Mohon tunggu...
Windi Teguh
Windi Teguh Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Penting Gak penting semua ditulis, karena menulis itu Melegakan

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Resolusi Hijauku, Menabung Pohon untuk Kehidupan

28 Januari 2015   18:38 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:13 234
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ayah saya punya kebiasaan unik. Dalam setiap momen hidup keempat anaknya, misalnya ulang tahun, pernikahan, ayah tidak pernah memberi hadiah berupa materi seperti umumnya orangtua lain. Dari saya kecil, ayah selalu menghadiahi kami pohon untuk merayakan sesuatu.

Saat kami masih imut-imut kami sudah memiliki pohon masing-masing sebagai hadiah dari ayah. Waktu itu jenis pohonnya terserah pilihan kami. Pohon yang saya miliki adalah pohon sawo, karena saya suka sekali dengan manisnya buah sawo. Pohon abang saya adalah mangga, sedangkan adik saya jambu, sesuai dengan buah favorit masing-masing. Namun, karena dulu semua pohon tersebut ditanam di rumah dinas milik perusahaan, maka saat ayah saya pensiun, pohon-pohon tersebut pun kami tinggalkan. Sedih?. Tentu saja, soalnya pohon-pohon tersebut seperti sahabat untuk kami, karena dinamai sesuai nama kami.

Setelah saya dewasa kebiasaan ayah tidak berubah. Ia tetap selalu memberi tanda cinta dalam bentuk pohon. Saat satu persatu anak-anaknya menikah dan membangun rumah masing-masing ayah kembali menghadiahi kami pohon. Kali ini selera buah saya sudah berubah. Saya dan suami sukanya mangga, maka ayah menghadiahi kami empat bibit pohon mangga saat kami menempati rumah baru. Tak beda dengan saya, abang dan adik saya juga mendapat hadiah pohon mangga untuk rumahnya.

Dulunya saya merasa ayah saya aneh. Tapi belakangan setelah pohon mangganya tumbuh, saya jadi berterima kasih sekali, soalnya walau masih kecil pohon mangga tersebut sudah berbuah. Kebetulan saat itu saya lagi hamil muda jadi si mangga yang masih mentah itu pun sukses menjadi teman ngerujak saya. Bukan itu saja, perkarangan rumah saya juga jadi lebih asri karena dihiasi warna hijau dan udara yang masuk ke rumah juga segar apalagi siang hari saat panas-panasnya cuaca, karena oksigen yang dihasilkan dari hasil fotosintesis pohon mangga tersebut.

Saya jadi kagum dengan ayah saya, dari dulu pemikirannya sudah selangkah lebih maju. Sepetinya ayah ingin mengajarkan kepada kami anak-anaknya untuk mencintai pohon dan turut melestarikan lingkungan. Bukan itu saja, ayah juga sudah memberikan tabungan oksigen untuk kami, yang artinya secara kiasan ayah telah menyediakan oksigen yang kami butuhkan selama hidup melalui pohon yang diberikannya. Ya, ayah telah menabung pohon untuk anak-anaknya.

Melihat dan merasakan perbedaan udara di jaman saya kecil dan sekarang, membuat saya menyadari bahwa bumi kita sedang diambang bahaya. Rasanya sekarang panas sekali, bahkan kemarin saat ke Berastagi yang merupakan kawasan puncaknya Sumatera Utara, saya tidak merasa perlu menggunakan jaket. Padahal dulu kalau kesana harus pakai sweater yang tebal.

Saat membaca salah satu situs organisasi lingkungan The Nature Conservancy, saya mengetahui bahwa setiap tahunnya telah terjadi deforistisasi hutan akibat pembalakan liar, termasuk alih fungsi hutan menjadi lahan pertanian dan perkebunan sawit. Padahal hutan termasuk penghasil oksigen dan berfungsi menyerap CO2 yang dihasilkan lingkungan. Pantas saja, kalau kian hari udara semakin gerah.

Saat ini TNC melalui The Nature Conservancy Programnya melakukan pelestarian lingkungan melalui konservasi sumber daya alam, baik di bentang darat, laut maupun perikanan. Kita pun bisa turut berpartisipasi dengan melakukan hal-hal yang bisa kita lakukan.

Saya pernah menonton fim kartun yang bercerita bahwa di masa mendatang, saat pohon-pohon sudah tidak ada lagi, gundul karena ditebangi manusia, Maka warga kota hidup dalam sebuah kubah raksasa, dan kebutuhan oksigennya disuplai oleh sebuah mesin penghasil oksigen. Seram kan kalau anak cucu kita mengalami hal seperti itu.

Belajar dari kebiasaan ayah, saya pun bertekad untuk menabung oksigen dari sekarang untuk kebutuhan oksigen dimasa mendatang. Paling dekat ya untuk kebutuhan keluarga kecil saya, Untuk anak saya kelak.

Mari kita hitung kebutuhan oksigen kita

1 orang dewasa rata-rata membutuhkan 252 liter udara/jam.

Udara mengandung 21 %oksigen. Jadi 21 % dari 252 liter adalah 53 liter. Jadi kebutuhan oksigen manusia/jam adalah 53 liter= 53.000 ml

Tumbuhan rata-rata menghasilkan 15.000 ml oksigen/jam.

Jika manusia mebutuhkan 53.000 ml/jam oksigen untuk bernafas dan tumbuhan menhaslkan 15.000 ml oksigen/jam.

Maka 53.000 ml/jam : 15.000 ml/jam = 3.5 pohon ( Andrew Skipor,Ph.D),2001

Untuk bisa bernafas bebas, kebutuhan oksigen seorang manusia harus disuplly oleh 3.5 pohon per jam. Kita genapkan saja menjadi 4 pohon.

Nah, karena saat ini saya belum bisa bergabung bersama organisasi-organisasi lingkungan seperti TNC di atas, yang bisa saya lakukan adalah dengan menabung pohon. Resolusi hijau saya di tahun 2015 ini adalah mulai menabung pohon untuk keluarga saya. Kebetulan kami memiliki rumah di kampung dengan halaman yang sangat luas, namun saat ini belum kami tempati. Rumah itu terletak berdekatan dengan pesisir laut. Terkadang was-was juga kalau ada isu-isu tsunami, namun Alhamdulillah masih aman-aman saja.

Agar resolusi hijau saya tidak sekedar omongan doang, saya akan membuat rencana dahulu.

Saat ini kami banyak menanam pohon jati di ladang, namun ke depannya saya akan mulai menanam pohon yang memiliki banyak daun, karena semakin banyak daun semakin banyak oksigen yang dihasilkan. Saya berencana menanam pohon cemara udang. Pertama karena bentuknya yang indah, dan fungsinya yang mencegah abrasi dan tsunami.

Saya berharap penamanam cemara udah di halaman rumah kami dapat memperindah halaman, dan menyelamatkan lingkungan. Pohon ini juga menjadi tabungan keluarga saya di masa datang. Semoga resolusi saya bisa tercapai , amin.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun