Gistara saya sungguh tidak bermaksud menyaksikan itu, sungguh saya telah mencoba membutakan mata dan telinga saya.” Air mata Gartha jatuh, dia menangis memohon pengampunan dari Gistara. Air mata Gistara menetes mendengar penuturan Gartha, dia menatapnya dalam.

            “Saya maafkan kamu Gartha, maafkan saya yang selalu berfikir negatif tentang dirimu selama 3 bulan ini,” Gartha menatap Gistara, mereka berdua akhirnya menangis bersama meluapkan semua sesak didada.

Ayah Gartha berkata bahwa anaknya ingin mempersunting Gistara menjadi istrinya, bukan karena merasa bersalah namun dia ingin melindungi Gistara, memberikan kebahagian untuknya, dan mengganti masa sulitnya dengan sebuah harapan baru. Gartha jatuh cinta pada Gistara saat melihat air matanya malam itu. Gistara menyetujui itu, Abah lega, jawaban atas doa dan kecemasan Gistara terjawab hari ini, seorang pemuda yang dipertemukan dalam sebuah petaka bersama Gistara menjadi takdir kehidupan anaknya. Gistara yakin bahwa Gartha adalah janji Tuhan untuk dirinya. Abah pun percaya bahwa Gartha mampu menjaga anaknya dengan baik. Gistara bersyukur mengingat perkataan Abah bahwa Tuhan selalu menepati janji-Nya. Janji kebahagian untuk Gistara dalam bentuk Garthayuda.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun